Newsletter

Waspada! AS dan China Resmi Terapkan Tarif Baru

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
02 September 2019 06:19
Waspada! AS dan China Resmi Terapkan Tarif Baru
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia cenderung bergerak ke utara sepanjang perdagangan pekan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan dan rupiah kompak mencatatkan penguatan dengan menorehkan perolehan tertinggi sejak 5 Agustus 2019. Hanya harga obligasi pemerintah yang terkontraksi.

Pekan lalu, bursa saham acuan Tanah Air menguat 4 hari beruntun dengan total kenaikan sebesar 1,16% ke level 6.328,47 poin.

Perolehan tersebut membuat IHSG berhasil menduduki tahta runner-up indeks saham dengan cuan tertinggi di kawasan Benua Kuning. Posisi jawara dipegang oleh indeks Sensex dengan kenaikan 1,72%

Lalu, sama halnya dengan IHSG, Mata Uang Garuda juga mampu finis di zona hijau dengan mencatatkan penguatan 0,21% ke level Rp 14.180/US$.

Sejatinya, sepanjang pekan lalu, rupiah bergerak cukup labil. Namun pada perdagangan hari terakhir bulan Agustus, rupiah melesat 0,39% sehingga mampu melengserkan dollar AS ke bawah Rp 14.200.

Sementara itu, berbeda dengan IHSG dan rupiah, harga obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun terkoreksi seiring dengan imbal hasil (yield) yang tercatat naik 11,2 basis poin.

Untuk diketahui pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitu pun sebaliknya. Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan resiko dalam satu angka.

Lebih lanjut, pada dasarnya secara umum pasar keuangan Indonesia menutup pekan terakhir Agustus dengan capaian yang cukup baik didorong oleh katalis positif harapan damai dagang Amerika Serikat (AS) dan China.

Hal ini dikarenakan pada Kamis (29/8/2019), Negeri Tiongkok menunjukkan niatnya untuk menyelesaikan sengketa dagang dengan AS dan menentang ekskalasi lebih lanjut, dilansir dari CNBC International.

"Kami siap untuk menyelesaikan masalah melalui konsultasi dan kerja sama dengan sikap yang tenang, berkebalikan dengan meningkatkan eskalasi perang dagang. Kami meyakini bahwa eskalasi perang dagang tidak menguntungkan bagi China, AS, dan seluruh dunia," ujar Wakil Perdana Menteri China Liu He, dilansir CNBC International.

AS-China sebelumnya memang dikabarkan akan menggelar dialog dagang di Washington bulan depan. Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng menyatakan saat ini tim dari kedua negara sedang membahas pertemuan tatap muka dalam waktu dekat.

"Sejauh yang saya tahu, delegasi kedua negara terus melakukan komunikasi yang efektif. Kami berharap AS menunjukkan ketulusan dan aksi konkret," kata Gao, seperti diwartakan Reuters.

Perkembangan ini tentu sangat melegakan pelaku pasar. Asa damai dagang yang kembali muncul, memantik risk appetite investor untuk kembali berinvestasi di aset-aset beresiko. Arus modal mulai masuk ke pasar keuangan negara berkembang, seperti Indonesia

(BERLANJUT KE HALAMAN DUA)
Beralih ke Wall Street, mayoritas tiga indeks utama di AS bergerak cukup stagnan, tapi masih mampu mengakhiri perdagangan akhir pekan kemarin di zona hijau.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 0,16% dan indeks S&P 500 hanya naik tipis 0,06%. Sedangkan indeks Nasdaq membukukan koreksi 0,15%.

Wall Street bergerak landai pada perdagangan terakhir bulan lalu disebabkan investor memilih mengambil sikap hati-hati sambil menunggu apa yang akan terjadi di September.

"Ini adalah kumpulan hari 'menahan-napas' dengan volume rendah," ucap Wille Delwiche, ahli strategi investasi di Baird, dilansir dari CNBC International.

"Masyarakat sedang berhenti sejenak, menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi di bulan depan dan minggu depan," tambahnya.

Terlebih lagi, sentimen investor juga tertekan pekan kemarin karena transaksi di pasar surat berharga AS (US Treasury bills) meningkatkan kekhawatiran atas terjadinya resesi.

Imbal hasil di surat berharga AS tenor 10 tahun masih lebih rendah dibandingkan dengan tenor 2 tahun, di mana inversi tersebut sudah bertahan selama 6 hari berturut-turut.

Untuk diketahui, Inversi berarti yield jangka pendek lebih tinggi ketimbang yang jangka panjang, menandakan investor meminta jaminan lebih karena menilai ada risiko dalam waktu dekat. Kondisi ini menjadi sinyal akan adanya resesi dalam waktu dekat.

Meskipun demikian, dalam sepekan, sejatinya ketiga indeks utama tersebut membukukan penguatan sekitar 3%. Indeks DJIA menguat 3,02%, indeks Nasdaq naik 3,03%, dan indeks S&P 500 naik 2,79%.

Penguatan pekan ini didorong oleh sentimen positif bahwa baik perwakilan dagang dari China maupun AS masih terus menjaga komunikasi yang efektif.

Selain itu, data ekonomi Negeri Paman Sam sejauh ini masih terlihat kuat dengan belanja konsumen Juli yang naik 0,6%. Data yang dirilis pada Jumat (30/8/2019) tersebut melampaui ekspektasi analis dalam polling Reuters yang memprediksi hanya 0,5%.

Di sisi lain, indeks keyakinan konsumen masih berada di level tertingginya nyaris dalam 20 tahun terakhir.

(BERLANJUT KE HALAMAN TIGA) Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu dinamika di Wall Street yang positif. Diharapkan optimisme di sana bisa menular sampai ke Asia, tidak terkecuali Indonesia.

Namun, penguatan tersebut tampaknya akan dibatasi oleh sikap waspada investor seiring dengan pergerakan surat berharga AS dan lanjutan dialog dagang AS-China

Sentimen kedua adalah mulai China dan AS yang secara efektif saling mengenakan tarif tambahan pada Minggu (1/9/2019), meskipun kedua negara memberikan indikasi bawah dialog dagang akan dilanjutkan bulan ini.

Babak pemberlakuan tarif baru oleh Negeri Tiongkok mulai berlaku pada Minggu pukul 11:00 WIB, di mana untuk pertama kalinya sejak perang dagang dimulai setahun lalu, Beijing memutuskan mengenakan bea masuk 5% atas produk minyak asal AS, dilansir dari Reuters.

Selain itu, bea masuk tambahan sebesar 5% dan 10% juga dikenakan pada 1.717 produk dari total 5.078 produk Made in USA. China akan mulai memberlakukan tarif pada sisa produk mulai 15 Desember 2019.

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump sebelumnya menegaskan bahwa China dan AS memang masih akan melanjutkan dialog di bulan September, tetapi penambahan tarif pada produk Negeri Tirai Bambu pada Minggu tidak akan ditunda, dikutip dari Reuters.

Negeri Adidaya tersebut telah menerapkan tarif 15% pada produk impor asal China senilai US$ 125 miliar pada Minggu dini hari. Beberapa barang yang dikenakan tarif termasuk pengeras suara pintar, produk alas kaki, dan Bluetooth headphone.

Kedua negara yang kekeh mengeksekusi bea masuk tambahan akan semakin menyakiti perekonomian keduanya dan hal ini secara otomatis akan terus menekan laju pertumbuhan ekonomi dunia.

Sentimen ketiga adalah potensi perekonomian Negeri Paman Sam yang bisa masuk ke jurang resesi. Hal ini terlihat dari pergerakan surat berharga AS yang dalam 6 hari beruntun terus menunjukkan inversi imbal hasil.

Fenomena inversi membatasi pelaku pasar karena inversi merupakan salah satu indikator dari potensi datangnya resesi. Pasalnya dalam 3 resesi terkahir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun yang sebelumnya didahului inversi pada tenor 3 dan 5 tahun.

Resesi adalah penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal atau lebih berturut-turut.

Melansir data perdagangan terakhir yield surat berharga AS tenor 3 bulan ada di 1,9893 poin, sedangkan tenor 10 tahun ada di 1,4994 poin. Terdapat selisih hingga 48,99 basis poin.

Terakhir sentimen keempat yang mungkin dapat membuat rupiah terjaga adalah penurunan harga minyak dikarenakan badai yang menimpa tepi pantai Florida dapat menekan permintaan atas emas hitam dari wilayah tersebut.

“Badai Dorian menghindari Teluk Meksiko, tapi menyapu seluruh negara bagian Florida, mengubahnya menjadi peristiwa yang menghancurkan permintaan di pasar energi dibandingkan dengan menganggu pasokan,” ujar John Kilduff dari Again Capital yang berbasis di New York, dilansir dari CNBC International.

Pada Jumat, harga minyak kontrak pengirima Oktober jenis Brent dan Light Sweet masing-masing anjlok sebesar 1,06% ke level US$ 60,43/barel dan 2,84% menjadi US$ 55,1/barel.

Koreksi harga minyak adalah berkah bagi rupiah. Sebab penurunan harga minyak bisa membuat biaya impor komoditas ini lebih murah. Sesuatu yang tentu menguntungkan bagi negara net importir minyak seperti Indonesia.

(BERLANJUT KE HALAMAN EMPAT) Berikut adalah rilis data ekonomi yang akan terjadi hari ini:

• Indeks PMI Jepang bulan Agustus versi Markit (07:30 WIB)
• Indeks PMI Indonesia bulan Agustus versi Markit (07:30 WIB)
• Indeks PMI China bulan Agustus versi Markit (08:45 WIB)
• Inflasi Indonesia bulan Agustus (11:00 WIB)
• Jumlah Kedatangan Turis ke Indonesia bulan Juli (11:30 WIB)
• Indeks PMI Uni Eropa bulan Agustus versi Markit (15:00 WIB)

Berikut adalah agenda aksi korporasi perusahaan public yang akan terjadi hari ini:

• Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI
• Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah Tbk/BTPS

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY)

5,05%

Inflasi (Juli 2019 YoY)

3,32%

BI 7-Day Reverse Repo Rate (Agustus 2019)

5,5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Q2-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (Q2-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (Juli 2019)

US$ 125,9 miliar



TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular