
Newsletter
Digempur Sana-Sini, Masihkah IHSG Kuat?
Tirta Widi Gilang Citradi, CNBC Indonesia
17 October 2019 07:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan tanah air masih belum kompak dan cenderung bergerak variatif. Harap maklum, pasar di kawasan Asia pun tidak jauh beda dari dalam negeri.
Indeks bursa tanah air (IHSG) di tutup menguat 0,19% pada perdagangan kemarin (16/10/2019). Penguatan IHSG yang tidak terlalu besar sesuai dengan prediksi kami setelah IHSG menunjukkan tanda-tanda technical rebound Jumat pekan lalu.
Pada perdagangan Rabu (16/10/2019), IHSG berada di level 6.183,584 tepat tiga menit setelah jam pembukaan bursa dan menjadi rekor tertinggi harian (intraday).
Secara historis, IHSG cenderung bergerak turun mendekati istirahat makan siang, dan bergerak sideways pada sesi kedua. Namun di detik-detik terakhir, IHSG mampu melesat dengan sisa tenaganya dan berhasil finish di zona hijau. Kenaikan ini merupakan penguatan IHSG dalam empat hari perdagangan terakhir secara berturut-turut.
Berbeda dengan periode sebelumnya, kokohnya IHSG kemarin disokong oleh saham-saham di sektor keuangan dan properti. Apresiasi IHSG juga disokong oleh enam saham blue chips yang berhasil membawa indeks pasar keluar dari jeratan koreksi. Enam saham tersebut antara lain PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Semen Indonesia Tbk (SMGR), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) serta PT Bank Mandiri Tbk (BMRI).
Kegembiraan yang melanda Wall Street dini hari ternyata menular ke mayoritas bursa Asia kecuali bursa Shang Hai dan India yang masing-masing justru mengalami koreksi sebesar 0,41% dan 0,08%.
Euforia rilis data kinerja keuangan kuartal III emiten bursa AS menjadi katalis positif hijaunya bursa Paman Sam yang menjangkiti pasar Asia. Beberapa emiten perbankan Amerika mencatatkan performa yang masih positif seolah sedikit menampikkan sejenak kekhawatiran akan isu perlambatan ekonomi global dan resesi yang jadi momok hingga saat ini.
Berbanding terbalik dengan pasar ekuitas, mata uang Sang Garuda justru melemah di hadapan dolar Paman Sam. Rupiah terdepresiasi sebesar 0,03%. Mata uang negara di kawasan benua kuning lain yang juga ikut terkoreksi di hadapan dolar Amerika Serikat adalah Ringgit Negeri Jiran, Dolar Negeri Singa, Won Negeri Ginseng, Yuan Negeri Panda serta Dolar Taiwan.
Sementara obligasi pemerintah RI bertenor 10 tahun dengan seri acuan FR0078 pada perdagangan kemarin mengalami penurunan imbal hasil sebesar 0,54%. Penurunan imbal hasil mengindikasikan bahwa harganya sedang naik.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 >> Beralih ke Wall Street, indeks utama bursa Amerika Serikat harus ditutup terkapar di zona merah pada perdagangan pagi tadi.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun sebesar 12,65 poin atau 0,05% ke level 27.012,15. Nasib yang sama juga dialami oleh dua indeks utama lain yaitu S&P 500 dan Nasdaq Composit Indeks. Indeks S&P 500 terkoreksi sebesar 5,06 poin atau 0,17% ke level 2.990,62 sedangkan Nasdaq Composite Indeks mencatatkan pelemahan 23,77 poin atau 0,29% ke level 8.124,936.
Memerahnya indeks utama AS tak jauh-jauh dari sentimen perlambatan pertumbuhan ekonomi AS yang tercermin dari penjualan ritel AS yang turun. Ada kemungkinan investor juga merespon pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS & global oleh IMF.
Sentimen tersebut seolah menutupi kinclongnya kinerja emiten bursa AS. Sebagai catatan, pekan ini merupakan minggu rilis data kinerja kuartalan emiten Amerika Serikat. Rilis data kinerja di awali oleh beberapa Bank besar di AS.
Sebut saja JP Morgan Chase & Co yang melaporkan pendapatan yang lebih tinggi dari prediksi. Peningkatan pendapatan bank disokong oleh divisi perbankan konsumen yang mencatatkan performa ciamik.
Bank kustodian terbesar di AS yaitu Bank of New York Mellon juga melaporkan laba kuartalan yang melampaui ekspektasi pasar. Keberhasilan penguatan bottom line BNY Mellon tak terlepas dari disiplin pemangkasan biaya yang mereka lakukan di tengah kondisi global yang tak tentu.
Hal tersebut dilakukan untuk mengimbangi performa unit bisnis di bidang pengelolaan investasi yang buruk dan di tengah kondisi dengan suku bunga rendah.
Beberapa perusahaan lain yang juga mencatatkan kinerja cukup ciamik di kuartal ke III-2019 antara lain Huawei, PNC Finansial, perusahaan farmasi Roche, perusahaan semi konduktor ASML, serta perusahaan farmasi lainnya yaitu Mediclinic.
Sejauh ini, data FactSet menunjukkan 83% emiten dalam S&P 500 yang telah merilis neraca keuangannya per kuartal III-2019 membukukan kinerja di atas ekspektasi analis.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 >> Investor perlu mencermati beberapa sentimen global maupun lokal yang berpotensi menggerakkan pasar pada perdagangan hari ini.
Pertama, investor patut mengamati pergerakan indeks bursa utama Negeri Paman Sam. Indeks Wall Street yang ditutup melemah pada pagi tadi berpotensi membawa sinyal buruk ke pasar Asia.
Sentimen kedua apalagi kalau bukan tontonan tiap hari selama 15 bulan terakhir ini, hubungan Amerika-China.
Sejak pertemuan kedua belah pihak di Washington pada Jumat pekan lalu, ketegangan yang selama ini terjadi mulai melunak. Masih ada harapan kembali pulihnya ekonomi global saat AS-China membawa kemesraan ke meja diplomasi.
Belum banyak memang yang dapat diceritakan selain penundaan tarif oleh AS dan pembelian produk agrikultur oleh China. Kesepakatan dagang parsial itu pun banyak menimbulkan spekulasi di sana-sini. Namun keduanya masih terlihat berupaya untuk segera mengakhiri semua ini.
Melansir dari Reuters, pada Rabu kemarin (16/10/2019), presiden AS Donald Trump menyampaikan bahwa dirinya tidak akan menandatangani kesepakatan dagang sebelum bertemu langsung dengan presiden China, Xi Jinping di forum Asia Pasific Economic Cooperation (APEC).
Forum tersebut dijadwalkan berlangsung pada 11-17 November mendatang di Santiago, Chile dan akan dihadiri oleh Trump, Xi serta kepala negara Asia Pasifik lain.
Trump juga menyampaikan kepada media di Gedung Putih bahwa partial trade deal kedua belah pihak yang diumumkan pekan lalu sedang dalam proses perumusan. “Sedang dipersiapkan” kata Trump.
Belum lama ini juga ada kabar yang berpotensi bikin gaduh lagi yang bisa-bisa membuat kemesraan keduanya memudar. Pada Selasa kemarin (15/10/2019), House of Representatives/DPR AS meloloskan peraturan yang akan mengakhiri status perdagangan Hong Kong dengan AS kecuali Departemen Dalam Negeri AS memberikan putusan bahwa tidak ada pelanggaran HAM dalam kasus demonstrasi Hong Kong. Sontak hal tersebut direspon China dengan nada mengancam.
Tak dapat dipungkiri bahwa perang dagang yang terjadi lebih dari setahun ini membuat ekonomi AS, China dan global jadi kena dampaknya, alias tumbuh melambat. Kemarin, data penjualan ritel AS dirilis.
Hasilnya, penjualan ritel secara mengejutkan turun 0,3% pada September yang menandai koreksi pertama dalam tujuh bulan terakhir. Pemangkasan belanja kendaraan bermotor dan belanja online ikut menekan penjualan ritel AS.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 >> Rilis data ekonomi sebelum-sebelumnya juga seolah menjadi tanda bahwa perekonomian sedang tidak baik-baik saja. Sebut saja kontraksi sektor manufaktur AS yang tercermin dari indeks PMI manufaktur berada pada angka di bawah 50.
Tidak hanya manufaktur saja yang mengalami penurunan, sektor jasa pun tak jauh berbeda. Belum lagi ditambah dengan kinerja ekspor dan impor China yang turun masing-masing 3,2% dan 8,5% pada September jauh lebih rendah dari prediksi. Hal tersebut seolah semakin menguatkan perekonomian global sedang dalam ancaman resesi.
Baru-baru ini berita mengejutkan juga muncul dari poyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh IMF. Lembaga dana moneter tersebut memperkirakan perekonomian dunia akan tumbuh sebesar 3,4% dibanding perkiraan sebelumnya yang mencapai 3,5%.
Selain itu, IMF juga memprediksi bahwa total GDP output global akan turun sebesar 0,8% pada 2020. Penurunan GDP output diprediksi juga akan dialami oleh Amerika Serikat dan China dengan tingkat penurunan masing-masing 0,6% dan 2%.
Sentimen ketiga datang dari dalam negeri, mendekati pelantikan presiden RI periode 2019-2024 serta satu bulan pasca ditetapkannya UU KPK, ada kemungkinan demonstrasi kembali terjadi.
Hari ini, 17 Oktober 2019 tepat sebulan DPR mengesahkan UU KPK yang kontroversial itu karena dinilai lemahkan lembaga independen pemberantas korupsi itu. Berbagai lapisan masyarakat meminta Jokowi untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terkait masalah KPK ini. Namun hingga saat ini RI-1 masih saja bungkam.
Adanya aktivitas demo dibenarkan oleh Koordinator Pusat Aliansi BEM Seluruh Indonesia, Muhammad Nurdiansyah seperti dilansir CNN Indonesia.
Aksi demo bertajuk #TuntaskanReformasi itu akan digelar pada Kamis hari ini pukul 13.00 WIB dimulai dari Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Monas dan berakhir di Istana Negara. Melalui aksi ini mahasiswa kembali menyampaikan aspirasinya kepada Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Perppu KPK.
Skala demonstrasi yang terjadi apakah lebih besar dari sebelumnya belum dapat dipastikan. Namun momen demonstrasi ini juga bertepatan dengan semakin dekatnya pelantikan Jokowi menjabat sebagai presiden RI untuk periode kedua.
Ya, memang banyak sentimen yang berpotensi membuat pasar keuangan terutama pasar ekuitas tanah air tertekan. Mari kita amati bersama apakah IHSG masih perkasa menghadapi gempuran dari sana-sini
BERLANJUT KE HALAMAN 5 >> Berikut adalah agenda dan rilis data ekonomi yang terjadwal untuk hari ini :
• Rilis data penjualan ritel Inggris bulan September (15.30 WIB)
• Rilis data produksi industri Amerika Serikat bulan September (20.15 WIB)
• Rilis data EIA perubahan stok minyak mentah Amerika Serikat hingga 11 Oktober (21.30 WIB)
Berikut adalah agenda dan aksi korporasi dalam negeri yang terjadwal untuk hari ini :
• RUPSLB PT Intikeramik Alamasri Industri Tbk. (10.00 WIB)
Berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional :
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar silahkan klik di sini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(twg/twg) Next Article Moment of Truth! Siap-siap Simak Rilis Inflasi AS
Indeks bursa tanah air (IHSG) di tutup menguat 0,19% pada perdagangan kemarin (16/10/2019). Penguatan IHSG yang tidak terlalu besar sesuai dengan prediksi kami setelah IHSG menunjukkan tanda-tanda technical rebound Jumat pekan lalu.
Pada perdagangan Rabu (16/10/2019), IHSG berada di level 6.183,584 tepat tiga menit setelah jam pembukaan bursa dan menjadi rekor tertinggi harian (intraday).
Secara historis, IHSG cenderung bergerak turun mendekati istirahat makan siang, dan bergerak sideways pada sesi kedua. Namun di detik-detik terakhir, IHSG mampu melesat dengan sisa tenaganya dan berhasil finish di zona hijau. Kenaikan ini merupakan penguatan IHSG dalam empat hari perdagangan terakhir secara berturut-turut.
Berbeda dengan periode sebelumnya, kokohnya IHSG kemarin disokong oleh saham-saham di sektor keuangan dan properti. Apresiasi IHSG juga disokong oleh enam saham blue chips yang berhasil membawa indeks pasar keluar dari jeratan koreksi. Enam saham tersebut antara lain PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Semen Indonesia Tbk (SMGR), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) serta PT Bank Mandiri Tbk (BMRI).
Kegembiraan yang melanda Wall Street dini hari ternyata menular ke mayoritas bursa Asia kecuali bursa Shang Hai dan India yang masing-masing justru mengalami koreksi sebesar 0,41% dan 0,08%.
Euforia rilis data kinerja keuangan kuartal III emiten bursa AS menjadi katalis positif hijaunya bursa Paman Sam yang menjangkiti pasar Asia. Beberapa emiten perbankan Amerika mencatatkan performa yang masih positif seolah sedikit menampikkan sejenak kekhawatiran akan isu perlambatan ekonomi global dan resesi yang jadi momok hingga saat ini.
Berbanding terbalik dengan pasar ekuitas, mata uang Sang Garuda justru melemah di hadapan dolar Paman Sam. Rupiah terdepresiasi sebesar 0,03%. Mata uang negara di kawasan benua kuning lain yang juga ikut terkoreksi di hadapan dolar Amerika Serikat adalah Ringgit Negeri Jiran, Dolar Negeri Singa, Won Negeri Ginseng, Yuan Negeri Panda serta Dolar Taiwan.
Sementara obligasi pemerintah RI bertenor 10 tahun dengan seri acuan FR0078 pada perdagangan kemarin mengalami penurunan imbal hasil sebesar 0,54%. Penurunan imbal hasil mengindikasikan bahwa harganya sedang naik.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 >> Beralih ke Wall Street, indeks utama bursa Amerika Serikat harus ditutup terkapar di zona merah pada perdagangan pagi tadi.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun sebesar 12,65 poin atau 0,05% ke level 27.012,15. Nasib yang sama juga dialami oleh dua indeks utama lain yaitu S&P 500 dan Nasdaq Composit Indeks. Indeks S&P 500 terkoreksi sebesar 5,06 poin atau 0,17% ke level 2.990,62 sedangkan Nasdaq Composite Indeks mencatatkan pelemahan 23,77 poin atau 0,29% ke level 8.124,936.
Memerahnya indeks utama AS tak jauh-jauh dari sentimen perlambatan pertumbuhan ekonomi AS yang tercermin dari penjualan ritel AS yang turun. Ada kemungkinan investor juga merespon pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS & global oleh IMF.
Sentimen tersebut seolah menutupi kinclongnya kinerja emiten bursa AS. Sebagai catatan, pekan ini merupakan minggu rilis data kinerja kuartalan emiten Amerika Serikat. Rilis data kinerja di awali oleh beberapa Bank besar di AS.
Sebut saja JP Morgan Chase & Co yang melaporkan pendapatan yang lebih tinggi dari prediksi. Peningkatan pendapatan bank disokong oleh divisi perbankan konsumen yang mencatatkan performa ciamik.
