Sudah Rekor 22 Kali, IHSG Masih Punya Bensin untuk Window Dressing?
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) baru-baru ini kembali menembus level tertinggi sepanjang masa. Kurang dari 4% lagi indeks keseluruhan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini bisa mencapai level 9000.
Asal tahu saja, IHSG sudah berhasil mencetak rekor baru dengan menembus level All Time High (ATH) sebanyak 22 kali dari awal tahun. Momentum positif ini juga tercermin dari kinerja bulanan. Bayangkan saja, sepanjang Juli hingga November, atau lima bulan berturut-turut, IHSG selalu ditutup di zona hijau.
Tren penguatan yang konsisten ini membuat pasar semakin optimistis menyambut akhir tahun. Jika pada Desember benar terjadi aksi window dressing, yang biasanya diwarnai akumulasi oleh manajer investasi demi mempercantik laporan kinerja, maka IHSG berpeluang mengukir sejarah baru yaitu semester II/2025 full ditutup positif.
Namun, tak bisa di pungkiri bahwa kenaikan IHSG selama beberapa bulan terakhir ini banyak ditopang oleh saham konglo. Kalau saham konglo banyak yang turun, artinya IHSG bisa saja suatu waktu jatuh.
Walau begitu, pasar juga mengharapkan IHSG tetap hijau dengan adanya rotasi dari saham konglo ke saham-saham bluechip yang tergabung dalam indeks LQ45 dan IDX30.
Pasalnya, gerak indeks saham unggulan seperti LQ45 dan IDX30 ternyata masih jauh tertinggal. Sebagai catatan, IHSG sejak awal tahun itu sudah naik lebih dari 20%, tetapi LQ45 hanya naik kisaran 3% dan IDX30 hanya 4%.
Gap inilah yang membuka ruang ekspektasi bahwa window dressing kali ini bisa menyasar saham-saham yang selama ini ketinggalan kereta. Paling tidak, untuk saham-saham di indeks LQ45 dan IDX30 yang dinilai masih memiliki valuasi undervalued dan fundamental solid.
Secara makro, sebenarnya di penghujung tahun ini sudah semakin membaik, ini diharapkan bisa mendukung skenario window dressing berlangsung lebih kuat.
Tinggal menghitung hari saja, kepastian suku bunga the Fed akan turun lagi pada bulan ini, semakin memberikan harapan besar bagi aset berisiko di emerging market, termasuk Indonesia. Likuiditas global yang lebih longgar biasanya cenderung mendorong arus modal masuk, terutama ke pasar saham berkapitalisasi besar.
Di dalam negeri, Bank Indonesia (BI) bahkan bergerak lebih cepat. Sepanjang Januari hingga September, BI sudah memangkas suku bunga acuan hingga total 125 bps, sehingga ruang pemulihan ekonomi semakin terbuka lebar.
Penurunan suku bunga domestik biasanya memiliki efek lanjutan terhadap penurunan cost of fund, peningkatan permintaan kredit, hingga perbaikan daya beli. Ketika likuiditas meningkat dan risiko makro mereda, sentimen terhadap saham-saham bluechip berpotensi membaik.
Belum lagi, pasar juga mengantisipasi realisasi belanja pemerintah yang lebih agresif tahun depan, terutama program populis senilai total Rp721 triliun yang diproyeksikan mengalir ke berbagai sektor konsumtif.
Stimulus sebesar ini tak hanya memantik belanja masyarakat, tetapi juga bisa menjadi bahan bakar tambahan bagi emiten consumer, retail, perbankan, hingga telekomunikasi.
Dengan kombinasi suku bunga yang menurun, stimulus fiskal besar, dan rotasi dari saham konglomerasi ke saham bluechip, peluang window dressing akhir tahun ini menjadi semakin menarik, khususnya bagi saham-saham yang masih tertinggal alias laggard namun punya fundamental solid.
Namun tentu saja, investor tetap perlu melakukan analisis fundamental masing-masing saham untuk memastikan momentum ini selaras dengan prospek jangka panjangnya, sekaligus analisis teknikal untuk mendapatkan momentum cuan yang lebih optimal, dengan risiko yang lebih terukur.
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)