
Konsensus: Bunga Acuan BI Diramal Turun (Lagi)

Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menilai ruang pelonggaran moneter masih tersedia meski neraca perdagangan pada September membukukan defisit. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan September minus US$ 160 juta.
Dengan demikian, neraca perdagangan sepanjang kuartal III-2019 adalah defisit US$ 110 juta. Pada periode yang sama tahun sebelumnya, defisit neraca perdagangan mencapai US$ 2,6 miliar.
"Defisit transaksi berjalan pada kuartal III-2019 akan berkurang menjadi 2,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jauh menipis dibandingkan kuartal II-2019 yang sebesar 3% dan kuartal III-2018 yaitu 3,3% PDB," jelas Satria.
Â
Oleh karena itu, Satria memandang struktur perekonomian Indonesia sudah lebih sehat. Defisit transaksi berjalan yang tahun lalu menjadi momok menakutkan dan membuat BI sampai menaikkan suku bunga acuan enam kali kini berangsur-angsur menipis. Dengan demikian, memang masih ada ruang untuk kembali menurunkan suku bunga.
Helmi Arman, Ekonom Citi, juga berpendapat defisit neraca perdagangan pada September tidak perlu dikhawatirkan. Sebab pada akhirnya, defisit transaksi berjalan pada kuartal III-2019 berkurang.
"Kami memperkirakan defisit transaksi berjalan pada kuartal III-2019 mengarah ke 2,5% PDB. Kemudian pada kuartal IV-2019 akan semakin berkurang menjadi sekitar 2-2,5% PDB," sebut Helmi.
Melihat aura kebijakan moneter BI yang dovish, Helmi awalnya memperkirakan penurunan suku bunga acuan baru akan terjadi pada November. Namun dengan hadirnya data neraca perdagangan September, plus ancaman perlambatan pertumbuhan ekonomi yang semakin nyata, sepertinya kebutuhan stimulus moneter sudah lumayan mendesak.
"Dengan defisit transaksi berjalan yang semakin tipis dan sepertinya perlambatan ekonomi semakin terlihat, kami memajukan proyeksi penurunan suku bunga dari November menjadi 24 Oktober. Selepas itu, baru BI akan menghentikan dulu siklus penurunan suku bunga acuan," sebutnya.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