Bank kustodian terbesar di AS yaitu Bank of New York Mellon juga melaporkan laba kuartalan yang melampaui ekspektasi pasar. Keberhasilan penguatan bottom line BNY Mellon tak terlepas dari disiplin pemangkasan biaya yang mereka lakukan di tengah kondisi global yang tak tentu.
Hal tersebut dilakukan untuk mengimbangi performa unit bisnis di bidang pengelolaan investasi yang buruk dan di tengah kondisi dengan suku bunga rendah.
Beberapa perusahaan lain yang juga mencatatkan kinerja cukup ciamik di kuartal ke III-2019 antara lain Huawei, PNC Finansial, perusahaan farmasi Roche, perusahaan semi konduktor ASML, serta perusahaan farmasi lainnya yaitu Mediclinic.
Sejauh ini, data FactSet menunjukkan 83% emiten dalam S&P 500 yang telah merilis neraca keuangannya per kuartal III-2019 membukukan kinerja di atas ekspektasi analis.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 >> Investor perlu mencermati beberapa sentimen global maupun lokal yang berpotensi menggerakkan pasar pada perdagangan hari ini.
Pertama, investor patut mengamati pergerakan indeks bursa utama Negeri Paman Sam. Indeks Wall Street yang ditutup melemah pada pagi tadi berpotensi membawa sinyal buruk ke pasar Asia.
Sentimen kedua apalagi kalau bukan tontonan tiap hari selama 15 bulan terakhir ini, hubungan Amerika-China.
Sejak pertemuan kedua belah pihak di Washington pada Jumat pekan lalu, ketegangan yang selama ini terjadi mulai melunak. Masih ada harapan kembali pulihnya ekonomi global saat AS-China membawa kemesraan ke meja diplomasi.
Belum banyak memang yang dapat diceritakan selain penundaan tarif oleh AS dan pembelian produk agrikultur oleh China. Kesepakatan dagang parsial itu pun banyak menimbulkan spekulasi di sana-sini. Namun keduanya masih terlihat berupaya untuk segera mengakhiri semua ini.
Melansir dari Reuters, pada Rabu kemarin (16/10/2019), presiden AS Donald Trump menyampaikan bahwa dirinya tidak akan menandatangani kesepakatan dagang sebelum bertemu langsung dengan presiden China, Xi Jinping di forum Asia Pasific Economic Cooperation (APEC).
Forum tersebut dijadwalkan berlangsung pada 11-17 November mendatang di Santiago, Chile dan akan dihadiri oleh Trump, Xi serta kepala negara Asia Pasifik lain.
Trump juga menyampaikan kepada media di Gedung Putih bahwa partial trade deal kedua belah pihak yang diumumkan pekan lalu sedang dalam proses perumusan. “Sedang dipersiapkan” kata Trump.
Belum lama ini juga ada kabar yang berpotensi bikin gaduh lagi yang bisa-bisa membuat kemesraan keduanya memudar. Pada Selasa kemarin (15/10/2019), House of Representatives/DPR AS meloloskan peraturan yang akan mengakhiri status perdagangan Hong Kong dengan AS kecuali Departemen Dalam Negeri AS memberikan putusan bahwa tidak ada pelanggaran HAM dalam kasus demonstrasi Hong Kong. Sontak hal tersebut direspon China dengan nada mengancam.
Tak dapat dipungkiri bahwa perang dagang yang terjadi lebih dari setahun ini membuat ekonomi AS, China dan global jadi kena dampaknya, alias tumbuh melambat. Kemarin, data penjualan ritel AS dirilis.
Hasilnya, penjualan ritel secara mengejutkan turun 0,3% pada September yang menandai koreksi pertama dalam tujuh bulan terakhir. Pemangkasan belanja kendaraan bermotor dan belanja online ikut menekan penjualan ritel AS.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 >> Rilis data ekonomi sebelum-sebelumnya juga seolah menjadi tanda bahwa perekonomian sedang tidak baik-baik saja. Sebut saja kontraksi sektor manufaktur AS yang tercermin dari indeks PMI manufaktur berada pada angka di bawah 50.
Tidak hanya manufaktur saja yang mengalami penurunan, sektor jasa pun tak jauh berbeda. Belum lagi ditambah dengan kinerja ekspor dan impor China yang turun masing-masing 3,2% dan 8,5% pada September jauh lebih rendah dari prediksi. Hal tersebut seolah semakin menguatkan perekonomian global sedang dalam ancaman resesi.
Baru-baru ini berita mengejutkan juga muncul dari poyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh IMF. Lembaga dana moneter tersebut memperkirakan perekonomian dunia akan tumbuh sebesar 3,4% dibanding perkiraan sebelumnya yang mencapai 3,5%.
Selain itu, IMF juga memprediksi bahwa total GDP output global akan turun sebesar 0,8% pada 2020. Penurunan GDP output diprediksi juga akan dialami oleh Amerika Serikat dan China dengan tingkat penurunan masing-masing 0,6% dan 2%.
Sentimen ketiga datang dari dalam negeri, mendekati pelantikan presiden RI periode 2019-2024 serta satu bulan pasca ditetapkannya UU KPK, ada kemungkinan demonstrasi kembali terjadi.
Hari ini, 17 Oktober 2019 tepat sebulan DPR mengesahkan UU KPK yang kontroversial itu karena dinilai lemahkan lembaga independen pemberantas korupsi itu. Berbagai lapisan masyarakat meminta Jokowi untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terkait masalah KPK ini. Namun hingga saat ini RI-1 masih saja bungkam.
Adanya aktivitas demo dibenarkan oleh Koordinator Pusat Aliansi BEM Seluruh Indonesia, Muhammad Nurdiansyah seperti dilansir CNN Indonesia.
Aksi demo bertajuk #TuntaskanReformasi itu akan digelar pada Kamis hari ini pukul 13.00 WIB dimulai dari Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Monas dan berakhir di Istana Negara. Melalui aksi ini mahasiswa kembali menyampaikan aspirasinya kepada Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Perppu KPK.
Skala demonstrasi yang terjadi apakah lebih besar dari sebelumnya belum dapat dipastikan. Namun momen demonstrasi ini juga bertepatan dengan semakin dekatnya pelantikan Jokowi menjabat sebagai presiden RI untuk periode kedua.
Ya, memang banyak sentimen yang berpotensi membuat pasar keuangan terutama pasar ekuitas tanah air tertekan. Mari kita amati bersama apakah IHSG masih perkasa menghadapi gempuran dari sana-sini
BERLANJUT KE HALAMAN 5 >> Berikut adalah agenda dan rilis data ekonomi yang terjadwal untuk hari ini :
• Rilis data penjualan ritel Inggris bulan September (15.30 WIB)
• Rilis data produksi industri Amerika Serikat bulan September (20.15 WIB)
• Rilis data EIA perubahan stok minyak mentah Amerika Serikat hingga 11 Oktober (21.30 WIB)
Berikut adalah agenda dan aksi korporasi dalam negeri yang terjadwal untuk hari ini :
• RUPSLB PT Intikeramik Alamasri Industri Tbk. (10.00 WIB)
Berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional :
Indikator | Tingkat |
Tingkat pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY) | 5,05% |
Inflasi (September 2019 YoY) | 3,39% |
BI 7 Days Reverse Repo Rate (September 2019) | 5,25% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi Berjalan (Q2-2019) | -3,04% PDB |
Neraca Dagang (September 2019 | -US$ 160 juta |
Cadangan Devisa (September 2019) | US$ 124,3 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar silahkan klik di sini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(twg/twg) Next Article Moment of Truth! Siap-siap Simak Rilis Inflasi AS
Most Popular