
Newsletter
Huftt! Bukan Ceria, Melainkan September Kelabu Buat Indonesia
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
04 September 2019 06:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia berakhir di zona merah pada penutupan perdagangan kemarin (3/9/2019). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, sampai harga obligasi pemerintah kompak terkoreksi.
Kemarin, bursa saham acuan Tanah Air ditutup melemah 0,46% menjadi 6.261,59 poin. Sementara rupiah melemah 0,21% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang akhirnya harus pasrah dibanderol Rp 14.220/US$.
Lalu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 2,6 basis poin ke level 7,359%. Kenaikan yield adalah pertanda harga obligasi sedang turun karena terpapar aksi jual.
Pasar keuangan Indonesia bergerak searah dengan para tetangganya di kawasan Asia. Di pasar saham, indeks Sensex (India) terjun bebas 2,06%, indeks PSEI (Filipina) anjlok 1,44%, indeks SETI (Thailand) turun 0,72%, indeks Hang Seng melemah 0,39% dan indeks Kospi terkoreksi 0,18%.
Sedangkan di pasar valuta asing lebih suram. Hampir seluruh mata uang utama Benua Kuning melemah di hadapan greenback, hanya tersisa yen Jepang yang masih mampu menguat.
Sentimen yang menghantui pasar keuangan global sejak awal bulan ini belum berubah, yakni ketegangan dagang antara Beijing dan Washington yang masih menjadi kekhawatiran utama pelaku pasar.
Seperti diketahui, babak baru perang dagang AS-China resmi dimulai kembali pada 1 September lalu. Negeri Paman Sam mengenakan bea masuk tambahan sebesar 15% atas produk asal China senilai US$ 125 miliar.
Kemudian Negeri Tiongkok melakukan aksi retaliasi dengan memberlakukan tarif 5-10% atas produk buatan AS senilai US$ 75 miliar, dilansir dari Reuters. Perlu dicatat bahwa saat ini China baru memberlakukan tarif pada sepertiga dari sekitar 5.000 jenis barang importasi asal AS.
Hingga saat ini kedua negara diketahui masih merencanakan babak tarif baru pada 15 Desember mendatang.
Keadaan semakin memanas kala Kementerian Perdagangan China untuk ketiga kalinya kembali menggugat AS ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Tidak disebutkan rincian dari laporan itu, tetapi China menyatakan kebijakan AS telah mempengaruhi ekspor mereka sebesar US$ 300 miliar, dilansir dari CNBC International.
Selain itu, Beijing menegaskan bahwa pengenaan tarif tambahan sebesar 15% pada produk Made in China senilai US$ 125 miliar pada Minggu (1/9/2019) telah melanggar konsensus yang dicapai oleh pemimpin kedua negara saat pertemuan di Osaka, Jepang, akhir Juni lalu.
Washington kemudian menulis surat pembelaan yang menyatakan bahwa China dan AS setuju untuk tidak mengadili masalah tersebut berdasar hukum WTO.
"China telah melakukan tindakan yang unilateral untuk menerapkan kebijakan industri yang agresif kepada para mitra dagangnya untuk secara tidak adil mencuri dan menguasai teknologi. AS menerapkan bea masuk untuk menghapus kebijakan China yang tidak adil dan mengganggu," tegas pembelaan tertulis dari Washington, seperti diberitakan CNBC International.
AS juga menegaskan tindakannya dikecualikan dari aturan WTO karena itu merupakan "langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi moral publik."
AS punya waktu 60 hari untuk menyelesaikan perkara ini, sesuai aturan WTO. Kemudian China bisa meminta keberatan, dan prosesnya bisa memakan waktu hitungan tahun. Namun jika China menang, maka mereka berhak menjatuhkan sanksi perdagangan kepada AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN DUA) Beralih ke bursa saham utama AS, tiga indeks utama Wall Street kompak ditutup melemah pada perdagangan pertama bulan September, setelah dua kekuatan ekonomi terbesar dunia saling mengenakan tarif baru dan data manufaktur yang lemah semakin menekan sentimen investor.
Data pasar menunjukkan indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup anjlok 1,1% ke level 25.118,02 poin, indeks S&P 500 melemah 0,7% menjadi 2.906,27 poin, sedangkan Nasdaq terkoreksi 1,1% ke level 7.874,16 poin.
Pada 1 September, AS memberlakukan tarif sebesar 15% kepada berbagai produk importasi asal China senilai US$ 125 miliar, sedangkan Negeri Tiongkok juga mengenakan tarif tambahan sekitar 5-10% untuk produk Made in USA, termasuk di antaranya adanya minyak mentah.
Ini menjadi yang pertama kali China memberlakukan bea masuk pada emas hitam asal AS setelah kurang lebih satu tahun kedua negara memulai perang dagang.
"Itu menambah kekhawatiran terkait apakah terdapat jalan untuk (mencapai) negosiasi," ujar Quincy Krosby, Chief Market Strategist di Prudential Financial, dikutip dari CNBC International.
Di saat yang sama, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa delegasi dari AS dan China masih merencanakan dialog dagang lanjutan bulan ini, meskipun ketegangan antara kedua negara sedang meningkat.
Lebih lanjut, situasi tensi dagang semakin meningkat kala Beijing mengirimkan pengaduan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait pemberlakuan bea masuk dari AS.
Negeri Tiongkok mengklaim bahwa tarif tambahan telah melanggar konsensus yang dicapai oleh pemimpin kedua negara saat bertemu di Osaka (Jepang) akhir Juni silam.
Pada dasarnya, ekskalasi perang dagang antara China dan AS yang terjadi sepanjang bulan Agustus berkontribusi pada penurunan yang cukup dalam pada bursa saham acuan di Wall Street.
Tiga indeks utama membukukan kinerja bulanan terburuk sejak Mei, dimana indeks DJIA dan S&P 500 terkoreksi masing-masing 1,7% dan 1,8% sepanjang bulan lalu. Sedangkan Nasdaq tercatat anjlok 2,6%.
Di lain pihak, bursa saham Wall Street juga tertekan dan sempat anjlok hingga 1,6% kala rilis data PMI manufaktur AS bulan Agustus versi ISM (Institute for Supply Management) mencatatkan kontraksi untuk pertama kalinya sejak Januari 2016, dilansir CNBC International.
Angka PMI manufaktur tercatat hanya sebesar 49,1 poin, lebih rendah dari konsensus pasar yang memproyeksi di level 51,1 poin, dilansir dari Trading Economics. Kontraksi tersebut disebabkan penurunan signifikan pada indeks pesanan baru dan indeks ketenagakerjaan.
Untuk diketahui angka PMI di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau memburuknya aktivitas bisnis. Sementara di atas 50 menunjukkan peningkatan aktivitas atau ekspansi.
Sementara itu, krisis politik yang melanda Negeri Ratu Elisabeth turut berkontribusi menambah kekhawatiran pelaku pasar. Pasalnya, kisruh politik yang memanas antara anggota parlemen Inggris dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson langsung menghantam poundsterling, hingga mendekati level terlemah 34 tahun pada perdagangan kemarin.
(BERLANJUT KE HALAMAN TIGA) Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah perkembangan di Wall Street yang mengalami koreksi cukup dalam. "Demam Tinggi" yang sedang melanda tiga indeks utama di Wall Street bisa saja menular ke Benua Kuning pagi ini, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua tentu adalah perkembangan hubungan dagang AS-China, di mana informasi sekecil apa pun berpotensi memutar balikkan kondisi pasar keuangan global.
Investor perlu memantau reaksi terbaru dari Negeri Paman Sam atas gugatan yang diajukan oleh Negeri Tiongkok. Terlebih lagi, jika ternyata Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kali ini menganggap bahwa AS telah melanggar klausal perdagangan internasional.
Hingga detik ini, informasi terbaru pada pekan lalu mengatakan bahwa delegasi dagang kedua belah negara masih menjalin komunikasi yang efektif dan merencanakan pertemuan lanjutan bulan ini.
Akan tetapi, dengan keputusan Beijing yang menggugat Washington membuka kemungkinan agenda perundingan bulan ini akan batal. Pasalnya, pada minggu pertama Agustus Presiden AS Donald Trump sempat mengatakan bahwa pertemuan bisa saja dibatalkan.
"Mungkin (dialog di Washington batal), tetapi kita lihat nanti. Perundingan masih terjadwal," ujar Trump pada Jumat (9/8/2019), seperti diberitakan Reuters.
Sentimen ketiga adalah pergerakan indeks dolar yang terus menunjukkan tren penguatan meskipun rilis data ekonomi terbaru Negeri Paman Sam mengecewakan.
Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks dolar (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia), kembali menguat tipis 0,05% ke level 98,962 poin. Penguatan dolar AS membuat pelaku pasar global menarik diri untuk berinvestasi pada instrumen keuangan di negara berkembang, seperti Indonesia.
Terakhir, sentimen keempat, yaitu perkembangan terkait proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Kemarin, mayoritas anggota parlemen Inggris, termasuk partai oposisi atau "pengkhianat partai konservatif", membukukan suara 328 lawan 301 untuk mengambil alih kendali pemerintahan, dilansir CNBC International.
Secara teori, ini akan memungkinkan anggota parlemen untuk mencetuskan Undang-Undang yang dapat menghalangi upaya pemerintah untuk menarik Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan (no-deal Brexit) pada 31 Oktober.
PM Inggris Boris Johnson kemudian mengajukan proses pengambilan suara kembali hari ini. Namun jika ternyata hasil yang keluar masih ada di pihak anggota parlemen, maka akan menekan Johnson untuk kembali mengajukan waktu perpanjangan Brexit menjadi 31 Januari 2020.
(BERLANJUT KE HALAMAN EMPAT) Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Berikut adalah rilis data ekonomi yang akan terjadi hari ini:
• Indeks PMI bulan Agustus versi Market, Singapura (07:30 WIB)
• Laju Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Q2-2019, Australia (08:30 WIB)
• Indeks PMI sektor jasa dan komposit bulan Agustus versi Caixin, China (08:45 WIB)
• Indeks PMI sektor jasa dan komposit bulan Agustus versi Markit, Perancis (14:50 WIB)
• Indeks PMI sektor jasa dan komposit bulan Agustus versi Markit, Jerman (14:55 WIB)
• Indeks PMI sektor jasa dan komposit bulan Agustus versi Markit, Uni Eropa (15:00 WIB)
• Penjualan ritel bulan Juli, Uni Eropa (15:30 WIB)
• Neraca Perdagangan, Ekspor, dan Impor bulan Juli, Amerika Serikat (19:30 WIB)
(dwa/dwa) Next Article Kondisi Eksternal Kondusif, Pasar Keuangan RI Bisa Ngegas?
Kemarin, bursa saham acuan Tanah Air ditutup melemah 0,46% menjadi 6.261,59 poin. Sementara rupiah melemah 0,21% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang akhirnya harus pasrah dibanderol Rp 14.220/US$.
Lalu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 2,6 basis poin ke level 7,359%. Kenaikan yield adalah pertanda harga obligasi sedang turun karena terpapar aksi jual.
Pasar keuangan Indonesia bergerak searah dengan para tetangganya di kawasan Asia. Di pasar saham, indeks Sensex (India) terjun bebas 2,06%, indeks PSEI (Filipina) anjlok 1,44%, indeks SETI (Thailand) turun 0,72%, indeks Hang Seng melemah 0,39% dan indeks Kospi terkoreksi 0,18%.
Sedangkan di pasar valuta asing lebih suram. Hampir seluruh mata uang utama Benua Kuning melemah di hadapan greenback, hanya tersisa yen Jepang yang masih mampu menguat.
Sentimen yang menghantui pasar keuangan global sejak awal bulan ini belum berubah, yakni ketegangan dagang antara Beijing dan Washington yang masih menjadi kekhawatiran utama pelaku pasar.
Seperti diketahui, babak baru perang dagang AS-China resmi dimulai kembali pada 1 September lalu. Negeri Paman Sam mengenakan bea masuk tambahan sebesar 15% atas produk asal China senilai US$ 125 miliar.
Kemudian Negeri Tiongkok melakukan aksi retaliasi dengan memberlakukan tarif 5-10% atas produk buatan AS senilai US$ 75 miliar, dilansir dari Reuters. Perlu dicatat bahwa saat ini China baru memberlakukan tarif pada sepertiga dari sekitar 5.000 jenis barang importasi asal AS.
Hingga saat ini kedua negara diketahui masih merencanakan babak tarif baru pada 15 Desember mendatang.
Keadaan semakin memanas kala Kementerian Perdagangan China untuk ketiga kalinya kembali menggugat AS ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Tidak disebutkan rincian dari laporan itu, tetapi China menyatakan kebijakan AS telah mempengaruhi ekspor mereka sebesar US$ 300 miliar, dilansir dari CNBC International.
Selain itu, Beijing menegaskan bahwa pengenaan tarif tambahan sebesar 15% pada produk Made in China senilai US$ 125 miliar pada Minggu (1/9/2019) telah melanggar konsensus yang dicapai oleh pemimpin kedua negara saat pertemuan di Osaka, Jepang, akhir Juni lalu.
Washington kemudian menulis surat pembelaan yang menyatakan bahwa China dan AS setuju untuk tidak mengadili masalah tersebut berdasar hukum WTO.
"China telah melakukan tindakan yang unilateral untuk menerapkan kebijakan industri yang agresif kepada para mitra dagangnya untuk secara tidak adil mencuri dan menguasai teknologi. AS menerapkan bea masuk untuk menghapus kebijakan China yang tidak adil dan mengganggu," tegas pembelaan tertulis dari Washington, seperti diberitakan CNBC International.
AS juga menegaskan tindakannya dikecualikan dari aturan WTO karena itu merupakan "langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi moral publik."
AS punya waktu 60 hari untuk menyelesaikan perkara ini, sesuai aturan WTO. Kemudian China bisa meminta keberatan, dan prosesnya bisa memakan waktu hitungan tahun. Namun jika China menang, maka mereka berhak menjatuhkan sanksi perdagangan kepada AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN DUA) Beralih ke bursa saham utama AS, tiga indeks utama Wall Street kompak ditutup melemah pada perdagangan pertama bulan September, setelah dua kekuatan ekonomi terbesar dunia saling mengenakan tarif baru dan data manufaktur yang lemah semakin menekan sentimen investor.
Data pasar menunjukkan indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup anjlok 1,1% ke level 25.118,02 poin, indeks S&P 500 melemah 0,7% menjadi 2.906,27 poin, sedangkan Nasdaq terkoreksi 1,1% ke level 7.874,16 poin.
Pada 1 September, AS memberlakukan tarif sebesar 15% kepada berbagai produk importasi asal China senilai US$ 125 miliar, sedangkan Negeri Tiongkok juga mengenakan tarif tambahan sekitar 5-10% untuk produk Made in USA, termasuk di antaranya adanya minyak mentah.
Ini menjadi yang pertama kali China memberlakukan bea masuk pada emas hitam asal AS setelah kurang lebih satu tahun kedua negara memulai perang dagang.
"Itu menambah kekhawatiran terkait apakah terdapat jalan untuk (mencapai) negosiasi," ujar Quincy Krosby, Chief Market Strategist di Prudential Financial, dikutip dari CNBC International.
Di saat yang sama, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa delegasi dari AS dan China masih merencanakan dialog dagang lanjutan bulan ini, meskipun ketegangan antara kedua negara sedang meningkat.
Lebih lanjut, situasi tensi dagang semakin meningkat kala Beijing mengirimkan pengaduan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait pemberlakuan bea masuk dari AS.
Negeri Tiongkok mengklaim bahwa tarif tambahan telah melanggar konsensus yang dicapai oleh pemimpin kedua negara saat bertemu di Osaka (Jepang) akhir Juni silam.
Pada dasarnya, ekskalasi perang dagang antara China dan AS yang terjadi sepanjang bulan Agustus berkontribusi pada penurunan yang cukup dalam pada bursa saham acuan di Wall Street.
Tiga indeks utama membukukan kinerja bulanan terburuk sejak Mei, dimana indeks DJIA dan S&P 500 terkoreksi masing-masing 1,7% dan 1,8% sepanjang bulan lalu. Sedangkan Nasdaq tercatat anjlok 2,6%.
Di lain pihak, bursa saham Wall Street juga tertekan dan sempat anjlok hingga 1,6% kala rilis data PMI manufaktur AS bulan Agustus versi ISM (Institute for Supply Management) mencatatkan kontraksi untuk pertama kalinya sejak Januari 2016, dilansir CNBC International.
Angka PMI manufaktur tercatat hanya sebesar 49,1 poin, lebih rendah dari konsensus pasar yang memproyeksi di level 51,1 poin, dilansir dari Trading Economics. Kontraksi tersebut disebabkan penurunan signifikan pada indeks pesanan baru dan indeks ketenagakerjaan.
Untuk diketahui angka PMI di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau memburuknya aktivitas bisnis. Sementara di atas 50 menunjukkan peningkatan aktivitas atau ekspansi.
Sementara itu, krisis politik yang melanda Negeri Ratu Elisabeth turut berkontribusi menambah kekhawatiran pelaku pasar. Pasalnya, kisruh politik yang memanas antara anggota parlemen Inggris dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson langsung menghantam poundsterling, hingga mendekati level terlemah 34 tahun pada perdagangan kemarin.
(BERLANJUT KE HALAMAN TIGA) Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah perkembangan di Wall Street yang mengalami koreksi cukup dalam. "Demam Tinggi" yang sedang melanda tiga indeks utama di Wall Street bisa saja menular ke Benua Kuning pagi ini, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua tentu adalah perkembangan hubungan dagang AS-China, di mana informasi sekecil apa pun berpotensi memutar balikkan kondisi pasar keuangan global.
Investor perlu memantau reaksi terbaru dari Negeri Paman Sam atas gugatan yang diajukan oleh Negeri Tiongkok. Terlebih lagi, jika ternyata Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kali ini menganggap bahwa AS telah melanggar klausal perdagangan internasional.
Hingga detik ini, informasi terbaru pada pekan lalu mengatakan bahwa delegasi dagang kedua belah negara masih menjalin komunikasi yang efektif dan merencanakan pertemuan lanjutan bulan ini.
Akan tetapi, dengan keputusan Beijing yang menggugat Washington membuka kemungkinan agenda perundingan bulan ini akan batal. Pasalnya, pada minggu pertama Agustus Presiden AS Donald Trump sempat mengatakan bahwa pertemuan bisa saja dibatalkan.
"Mungkin (dialog di Washington batal), tetapi kita lihat nanti. Perundingan masih terjadwal," ujar Trump pada Jumat (9/8/2019), seperti diberitakan Reuters.
Sentimen ketiga adalah pergerakan indeks dolar yang terus menunjukkan tren penguatan meskipun rilis data ekonomi terbaru Negeri Paman Sam mengecewakan.
Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks dolar (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia), kembali menguat tipis 0,05% ke level 98,962 poin. Penguatan dolar AS membuat pelaku pasar global menarik diri untuk berinvestasi pada instrumen keuangan di negara berkembang, seperti Indonesia.
Terakhir, sentimen keempat, yaitu perkembangan terkait proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Kemarin, mayoritas anggota parlemen Inggris, termasuk partai oposisi atau "pengkhianat partai konservatif", membukukan suara 328 lawan 301 untuk mengambil alih kendali pemerintahan, dilansir CNBC International.
Secara teori, ini akan memungkinkan anggota parlemen untuk mencetuskan Undang-Undang yang dapat menghalangi upaya pemerintah untuk menarik Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan (no-deal Brexit) pada 31 Oktober.
PM Inggris Boris Johnson kemudian mengajukan proses pengambilan suara kembali hari ini. Namun jika ternyata hasil yang keluar masih ada di pihak anggota parlemen, maka akan menekan Johnson untuk kembali mengajukan waktu perpanjangan Brexit menjadi 31 Januari 2020.
(BERLANJUT KE HALAMAN EMPAT) Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Berikut adalah rilis data ekonomi yang akan terjadi hari ini:
• Indeks PMI bulan Agustus versi Market, Singapura (07:30 WIB)
• Laju Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Q2-2019, Australia (08:30 WIB)
• Indeks PMI sektor jasa dan komposit bulan Agustus versi Caixin, China (08:45 WIB)
• Indeks PMI sektor jasa dan komposit bulan Agustus versi Markit, Perancis (14:50 WIB)
• Indeks PMI sektor jasa dan komposit bulan Agustus versi Markit, Jerman (14:55 WIB)
• Indeks PMI sektor jasa dan komposit bulan Agustus versi Markit, Uni Eropa (15:00 WIB)
• Penjualan ritel bulan Juli, Uni Eropa (15:30 WIB)
• Neraca Perdagangan, Ekspor, dan Impor bulan Juli, Amerika Serikat (19:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY) | 5,05% |
Inflasi (Agustus 2019 YoY) | 3,49% |
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Agustus 2019) | 5,5% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Q2-2019) | -3,04% PDB |
Neraca pembayaran (Q2-2019) | -US$ 1,98 miliar |
Cadangan devisa (Juli 2019) | US$ 125,9 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/dwa) Next Article Kondisi Eksternal Kondusif, Pasar Keuangan RI Bisa Ngegas?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular