
Newsletter
Harap-Harap Cemas: Bisakah Pasar Keuangan Indonesia Bangkit?
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
03 September 2019 06:00

Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu indikasi anjloknya Wall Street yang terlihat dari pergerakan bursa kontrak futures. Semoga tekanan yang dialami Wall Street tidak menekan risk appetite investor untuk berburu instrumen keuangan di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah investor perlu terus memantau perkembangan friksi dagang antara Beijing dan Washington. Delegasi perdagangan kedua belah pihak memang diketahui terus menjalin komunikasi yang efektif dan masih merencanakan untuk mengadakan dialog dagang lanjutan bulan ini. Informasi ini pun diamini oleh Trump.
Akan tetapi, tetap terlaksananya pemberlakuan tarif tambahan, baik oleh AS maupun China, menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar terkait potensi dicapainya kesepakatan.
Terlebih lagi, penghapusan bea masuk merupakan hal yang beberapa kali diminta Negeri Tiongkok, namun faktanya Negeri Paman Sam selalu menghiraukan hal tersebut.
Juru Bicara Kementerian Dagang China Gao Feng menyampaikan bahwa masalah utama yang harus dibahas adalah pembatalan bea masuk atas produk impor asal China untuk menghindari eskalasi perang dagang lebih lanjut, dilansir CNBC International.
"Dalam situasi sekarang, kami pikir masalah yang harus dibahas adalah pembatalan tarif atas produkĀ ekspor China senilai US$ 550 miliar untuk menghindari eskalasi perang dagang lebih lanjut," ujar Gao dikutip dari CNBC International.
"Saat ini, pihak China sedang melakukan negosiasi serius dengan pihak AS untuk membahas hal tersebut," tambah Gao.
Sentimen ketiga adalah keperkasaan dolar AS dan pelemahan yuan. Pada penutupan perdagangan kemarin, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) membukukan penguatan 0,13%.
Selain itu, nilai tukar yuan terhadap rupiah juga semakin terdepresiasi, di mana pada perdagangan pasar spot kemarin 1 yuan dibanderol Rp 1.978,42 atau melemah 0,11%.
Ketika dollar semakin perkasa dan yuan makin melemah tentunya bukan kabar yang baik bagi neraca perdagangan Indonesia. Pasalny, AS dan China merupakan rekan dagang utama Ibu Pertiwi. Penguatan dolar bukan kabar baik bagi impor, sedangkan pelemahan yuan adalah kabar buruk untuk ekspor.
Selain itu, keperkasaan dolar AS membuat rupiah rawan terkoreksi, sehingga ini dapat mengakibatkan investor asing melepas aset keuangan berbasis rupiah untuk menghindari kerugian selisih kurs
Kemudian pelaku pasar juga patut mencermati sentimen keempat, yaitu kembali terpangkasnya harga minyak mentah global. Pada pukul 05:28 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet anjlok masing-masing 2,93% dan 2,84%. Ini berarti harga minyak dunia telah mencatatkan koreksi selam 4 hari berturut-turut.
Semestinya koreksi harga minyak bisa menjadi angin segar bagi rupiah. Sebab penurunan harga akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah, sehingga mengurangi beban neraca pembayaran dan transaksi berjalan (current account).
Namun kemungkinan penurunan harga minyak akan sulit menopang penguatan rupiah. Apa mau dikata, sepertinya investor lebih khawatir akan dampak ketidakpastian kesepakatan dagang AS-China.
(BERLANJUT KE HALAMAN EMPAT) (dwa)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu indikasi anjloknya Wall Street yang terlihat dari pergerakan bursa kontrak futures. Semoga tekanan yang dialami Wall Street tidak menekan risk appetite investor untuk berburu instrumen keuangan di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah investor perlu terus memantau perkembangan friksi dagang antara Beijing dan Washington. Delegasi perdagangan kedua belah pihak memang diketahui terus menjalin komunikasi yang efektif dan masih merencanakan untuk mengadakan dialog dagang lanjutan bulan ini. Informasi ini pun diamini oleh Trump.
Akan tetapi, tetap terlaksananya pemberlakuan tarif tambahan, baik oleh AS maupun China, menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar terkait potensi dicapainya kesepakatan.
Terlebih lagi, penghapusan bea masuk merupakan hal yang beberapa kali diminta Negeri Tiongkok, namun faktanya Negeri Paman Sam selalu menghiraukan hal tersebut.
Juru Bicara Kementerian Dagang China Gao Feng menyampaikan bahwa masalah utama yang harus dibahas adalah pembatalan bea masuk atas produk impor asal China untuk menghindari eskalasi perang dagang lebih lanjut, dilansir CNBC International.
"Dalam situasi sekarang, kami pikir masalah yang harus dibahas adalah pembatalan tarif atas produkĀ ekspor China senilai US$ 550 miliar untuk menghindari eskalasi perang dagang lebih lanjut," ujar Gao dikutip dari CNBC International.
"Saat ini, pihak China sedang melakukan negosiasi serius dengan pihak AS untuk membahas hal tersebut," tambah Gao.
Sentimen ketiga adalah keperkasaan dolar AS dan pelemahan yuan. Pada penutupan perdagangan kemarin, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) membukukan penguatan 0,13%.
Selain itu, nilai tukar yuan terhadap rupiah juga semakin terdepresiasi, di mana pada perdagangan pasar spot kemarin 1 yuan dibanderol Rp 1.978,42 atau melemah 0,11%.
Ketika dollar semakin perkasa dan yuan makin melemah tentunya bukan kabar yang baik bagi neraca perdagangan Indonesia. Pasalny, AS dan China merupakan rekan dagang utama Ibu Pertiwi. Penguatan dolar bukan kabar baik bagi impor, sedangkan pelemahan yuan adalah kabar buruk untuk ekspor.
Selain itu, keperkasaan dolar AS membuat rupiah rawan terkoreksi, sehingga ini dapat mengakibatkan investor asing melepas aset keuangan berbasis rupiah untuk menghindari kerugian selisih kurs
Kemudian pelaku pasar juga patut mencermati sentimen keempat, yaitu kembali terpangkasnya harga minyak mentah global. Pada pukul 05:28 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet anjlok masing-masing 2,93% dan 2,84%. Ini berarti harga minyak dunia telah mencatatkan koreksi selam 4 hari berturut-turut.
Semestinya koreksi harga minyak bisa menjadi angin segar bagi rupiah. Sebab penurunan harga akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah, sehingga mengurangi beban neraca pembayaran dan transaksi berjalan (current account).
Namun kemungkinan penurunan harga minyak akan sulit menopang penguatan rupiah. Apa mau dikata, sepertinya investor lebih khawatir akan dampak ketidakpastian kesepakatan dagang AS-China.
(BERLANJUT KE HALAMAN EMPAT) (dwa)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular