Newsletter

Obat The Fed Dinilai Tak Cukup, Beranikah Melawan Arus Lagi?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
09 October 2019 06:52
Obat The Fed Dinilai Tak Cukup, Beranikah Melawan Arus Lagi?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan Selasa (8/10/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup dengan penguatan sebesar 39 poin atau 0,65% ke level 6.039,6. Besaran penguatan tersebut belum mampu menambal koreksi pada Senin yang mencapai 1%.

Sektor finansial dan konsumer berhasil membawa ke zona hijau dengan penguatan masing-masing 0,92% dan 1,35%. Sebanyak 229 saham menguat dan 167 saham turun, sisanya 155 stagnan.

Secara teknikal, tekanan beli mulai muncul sehingga IHSG hari ini ditutup dengan membentuk pola bullish harami yang mengkonfirmasi akan sinyal kenaikan.




Jika dibandingkan dengan bursa kawasan, bursa Indonesia terindikasi ketinggalan gerbong karena baru menguat pada Selasa, sementara bursa utama Asia telah menguat dua hari berturut-turut.

Kemarin indeks Nikkei naik 0,99%, indeks Shanghai menguat 0,29%, indeks Hang Seng terkerek 0,28%, indeks Straits Times terapresiasi 0,37%, dan indeks Kospi bertambah 1,21%.

Namun, demi melihat koreksi yang menimpa Wall Street dua hari beruntun, pelaku pasar Indonesia bisa dibilang lebih mawas dengan risiko global terkait perang dagang yang berecamuk.

Sulit untuk melihat alasan kuat di balik hijaunya bursa Asia dua hari terakhir mengingat sentimen global terkait perang dagang sedang buruk-buruknya. Apalagi, rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa kembali terancam ambyar.



Secara year to date, IHSG masih terkoreksi 3,48% sejak awal tahun hingga saat ini. Meski secara teknikal semestinya hari ini IHSG menguat, tetapi jika melihat penguatan pada Selasa yang belum membalikkan koreksi pada Senin, pelaku bursa Indonesia terlihat masih ragu. Perlu ada sentimen positif kuat untuk mendongkrak aksi beli hari ini.

BERLANJUT KE HAL 2>>>

Bursa saham Amerika Serikat (AS) anjlok pada perdagangan Selasa, setelah optimisme investor akan damai dagang jelang pertemuan antara AS-China kembali mengabur oleh ulah Presiden AS Donald Trump mengenakan sanksi atas perusahaan China.

Indeks Dow Jones Industrial Average (Dow Jones) ditutup anjlok 313,98 poin (-1,2%) ke 26.164,04. Indeks Nasdaq turun 1,7% ke 7.823,78 sementara indeks S&P 500 terpeleset 1,6% ke 2.893,06.

AS merundung China jelang pertemuan pada 10 Oktober dengan menambah daftar perusahaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) Tiongkok yang masuk dalam daftar hitam perdagangan dengan dalih pelanggaran hak azasi muslim Xinjiang.

Kementerian Luar Negeri China menyatakan “tetap memantau” terkait kemungkinan aksi balasan terhadap AS. Telebih, Kementerian Dalam Negeri menyatakan AS akan mengenakan pembatasan visa terhadap pejabat China yang terkait dengan kaum minoritas di XInjiang.

Pidato Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell yang menyatakan bahwa bank sentral AS tersebut akan menambah neracanya “segera” guna mengatasi persoalan pendanaan di pasar obligasi beberapa pekan terakhir, tetapi bukan dalam bentuk quantitative easing.

Artinya, penambahan neraca bank sentral itu dilakukan dengan memberikan fasilitas repo bagi perbankan atau mengambil alihnya dengan uang tunai, sehingga akan ada uang baru yang dicetak oleh bank sentral tersebut dan masuk beredar ke sistem keuangan.

Namun, pengumuman itu tak lantas menolong Wall Street. Saham perbankan sudah terlanjur boncos oleh aksi jual. Koreksi lebih dari 1% menimpa Citigroup, Bank of America dan J.P Morgan Chase. Saham Caterpillar dan Boeing juga anjlok lebih dari 1%. Saham blue chip di sektor teknologi juga memerah mulai dari Facebook, Amazon, Apple dan Alphabet.

Negara Adidaya tersebut berencana menaikkan tarif terhadap produk impor dari China senilai US$ total $250 miliar, dari 25% menjadi 30% tepat pada tanggal 15 Oktober. Presiden AS Donald Trump mengatakan kenaikan itu berlaku jika tak ada kemajuan dalam negosiasi.

Dari sisi fundamental, indeks harga produsen AS tercatat anjlok terparah dalam delapan bulan terakhir pada September, terseret pelemahan biaya barang dan jasa. Harga produsen merupakan indikator inflasi sehingga pelemahan tersebut berpotensi mendorong The Fed melonggarkan kebijakan moneternya.

BERLANJUT KE HAL 3 >>>


Hari ini, kita akan melihat parade pidato tiga petinggi bank sentral AS (The Federal Reserve/ The Fed). Bos The Fed Jerome Powell bahkan dijadwalkan berpidato dua kali dalam sehari seolah bank sentral tersebut ingin menggaris-bawahi sikap dan pandangan mereka terkait dengan perkembangan pasar.

Dalam pernyataan publik pertamanya pekan ini, Powell mengapresiasi independensi bank sentral tersebut dalam mengambil kebijakan moneter. Pernyataan ini menjadi sebuah sindiran atas upaya Presiden AS Donald Trump yang berulang-kali mencibir dan ingin mengintervensi otoritas moneter tersebut.

Yang Terbaru, Powell mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi AS saat ini cukup berkelanjutan. Dia memberi contoh di era 1990-an di mana ekonomi juga tertekan tetapi melaju secara lebih berkelanjutan setelah bank sentral tersebut memangkas suku bunga beberapa kali.

"Memang ada sedikit pelemahan... Tidak ada alasan kenapa ekspansi [ekonomi] tak bisa berlanjut," tuturnya di pertemuan tahunan National Association of Business Economics di Denver AS, sebagaimana diberitakan Reuters dini hari tadi.

Sinyal yang dikirim adalah bahwa The Fed sadar akan risiko pelemahan, kondisi saat ini terhitung normal di tengah situasi seperti sekarang, dan The Fed siap mendukung ekspansi ekonomi. Bahkan, Powell mengatakan bahwa bank sentral AS tersebut akan menambah neracanya "segera" guna mengatasi persoalan pendanaan di pasar obligasi.

Namun bagi Wall Street, obat yang ditawarkan Powell itu tidak cukup untuk meredakan kekhawatiran mereka. Pasalnya, penyakit yang diidap perekonomian global berpeluang menjadi kian parah setelah AS merundung China jelang pertemuan pada Kamis besok.

Apakah pelaku pasar Asia dan Indonesia hari ini akan memilih percaya bahwa ekonomi masih akan baik-baik saja, atau ikut parno sebagaimana Wall Street dalam dua hari terakhir? Ada baiknya cermati dulu perkembangan dari Benua Biru sebelum menentukan jawabannya.

CNBC International mengutip beberapa media kini ramai memberitakan jika perundingan Brexit antara Inggris dan Uni Eropa kini menuju kegagalan. Sky News melaporkan Kanselir Jerman, Angela Merkel, sudah menyampaikan kepada Perdana Menteri (PM) Inggris, Boris Johnson, jika deal Brexit untuk saat ini "sangat tidak mungkin".

Sementara itu BBC mengutip sumber pemerintah Inggris yang mengatakan pihak Uni Eropa tidak menunjukkan adanya upaya yang sedikit sekalipun untuk membahas proposal Brexit sejak diajukan PM Johnson.

Secara umum, sentimen global masih negatif. Trading berbasis teknikal bakal mendominasi bursa efek Indonesia hari ini, sembari mencermati perkembangan fundamental dari emiten atau kabar positif dari dalam negeri untuk melakukan aksi beli.


BERLANJUT KE HAL 4 >>>

Berikut adalah rilis data yang akan terjadi hari ini:

  • Pidato Presiden Fed Chicago Charles Evans (00:35 WIB); 
  • Pidato Gubernur The Fed Jerome Powell (01:30 WIB);
  • Pidato Presiden Fed Minneapolis Neel Kashkari (04:00 WIB);
  • Rilis data penjualan ritel Indonesia Agustus (20:00 WIB);
  • Pidato Gubernur The Fed Jerome Powell (22:00 WIB);
  • RUPSLB PT Trisula International Tbk (09:00 WIB);
  • Dividen PT Astra Otoparts Tbk (tentatif);

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY)

5,05%

Inflasi (September 2019 YoY)

3,39%

BI 7-Day Reverse Repo Rate (September 2019)

5,25%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Q2-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (Q2-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (September 2019)

US$ 124,3 miliar

*Tim Riset CNBC Indonesia

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(ags/ags) Next Article Menangkal Hantu 'Semi Resesi' dengan "Mantra" Moneter

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular