Newsletter

Musim Laporan Keuangan Selesai, Saatnya Lihat Data Ekonomi

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
04 November 2019 07:10
Pasar Obligasi Domestik dan Emas
Foto: Muhammad Sabki

Di Indonesia berbeda sendiri. Pasar saham dan pasar obligasi di Tanah Air relatif bergerak linear sepanjang waktu, karena pasar obligasinya kurang likuid dan masih dianggap sama risikonya dengan pasar saham sehingga belum dianggap sebagai instrumen investasi yang lebih aman (safe haven instrument) di tengah kekhawatiran.

Karena itulah, ketika pasar saham menguat, pasar obligasi rupiah pemerintah yang biasa disebut juga surat utang negara (SUN) menguat sejak 11 Oktober. Apalagi, dampak positif dari pemangkasan suku bunga acuan, baik domestik maupun global khususnya AS, juga semakin membuat penguatan efek tersebut semakin menjadi.

Pekan lalu sendiri, pasar obligasi mengalami kenaikan harga dan tekanan terhadap tingkat imbal hasilnya (yield). Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya.

Yield sebagai acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka. SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.

Salah satu seri acuan adalah FR0078 yang bertenor 10 tahun, yang mengalami penurunan yield sebesar 7 basis poin (bps) menjadi 7,02% dari posisi 7,09% di akhir pekan sebelumnya.


 

 

Khusus pekan lalu, sentimen yang memengaruhi pelaku pasar adalah aura positif keputusan damai dagang AS-China yang ternyata masih bertahan, data pertumbuhan ekonomi AS, dan kesepakatan penundaan proses Brexit hingga tahun depan.

Sentimen lain dari tingkat global adalah kinerja emiten di bursa saham Wall Street di AS yang secara keseluruhan masih positif, dan faktor dari penurunan suku bunga AS (menjadi 1,5%-1,75%) atau Fed Fund Rate yang diputuskan pada 31 Oktober.

Dari dalam negeri, sentimen positif dari euforia penurunan suku bunga acuan 7DRRR pada 24 Oktober juga masih bertahan, ditambah positifnya data penanaman dana investasi asing langsung (FDI), dan laporan keuangan. Seakan mimpi indah bagi pasar ekuitas, harga saham-saham yang naik tetiba dikagetkan dengan beberapa sentimen.

Pertama, pesimisme yang sempat mencuat dari pejabat China terhadap prospek pertemuan delagasi negaranya dengan AS. Kedua, pesimisme terhadap pertemuan kedua negara karena batalnya pertemuan KTT APEC di Chile yang direncanakan sebagai tempat penandatanganan kesepakatan fase pertama mereka.

Meskipun semua keraguan tersebut sudah sirna karena sudah terbantahkan sikap lebih optimistis kedua negara yang akan mencari tempat pertemuan baru, sentimen tadi sempat membuat gelisah pelaku pasar dan menggerakkan harga emas dunia dan emas Antam yang menyertainya.

Faktor lain yang mendorong penguatan emas adalah perayaan Diwali yang mendorong konsumsi emas di India, karena warga setempat sering membeli emas untuk kemudian diberikan sebagai hadiah ke orang lain, selain dari ritual pembersihan, bertukar hadiah, menyalakan kembang api, serta menyalakan banyak lampu minyak.

Selain itu, pemangkasan suku bunga yang membuat posisi dolar AS tertekan karena suplai uang diprediksi lebih membanjiri pasar dan membuat transaksi emas ramai, turut mendorong kenaikan si logam mulia.

Jadi, penguatan emas pekan lalu lebih dikarenakan dolar AS, sehingga kenaikan bukan karena adanya risiko dan kekhawatiran yang memanas seperti biasa yang menunjukkan kegunaannya sebagai instrumen yang berfungsi sebagai lindung nilai (hedging) ketika kondisi kurang kondusif.

Alhasil, harga emas dunia terkerek dan kembali menembus level psikologis US$ 1.500 per troy ounce (oz) hingga ke US$ 1.513,55/oz pada akhir pekan lalu.


 

 

Pekan lalu, berbagai sentimen yang memengaruhi pasar keuangan dunia terutama pemangkasan suku bunga AS sukses membuat nilai tukar greenback, julukan lain si dolar, turun ke 97,23 dari posisi akhir pekan sebelumnya 97,83. Di sisi lain, rupiah sebagai penonton justru stagnan pada Rp 14.030 per dolar AS pada Jumat lalu sejak akhir pekan sebelumnya.

(irv)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular