
Newsletter
Berharap Tren Penguatan Jumat Akan Berlanjut, Happy Weekend!
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
13 September 2019 07:40

Dari mata uang Garuda, rupiah kemarin berhasil menjebol angka level psikologis Rp 14.000 per dolar AS, tepatnya menguat 0,5% hingga Rp 13.985 per dolar AS pada pentupan pasar sekaligus memarkirnya di level terkuat sejak 26 Juli tersebut.
Tidak cuma di hadapan dolar AS, kedigdayaan rupiah juga masih tercatat di depan mata uang lain yaitu riyal Arab Saudi dan yuan China, meskipun bermain tanpa gol dengan euro.
Bukan hanya rupiah, ternyata mayoritas nilai tukar Benua Kuning juga kompak menguat terhadap greenback, nama lain dolar AS, seiring dengan kemesraan yang semakin diumbar China-Amerika Serikat (AS) kepada publik setelah sebelumnya masih baku cakar dengan saling menetapkan kenaikan tarif impor.
Nilai tukar dolar juga ditunjukkan dari posisi Dollar Index, yang sering disebut DXY atau USDX juga, yang melemah semalam hingga 98,42 dari posisi di awal perdagangan 98,62.
Bergeser ke mata uang Uni Eropa, koreksi yang terjadi pada euro kemarin ternyata belum mampu menafikan penguatan euro secara akumulatif 3,5% terhadap dolar AS sejak tengah tahun.
Penguatan didukung oleh momentum pertama kalinya Bank Sentral Eropa (ECB) melontarkan sinyal untuk melonggarkan moneter jika diperlukan menepis ancaman krisis di Benua Biru.
Dan kemarin, bank sentral yang dipimpin Mario Draghi tersebut benar melancarkan stimulus lanjutan yang sudah sesuai dengan prediksi dan kehendak pasar yaitu penurunan suku bunga simpanan bank (deposit rate) sebesar 10 bps menjadi -0,5% dari sebelumnya -0,4%, sementara main refinancing facility tetap sebesar 0% dan suku bunga pinjaman (lending facility) juga masih tetap 0,25%.
Stimulus pembelian aset (quantitative easing/QE) juga diketokpalukan dengan angka 20 miliar euro per bulan mulai awal November hingga waktu yang belum ditentukan, sebagai upaya memperkuat likuiditas keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi sekawasan.
Langkah Draghi tersebut memang diprediksi akan ngegas dan menjadi jurus sapu jagat karena Draghi akan segera menghabiskan masa kepemimpinannya pada Oktober, sebelum digantikan oleh mantan pimpinan Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Madeleine Odette Lagarde di ECB.
Angin baik tersebut membuat bursa saham Eropa menguat kemarin, di mana indeks DAX di Jerman naik 0,41%, CAC40 di Prancis naik 0,44%, dan FTSE 100 naik tipis 0,09%.
Namun, jangan lupakan bahwa angin tersebut terbentuk di tengah ancaman resesi negara-negara utama dunia, yang kondisinya sedang mencampuradukkan logika karena semakin buruk kondisi ekonomi saat ini justru disorak-sorai dapat memicu penurunan stimulus moneter terutama dengan pemangkasan suku bunga.
Belum lagi warisan yang ditinggalkan Draghi bagi Lagarde dalam program QE, yang tentu akan membuat berang Presiden AS Donald Trump yang tidak akan senang dalam persaingan gombal suku bunga rendah (yang semakin rendah suku bunga seharusnya justru menunjukkan adanya masalah ekonomi di negara tersebut) yang juga semakin tidak masuk akal dan akan menjadi lucu-lucuan.
Positifnya angin pasar keuangan Eropa akibat pencanangan program stimulus juga berlanjut sampai ke Wall Street, di mana kebijakan itu disambut baik pelaku pasar di tengah meredanya ketegangan perang dagang.
Dow Jones Industrial Average mengakhiri hari dengan kenaikan 0,2% ke 27.182,45 alias meningkat tujuh sesi berturut-turut. Indeks S&P 500 yang berbasis luas naik 0,3% dan ditutup pada 3.009,57, sementara indeks Nasdaq Composite Index yang kaya saham-saham teknologi juga naik 0,3% menjadi 8.194,47.
Pasar berada di wilayah positif hampir di sepanjang perdagangan. "Kami berayun ke teritori normal dengan fokus pada perdagangan dan kebijakan moneter," kata analis setempat dari National Securities Art Hogan.
Langkah ECB ini diharapkan akan diikuti oleh The Federal Reserves AS. Diharapkan bank sentral AS ini akan mengambil kebijakan dovish ke depan, yang melindungi pertumbuhan dengan penurunan suku bunga kembali.
Saat ini, pelaku pasar global masih melihat besarnya potensi penurunan suku bunga acuan AS menjadi 1,75%-2,2% adalah sebesar 91,2%, naik dari posisi kemarin 87,7%.
BERLANJUT KE HAL 3
(irv)
Tidak cuma di hadapan dolar AS, kedigdayaan rupiah juga masih tercatat di depan mata uang lain yaitu riyal Arab Saudi dan yuan China, meskipun bermain tanpa gol dengan euro.
Bukan hanya rupiah, ternyata mayoritas nilai tukar Benua Kuning juga kompak menguat terhadap greenback, nama lain dolar AS, seiring dengan kemesraan yang semakin diumbar China-Amerika Serikat (AS) kepada publik setelah sebelumnya masih baku cakar dengan saling menetapkan kenaikan tarif impor.
Nilai tukar dolar juga ditunjukkan dari posisi Dollar Index, yang sering disebut DXY atau USDX juga, yang melemah semalam hingga 98,42 dari posisi di awal perdagangan 98,62.
Bergeser ke mata uang Uni Eropa, koreksi yang terjadi pada euro kemarin ternyata belum mampu menafikan penguatan euro secara akumulatif 3,5% terhadap dolar AS sejak tengah tahun.
Penguatan didukung oleh momentum pertama kalinya Bank Sentral Eropa (ECB) melontarkan sinyal untuk melonggarkan moneter jika diperlukan menepis ancaman krisis di Benua Biru.
Dan kemarin, bank sentral yang dipimpin Mario Draghi tersebut benar melancarkan stimulus lanjutan yang sudah sesuai dengan prediksi dan kehendak pasar yaitu penurunan suku bunga simpanan bank (deposit rate) sebesar 10 bps menjadi -0,5% dari sebelumnya -0,4%, sementara main refinancing facility tetap sebesar 0% dan suku bunga pinjaman (lending facility) juga masih tetap 0,25%.
Stimulus pembelian aset (quantitative easing/QE) juga diketokpalukan dengan angka 20 miliar euro per bulan mulai awal November hingga waktu yang belum ditentukan, sebagai upaya memperkuat likuiditas keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi sekawasan.
Langkah Draghi tersebut memang diprediksi akan ngegas dan menjadi jurus sapu jagat karena Draghi akan segera menghabiskan masa kepemimpinannya pada Oktober, sebelum digantikan oleh mantan pimpinan Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Madeleine Odette Lagarde di ECB.
Angin baik tersebut membuat bursa saham Eropa menguat kemarin, di mana indeks DAX di Jerman naik 0,41%, CAC40 di Prancis naik 0,44%, dan FTSE 100 naik tipis 0,09%.
Namun, jangan lupakan bahwa angin tersebut terbentuk di tengah ancaman resesi negara-negara utama dunia, yang kondisinya sedang mencampuradukkan logika karena semakin buruk kondisi ekonomi saat ini justru disorak-sorai dapat memicu penurunan stimulus moneter terutama dengan pemangkasan suku bunga.
Belum lagi warisan yang ditinggalkan Draghi bagi Lagarde dalam program QE, yang tentu akan membuat berang Presiden AS Donald Trump yang tidak akan senang dalam persaingan gombal suku bunga rendah (yang semakin rendah suku bunga seharusnya justru menunjukkan adanya masalah ekonomi di negara tersebut) yang juga semakin tidak masuk akal dan akan menjadi lucu-lucuan.
Positifnya angin pasar keuangan Eropa akibat pencanangan program stimulus juga berlanjut sampai ke Wall Street, di mana kebijakan itu disambut baik pelaku pasar di tengah meredanya ketegangan perang dagang.
Dow Jones Industrial Average mengakhiri hari dengan kenaikan 0,2% ke 27.182,45 alias meningkat tujuh sesi berturut-turut. Indeks S&P 500 yang berbasis luas naik 0,3% dan ditutup pada 3.009,57, sementara indeks Nasdaq Composite Index yang kaya saham-saham teknologi juga naik 0,3% menjadi 8.194,47.
Pasar berada di wilayah positif hampir di sepanjang perdagangan. "Kami berayun ke teritori normal dengan fokus pada perdagangan dan kebijakan moneter," kata analis setempat dari National Securities Art Hogan.
Langkah ECB ini diharapkan akan diikuti oleh The Federal Reserves AS. Diharapkan bank sentral AS ini akan mengambil kebijakan dovish ke depan, yang melindungi pertumbuhan dengan penurunan suku bunga kembali.
Saat ini, pelaku pasar global masih melihat besarnya potensi penurunan suku bunga acuan AS menjadi 1,75%-2,2% adalah sebesar 91,2%, naik dari posisi kemarin 87,7%.
BERLANJUT KE HAL 3
(irv)
Pages
Most Popular