
Newsletter
Dag-Dig-Dug Tunggu Sinyal MH Thamrin, ke Mana Angin Berembus?
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
17 July 2019 06:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak kurang impresif pada penutupan perdagangan kemarin (16/7/2019). Pasalnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah sama-sama melemah. Walau harga obligasi pemerintah masih mampu menguat terbatas.
Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup melemah 0,26% ke level 6.401,88. Lalu nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah 0,14%, dimana US$ 1 dibanderol Rp 13.935 kala penutupan pasar spot. Sedangkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun terbatas 1,9 basis poin (bps) ke 7.103%. Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan.
Baik IHSG maupun rupiah agak limbung pada perdagangan kemarin. Kadang menguat, kadang melemah alias galau.
Mata uang Garuda sejatinya melemah berjamaah dengan mata uang kawasan Asia lainnya di hadapan dolar AS, setelah sebelumnya rama-ramai menguat pada perdagangan Senin (15/7/2019). Jadi wajar saja jika investor mulai melakukan aksi ambil untung.
Berbeda halnya dengan bursa saham utama Indonesia. Kegalauan yang dialami IHSG kemarin kemungkinan besar dikarenakan penantian investor terhadap Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang mulai dilaksanakan hari ini hingga besok.
Pelaku pasar Tanah Air menahan diri untuk melihat respons dari MH Thamrin setelah Bank Sentral AS/The Fed telah mengirimkan kode keras akan adanya penurunan federal funds rate/FFR (suku bunga acuan AS) dalam pertemuan akhir bulan ini.
Seperti yang diketahui, pekan lalu, Gubernur The Fed Jerome Powell memberikan testimoninya di hadapan Komite Jasa Perbankan DPR AS (House Financial Services Committee) terkait laporan kebijakan moneter semi tahunan.
Dalam paparannya Powell tampak cukup pesimistis karena mengulang kata 'ketidakpastian' hingga 26 kali, dilansir CNBC International.
'Ketidakpastian' yang diucapkan Powell mengacu kepada berbagai macam hal, seperti prospek perekonomian AS, rendahnya tekanan inflasi, perang dagang AS-China, hingga konsumsi rumah tangga.
Belum lagi rilis risalah rapat The Fed bulan lalu semakin mengkonfirmasi tingginya probabilitas pemangkasan FFR.
"Beberapa anggota melihat bahwa pemangkasan federal funds rate dalam waktu dekat dapat membantu meminimalisir dampak dari guncangan terhadap ekonomi di masa depan," dikutip dari CNBC International.
Akan tetapi, BI sudah beberapa kali mengecewakan pelaku pasar yang dalam beberapa bulan terakhir masih keukeuh mempertahankan suku bunga acuan. Hal ini dikarenakan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) masih dianggap cukup untuk dapat menopang kinerja rupiah.
Meskipun demikian, konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia masih yakin bahwa RDG edisi Juli akan berujung pada penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%. Pasalnya, dari 14 institusi yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, hanya dua yang memperkirakan suku bunga acuan masih bertahan di 6%.
Sentimen yang menyelimuti keputusan ini adalah rilis data neraca perdagangan yang dalam dua bulan terakhir mencatatkan surplus. Hal ini membuat tekanan di transaksi berjalan (current account) mereda, sehingga BI lebih nyaman untuk melonggarkan kebijakan moneter.
"Surplus neraca perdagangan, walau lebih rendah dari perkiraan, tetapi masih sesuai dengan ekspektasi. Kami memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate diturunkan 25 bps pada 18 Juli," sebut Helmi Arman, Kepala Ekonom Citi Bank.
Kepala Ekonom Maybank Indonesia, Juniman, memproyeksi suku bunga acuan akan dipangkas 25 bps ke 5,75%. Menurutnya, ekonomi Indonesia perlu mendapatkan stimulus baru dan itu bisa berasal dari pelonggaran kebijakan moneter.
"Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perlambatan global, serta ekspektasi penurunan suku bunga acuan di AS, kami memperkirakan sudah saatnya BI untuk menurunkan suku bunga acuan," tegasnya.
(BERLANJUTA KE HALAMAN DUA)
Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup melemah 0,26% ke level 6.401,88. Lalu nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah 0,14%, dimana US$ 1 dibanderol Rp 13.935 kala penutupan pasar spot. Sedangkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun terbatas 1,9 basis poin (bps) ke 7.103%. Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan.
Baik IHSG maupun rupiah agak limbung pada perdagangan kemarin. Kadang menguat, kadang melemah alias galau.
Mata uang Garuda sejatinya melemah berjamaah dengan mata uang kawasan Asia lainnya di hadapan dolar AS, setelah sebelumnya rama-ramai menguat pada perdagangan Senin (15/7/2019). Jadi wajar saja jika investor mulai melakukan aksi ambil untung.
Berbeda halnya dengan bursa saham utama Indonesia. Kegalauan yang dialami IHSG kemarin kemungkinan besar dikarenakan penantian investor terhadap Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang mulai dilaksanakan hari ini hingga besok.
Pelaku pasar Tanah Air menahan diri untuk melihat respons dari MH Thamrin setelah Bank Sentral AS/The Fed telah mengirimkan kode keras akan adanya penurunan federal funds rate/FFR (suku bunga acuan AS) dalam pertemuan akhir bulan ini.
![]() |
Seperti yang diketahui, pekan lalu, Gubernur The Fed Jerome Powell memberikan testimoninya di hadapan Komite Jasa Perbankan DPR AS (House Financial Services Committee) terkait laporan kebijakan moneter semi tahunan.
Dalam paparannya Powell tampak cukup pesimistis karena mengulang kata 'ketidakpastian' hingga 26 kali, dilansir CNBC International.
'Ketidakpastian' yang diucapkan Powell mengacu kepada berbagai macam hal, seperti prospek perekonomian AS, rendahnya tekanan inflasi, perang dagang AS-China, hingga konsumsi rumah tangga.
Belum lagi rilis risalah rapat The Fed bulan lalu semakin mengkonfirmasi tingginya probabilitas pemangkasan FFR.
"Beberapa anggota melihat bahwa pemangkasan federal funds rate dalam waktu dekat dapat membantu meminimalisir dampak dari guncangan terhadap ekonomi di masa depan," dikutip dari CNBC International.
Akan tetapi, BI sudah beberapa kali mengecewakan pelaku pasar yang dalam beberapa bulan terakhir masih keukeuh mempertahankan suku bunga acuan. Hal ini dikarenakan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) masih dianggap cukup untuk dapat menopang kinerja rupiah.
Meskipun demikian, konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia masih yakin bahwa RDG edisi Juli akan berujung pada penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%. Pasalnya, dari 14 institusi yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, hanya dua yang memperkirakan suku bunga acuan masih bertahan di 6%.
Sentimen yang menyelimuti keputusan ini adalah rilis data neraca perdagangan yang dalam dua bulan terakhir mencatatkan surplus. Hal ini membuat tekanan di transaksi berjalan (current account) mereda, sehingga BI lebih nyaman untuk melonggarkan kebijakan moneter.
"Surplus neraca perdagangan, walau lebih rendah dari perkiraan, tetapi masih sesuai dengan ekspektasi. Kami memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate diturunkan 25 bps pada 18 Juli," sebut Helmi Arman, Kepala Ekonom Citi Bank.
Kepala Ekonom Maybank Indonesia, Juniman, memproyeksi suku bunga acuan akan dipangkas 25 bps ke 5,75%. Menurutnya, ekonomi Indonesia perlu mendapatkan stimulus baru dan itu bisa berasal dari pelonggaran kebijakan moneter.
"Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perlambatan global, serta ekspektasi penurunan suku bunga acuan di AS, kami memperkirakan sudah saatnya BI untuk menurunkan suku bunga acuan," tegasnya.
(BERLANJUTA KE HALAMAN DUA)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular