Newsletter

Kata-kata Powell Sejukkan Wall Street, Siap-siap Ngegas!

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
11 July 2019 07:00
Kata-kata Powell Sejukkan Wall Street, Siap-siap Ngegas!
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kecil-kecil cabe rawit. Kemarin Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup positif meskipun perubahannya mini dibanding hari sebelumnya, tepatnya hanya 22 poin (0,35%) ke 6.410,68.

IHSG sudah menunjukkan tanda-tanda penguatan ketika dibuka dengan apresiasi 0,08%. Berkat aksi beli pelaku pasar baik lokal maupun asing, IHSG melanjutkan penguatannya hingga sesi I berakhir dengan penguatan 0,21% ke level 6.401,94.

Naiknya indeks tersebut patut diapresiasi karena meskipun penguatannya tidak sampai 0,5%, berkat kenaikan itu IHSG kembali menginjak level 6.400 sejak ditinggalkan pada 2 Mei 2019 silam.

Bukan hanya itu karena meskipun penguatan tidak besar dan nilai transaksi tidak mencapai rerata kuartal I-2019 Rp 9,7 triliun, nilai beli bersih investor asing (nett foreign buy) mencapai Rp 357,55 miliar di seluruh pasar dan Rp 410,49 miliar di pasar reguler saja.

Otomatis, dana asing yang masuk ke pasar saham kemarin menjadi faktor penambah bagi total nett foreign buy sejak awal tahun hingga menjadi Rp 67,71 triliun di seluruh pasar dan Rp 2,52 triliun di pasar reguler saja.
Penguatan IHSG terjadi berkat naiknya harga saham beberapa perusahaan, terutama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (+1,36%), PT Astra International Tbk/ASII (+2,41%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+4,57%), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+0,63%).
Penguatan IHSG itu sejalan dengan positifnya bursa utama Asia yang ditutup cenderung menguat menunggu pidato dari Gubernur The Fed Jerome Powell terkait suku bunga malam nanti, yang ternyata sangat diapresiasi positif, padahal sebelumnya pasar saham Benua Kuning justru lebih banyak yang memerah atau terkoreksi di awal perdagangan.

Kemarin sore, indeks Shanghai di China ditutup turun 0,44% yang kemungkinan dipengaruhi oleh rilis data inflasi Juni yang sama dengan prediksi pelaku pasar yaitu 2,7%.

Di sisi lain, indeks Hang Seng di Hong Kong naik 0,31%, Indeks Kospi di Korsel naik 0,33%, ASX 200 di Australia terangkat 0,36%, dan indeks Straits Times di Singapura terapresiasi 0,33%.

Selain menyambut pidato Powell, sentimen positif yang menyelimuti perdagangan di bursa saham di Asia datang dari optimisme bahwa kesepakatan dagang antara AS-China sudah kian dekat.

Selasa kemarin (9/7/2019) waktu AS, delegasi AS dan China melakukan pembicaraan via telepon. Delegasi AS terdiri dari Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin, sementara delegasi China terdiri dari Wakil Perdana Menteri Liu He dan Menteri Perdagangan Zhong San.

Menurut seorang pejabat AS, pembicaraan via telepon tersebut dilakukan "untuk melanjutkan negosiasi yang bertujuan menyelesaikan sengketa perdagangan yang belum terselesaikan", dilansir dari CNBC International.

Pejabat tersebut kemudian menambahkan bahwa "kedua belah pihak akan melanjutkan pembicaraan itu sebagaimana mestinya".

Pernyataan dari pejabat AS tersebut kemudian langsung dikonfirmasi secara kontan oleh Kementerian Perdagangan China dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada pagi hari ini waktu setempat.

Kesepakatan dagang antara AS dan China menjadi sangat krusial guna menghindarkan perekonomian keduanya dari yang namanya hard landing. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.

Kala kesepakatan dagang bisa diteken, maka pengenaan bea masuk tersebut sangat berpotensi untuk dihapuskan, baik itu secara sekaligus maupun bertahap.



Sementara itu, sentimen positif lainnya bagi bursa saham Asia kemarin datang dari perkembangan terkait dengan RUU ekstradisi yang sempat memantik aksi protes besar-besaran di Hong Kong. Kemarin, pemimpin eksekutif Hong Kong Carrie Lam menyatakan bahwa pembahasan RUU ekstradisi 'sudah mati'.

Dengan pernyataan Lam tersebut, diharapkan tak ada lagi aksi protes di Hong Kong sehingga situasi di pasar saham pun menjadi lebih kondusif dan aksi beli bisa dilakukan.

Kondisi positif tersebut ternyata tidak seiring dengan pergerakan harga surat utang negara (SUN) yang justru sendu kemarin sejak awal perdagangan dan lebih banyak diwarnai penurunan harga dibanding penurunan pada empat seri acuan.

Keempat seri yang menjadi acuan itu adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.

Seri acuan yang paling melemah adalah FR0078 yang bertenor 10 tahun dengan kenaikan yield 6,4 basis poin (bps) menjadi 7,33%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.

Koreksi harga SUN pada perdagangan hari ini berpotensi mengakhiri tren reli harga yang relatif terjadi tidak terputus sejak 31 Mei. Penguatan tersebut terjadi sejak peringkat utang Indonesia diangkat Standard&Poor's menjadi BBB dan momentum itu ternyata didukung semakin kondusifnya pasar keuangan dunia karena semakin mesranya China-AS di tengah drama perang dagang.

Koreksi terjadi yang terjadi di pasar SUN kemarin lebih disebabkan oleh faktor teknikal setelah relatif tidak berhenti menguat sejak akhir Mei dan bertolak belakang dengan pasar saham yang biasanya searah.

Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder. Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.

SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.

Sayangnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) keburu ditutup stagnan berhasil mengikis pelemahan yang terjadi hampir seharian di perdagangan pasar spot kemarin sore.

Rupiah kembali ke Rp 14.125 per dolar kala penutupan pasar spot, seperti posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Padahal, kemarin malam dolar AS justru dilepas pelaku pasar dan nilai tukarnya melemah setelah pidato Gubernur The Federal Reserve Jerome Hayden 'Jay' Powell yang bernada sangat 'dovish' dan diapresiasi pelaku pasar.

Dollar Index, yang mewakili mata uang Amerika Serikat terhadap enam mata uang utama dunia yang lain, terkoreksi 0,42% menjadi 97,08 dari 97,48 yang didorong ekspektasi penurunan suku bunga acuan AS akan membuat likuiditas semakin cair dan menurunkan nilai tukar mata uang Negeri Paman Trump.

Berlanjut ke halaman 2 >>>>
Bursa Amerika Serikat (AS) dibuka meriah dan hampir beriringan dengan pidato Gubernur Federal Reserve Jerome Hayden 'Jay' Powell atau istilahnya "Powell Testimony" yang memang dijadwalkan tersebut.

Pada pembukaan perdagangan Rabu waktu setempat (10/7/2019) indeks Dow Jones Industrial Average (Dow Jones, DJIA) melompat 111 poin pada pembukaan pagi pukul 08:30 waktu setempat (20:30 WIB).

Sepuluh menit kemudian, indeks ini memperbesar kenaikannya, menjadi sebesar 183 poin (0,7%) ke 26.967,12 setelah Powell menyatakan bahwa bank sentral akan "bertindak secara sesuai" untuk menjaga ekspansi setelah outlook ekonomi AS diperberat "arus yang melawan arah" dalam beberapa poin.

Di akhir perdagangan, DJIA, Nasdaq Composite, dan S&P 500 sumringah dengan penguatan masing-masing 0,29%, 0,75%, dan 0,45%. Bahkan sentimen Powell sempat membuat S&P 500 menguat hingga 3.000, mencetak rekor level tertinggi sepanjang masa indeks tersebut sejak dibuat pada 1957 silam.

Beberapa poin utama dalam "Powell Testimony" di depan Komisi Jasa Keuangan Kongres AS tersebut adalah, pertama, Powell mengatakan bahwa investasi swasta di seluruh penjuru AS melemah "terutama" akhir-akhir ini menyusul ketidakpastian yang membayangi outlook perekonomian.

Pelemahan investasi swasta ini merupakan hal serius, karena menyumbang 15% dari produk domestik bruto (PDB) Negeri Adidaya tersebut, menjadi kontributor terbesar kedua setelah konsumsi yang sumbangannya mencapai 60% dari perekonomian AS.

Dengan menekankan soal ini, Powell mengindikasikan bahwa perekonomian AS memerlukan stimulus, yang bisa dilakukan oleh bank sentral melalui pelonggaran moneter, yaitu penurunan suku bunga acuan (Fed Funds Rate).

Kedua, Powell menegaskan bahwa realisasi inflasi kini di bawah target yang dipatok Komite Pasar Terbuka The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) di atas plus-minus 2%. Menurut dia, ada risiko bahwa inflasi yang lemah bisa menjadi lebih akut dari yang sebelumnya diantisipasi.

Ini menjadi sinyal yang menegaskan bahwa suku bunga acuan harus diturunkan karena tidak ada kendala untuk tu dari sisi inflasi, dan bahkan sebaliknya penurunan suku bunga acuan bisa membantu mendorong konsumsi masyarakat--mengingat mayoritas dilakukan dengan kredit yang sensitif dengan suku bunga. Pada akhirnya, inflasi sehat bisa dicapai.

Ketiga, arus yang melawan arah (crosscurrent) yang dipicu oleh kenaikan eskalasi perang dagang dan keprihatinan seputar kekuatan ekonomi global. Dua faktor tersebut, menurut Powell, telah memperberat aktivitas ekonomi AS dan juga outlook-nya ke depan.

AS dan China telah berjibaku dalam perang dagang selama setahun lebih. Bulan lalu, kedua belah pihak sepakat untuk memulai negosiasi untuk mengakhiri pertikaian tersebut. Sementara itu, data ekonomi dari ekonomi negara maju di Kawasan Eropa tercatat melemah.

Ini lagi-lagi mengindikasikan perlunya bank sentral turun tangan membantu menangani persoalan ekonomi AS, dan global secara umum, melalui instrumen moneter, salah satunya berupa pemangkasan suku bunga acuan.

Kata-kata Powell Sejukkan Wall Street, Siap-siap Ngegas!Foto: Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell berpartisipasi dalam diskusi Economic Club di Washington, AS, 10 Januari 2019. REUTERS / Jim Young


Keempat, Powell menegaskan bahwa bank sentral akan "bertindak secara sesuai" untuk menjaga momen ekspansi ekonomi yang saat ini berjalan. Ini mengindikasikan bahwa The Fed mengonfirmasi ekspektasi pelaku pasar akan adanya pemangkasan suku bunga acuan.

Hanya saja, pemangkasan itu kemungkinan tidak bakal agresif karena secara bersamaan Powell menegaskan bahwa perekonomian "berjalan dengan sangat baik" pada semester pertama 2019 dengan belanja konsumen yang sempat melemah pada kuartal pertama berhasil menguat di kuartal kedua.

Dengan kata lain, Gubernur The Fed ke-16 tersebut menyampaikan testimoninya setelah The Fed membuka peluang memangkas suku bunga acuannya dalam rapat sebelumnya pada Juni.

Mengutip piranti FedWatch yang mensurvei pelaku pasar, investor memfaktorkan peluang sebesar 100% atas pemangkasan suku bunga Fed Funds Rate pada 31 Juli. Ini karena tidak ada pelaku pasar yang memprediksi suku bunga akan bertahan di level yang sama.

Bahkan, potensi penurunan suku bunga sebesar 50 bps pada akhir Juli melebar menjadi 28,7% dari sebelumnya hanya 3,3% sehari sebelumnya. Pelaku pasar yang memprediksi penurunan suku bunga akhir bulan 25 bps berada pada angka 71,4%, turun dari 96,7% karena pindah memilih 50 bps seiring dengan semakin yakinnya dengan penurunan suku bunga acuan.

"Dengan melihat pada perkembangan terbaru, Gubernur The Fed baru saja mengonfirmasi bahwa kondisi ekonomi telah memburuk," ujar Head of U.S. rates BMO Capital Markets Ian Lyngen, sebagaimana dikutip CNBC International.

Sayangnya, meskipun Powell Testimony diapresiasi positif oleh sebagian besar pelaku pasar, bursa saham di mayoritas negara Eropa justru terkoreksi karena kekhawatiran terhadap bahaya perang dagang dan lemahnya perekonomian global yang disampaikan Powell dalam pidatonya justru lebih besar daripada optimisme yang timbul karena potensi penurunan suku bunga di akhir bulan ini.

Alhasil, FTSE 100 di Inggris dan CAC di Perancis sama-sama tergelincir 0,08%, sedangkan DAX di Jerman melemah 0,51%.

Dari sisi komoditas, harga minyak mentah naik 4,5% per barel ke level tertinggi sejak sebulan terakhir setelah tingkat persediaan minyak mentah AS turun drastis.

Penyebab utamanya adalah penurunan produksi pelaku industri dalam jumlah besar terutama di Teluk Meksiko guna mengantisipasi ancaman badai yang diprediksi akan melanda daerah tersebut.

Harga minyak mentah Brent naik menjadi US$67,01 per barel atau 4,44%R , sedangkan harga minyak US West Texas Intermediate (WTI) naik 4,5% menjadi US$60,43 per barel.

Kedua harga minyak tersebut sudah mencapai posisi tertinggi sejak akhir Mei.


Berlanjut ke halaman 3 >>>> Berikut ini sentimen yang perlu diwaspadai dan dicermati pelaku pasar:

Pertama, meskipun disikapi dingin di Eropa, 'Powell Testimony' dan pengaruhnya yang positif setelah berhasil menghijaukan pasar saham Wall Street di AS patut dijadikan patokan utama pagi ini. Besar kemungkinan pasar saham Asia termasuk Indonesia akan mengekor pergerakan pasar saham Wall Street yang sumringah ketika dibuka nanti.

Kedua, perkembangan positif dari damai dagang antara China-AS yang menyertai 'Powell Testimony' dapat menjadi obat kuat tambahan bagi potensi menguatnya pasar saham domestik dan regional pagi ini.

Ketiga, positifnya kondisi di Hong Kong terkait dengan perseteruan RUU ekstradisi yang sempat 'rusuh' dan memantik aksi protes besar-besaran sudah mampu padam sementara ini.

Kemarin, pemimpin eksekutif Hong Kong Carrie Lam menyatakan bahwa pembahasan RUU ekstradisi 'sudah mati'. Dengan pernyataan Lam tersebut, diharapkan tak ada lagi aksi protes di Hong Kong sehingga situasi di pasar saham pun menjadi lebih kondusif dan aksi beli bisa dilakukan.

Keempat, pelemahan dolar AS yang diwakili oleh Dollar Index dapat menjadi katalis tambahan di pasar keuangan Asia dan domestik karena membuat risiko valas (currency risk) investor asing akan bertambah ciut jika membeli efek keuangan berdenominasi mata uang lokal.

Faktor kelima dan terakhir adalah faktor kenaikan harga minyak mentah dunia yang diprediksi dapat mengikis sebagian kecil sentimen positif yang melanda pasar keuangan global.

Harga minyak mentah dapat berpengaruh di pasar keuangan Indonesia karena faktor tersebut sangat diperhatikan investor terkait dengan posisi Indonesia sebagai importir bersih (nett importer) minyak mentah sehingga naik-turunnya emas hitam dapat berpengaruh pada APBN, neraca dagang, dan nilai tukar rupiah di pasaran.


Berlanjut ke halaman 4 >>>>

Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di sisa hari kerja pekan ini:
 

Kamis (11/7/19)

Risalah FOMC meeting, AS (01.00 WIB)
Inflasi, Jerman (13.00 WIB)
Kebijakan moneter, ECB (18.30 WIB)
Inflasi, AS (19.30 WIB)    

Listing PT Satyamitra Kemas Lestari Tbk (SMKL) (09.00 WIB)


Jumat (12/7/19)
Neraca perdagangan, China (10.00 WIB)
Indeks Harga Produsen (PPI), AS (19.30 WIB)  

Listing PT Hensel Davest Indonesia Tbk (HDIT) (09.00 WIB)
RUPS PT ICTSI Jasa Prima Tbk (KARW) (10.00 WIB)
RUPS PT Modernland Internasional Tbk (MDRN) (09.00 WIB)    


Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:


IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q1-2019 YoY)5,17%
Inflasi (Juni 2019 YoY)3,28%
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Juni 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (1Q-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (1Q-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (Juni 2019)US$ 123,8 miliar
    



TIM RISET CNBC INDONESIA

(irv/irv) Next Article Investor Siap-Siap Sport Jantung, Pasar Banjir Kabar Genting di 2025

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular