Newsletter

Uni Eropa ke Inggris: Mau Dibawa ke Mana Hubungan Kita?

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
13 March 2019 05:50
Uni Eropa ke Inggris: Mau Dibawa ke Mana Hubungan Kita?
Perdana Menteri Inggris Theresa May (Ben Birchall/AP)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia lagi-lagi ditutup mixed pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih terkoreksi, sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil melanjutkan penguatan. 

Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,2% setelah mengawali hari dengan penguatan 0,46%. Indeks saham utama Asia lainnya kompak berada di zona hijau, meninggalkan IHSG sendirian di teritori koreksi. 


Sementara rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan apresiasi 0,18% terhadap greenback. Ini menjadi penguatan selama 2 hari berturut-turut, baru kali pertama terjadi sejak akhir Februari. 


Rupiah dan mata uang utama Asia lainnya berhasil menguat karena faktor eksternal yang kondusif. Investor sedang berani mengambil risiko karena perkembangan positif dari hubungan AS-China.

Kantor berita Xinhua memberitakan bahwa Wakil Perdana Menteri China Liu He telah melakukan pembicaraan via telepon dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer.
 Menurut seorang sumber, mereka membicarakan soal sebuah kesepakatan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, tetapi pelaku pasar bisa menduga bahwa kesepakatan yang dimaksud adalah perjanjian untuk mengakhiri perang dagang. 

Damai dagang AS-China menjadi sebuah sentimen yang sangat bisa menggerakkan pasar. Sebab kala dua kekuatan ekonomi terbesar di bumi tidak lagi saling hambat, maka arus perdagangan dan rantai pasok global akan kembali bergeliat. Dunia boleh berharap akan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. 

Lalu juga ada kabar baik seputar dinamika Brexit. Perdana Menteri Inggris Theresa May dan Presiden Komisi Uni Eropa Jean-Claude Juncker menyepakati klausul baru terkait backstop di perbatasan Irlandia Utara-Republik Irlandia. 

Backstop adalah semacam jaminan bahwa tidak ada perlakuan kepabeanan yang ketat di perbatasan kedua negara tersebut. Namun ide ini mendapat tentangan dari parlemen Inggris, karena menilai sama saja dengan Inggris tetap tunduk dengan aturan kepabeanan Uni Eropa. Kedaulatan negara menjadi dipertanyakan. 

Oleh karena itu, May dan Juncker setuju bahwa dalam proposal Brexit yang baru nanti Inggris bisa sewaktu-waktu keluar dari kesepakatan backstop. Dengan begitu, Inggris tidak akan merasa 'terjebak' oleh aturan dari Brussel. 

Pelaku pasar berharap proposal ini bisa disetujui di parlemen Negeri Ratu Elizabeth. Parlemen dijadwalkan menggelar voting pada malam tadi waktu Indonesia. 

Namun IHSG masih sulit menguat karena valuasinya memang sudah tinggi. Price to Earnings Ratio (P/E) IHSG saat ini berada di 15,71 kali. Lebih tinggi ketimbang Hang Seng (11,32 kali), Shanghai Composite (12,66 kali), Kospi (12,1 kali), sampai Straits Times (12,3 kali). 

IHSG yang sudah 'kemahalan' ini membuat saham-saham di Bursa Efek Indonesia rentan mengalami tekanan jual. Termasuk yang terjadi kemarin, di mana investor asing melakukan jual bersih Rp 674,09 miliar. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,36%, tetapi S&P 500 dan Nasdaq Composite mampu naik masing-masing 0,3% dan 0,43%. 

DJIA tidak mampu bertahan di zona hijau akibat anjloknya saham Boeing yang mencapai 6,15%. Selepas tragedi jatuhnya pesawat 737 MAX 8 milik Ethiopian Airlines, otoritas berbagai negara sudah 'mengandangkan' pesawat Boeing. Bahkan Singapura, Australia, dan Inggris melarang pesawat Boeing 737 MAX untuk keluar-masuk dan melintasi wilayah udara mereka. 

Kebetulan Boeing adalah penyumbang terbesar dalam pembobotan DJIA, mencapai 10,57%. Oleh karena itu, apa yang terjadi dengan saham Boeing bisa menyeret DJIA secara keseluruhan. 

Sedangkan S&P 500 dan Nasdaq bisa naik karena investor merespons rilis data inflasi. Pada Februari, inflasi Negeri Paman Sam tercatat 1,5% year-on-year (YoY). Ini merupakan laju paling lemah sejak September 2016. 

Sementara inflasi inti pada Februari adalah 2,1% YoY. Dalam 3 bulan terakhir, inflasi inti berada di angka 2,2% sehingga terlihat ada perlambatan pada Februari. 

Data inflasi yang diumumkan ini adalah Consumer Price Index (CPI) atau yang dikenal dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) di Indonesia. Sementara indikator inflasi yang digunakan The Federal Reserves/The Fed adalah Personal Consumption Expenditure inti atau core PCE

Namun data inflasi CPI ini juga menggambarkan bahwa ternyata ada indikasi konsumen di AS menahan diri. Daya beli belum kuat-kuat amat sehingga tidak mampu mendorong laju inflasi lebih cepat lagi. 

Artinya, kemungkinan The Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuan sepanjang 2019 bahkan ada peluang untuk menurunkannya. Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan Federal Funds Rate dipertahankan di 2,25-2,5% pada akhir 2019 adalah 87,8% dan probabilitas untuk turun menjadi 2-2,25% adalah 18,2%. Peluang untuk naik ke 2,5-2,75% adalah 0%. 

Saham adalah instrumen yang bekerja optimal dalam lingkungan suku bunga rendah. Oleh karena itu, berita soal kemungkinan The Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuan mendapat respons positif di bursa saham New York. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu Wall Street yang berakhir mixed cenderung menguat. Performa Wall Street yang tidak terlalu buruk ini bisa dijadikan penyemangat investor di pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia. 

Sentimen kedua adalah dinamika seputar Brexit. Lagi-lagi proposal Brexit yang diajukan PM May kandas di voting parlemen dengan skor 391 menolak, 242 setuju. Proposal pertama sudah ditolak dalam voting 15 Januari dengan skor 432 berbanding 202. 

Masa depan Brexit menjadi tidak jelas, karena Inggris sendiri seperti tidak tahu apa yang mereka mau. Semua hasil perundingan May dengan Brussel selalu dimentahkan oleh parlemen. Kalau Uni Eropa tahu lagu Armada, mungkin mereka akan menyanyi "mau dibawa ke mana hubungan kita?". 

Padahal sebelum voting ini, Presiden Komisi Uni Eropa Jean-Claude Juncker sudah memberikan ultimatum. Tidak ada lagi ruang negosiasi, take it or leave it

"Pilihannya jelas, ini kesepakatannya atau Brexit tidak terjadi. Mari kita buat keluarnya Inggris dari Uni Eropa setertib mungkin. Tidak ada kesempatan ketiga. Tidak ada lagi interpretasi atas interpretasi, tidak ada lagi jaminan atas jaminan," tegas Juncker, dikutip dari Reuters. 

Hasil voting ini menyisakan pilihan sulit buat Negeri Ratu Elizabeth. Keluar dari Uni Eropa tanpa kompensasi apa-apa (No Deal Brexit), menunda pelaksanaan Brexit yang sedianya dieksekusi pada 29 Maret, pemilu yang dipercepat dengan posisi May sebagai taruhannya, atau menggelar jajak pendapat ulang kepada warga Inggris apakah masih mau bercerai dengan Uni Eropa atau tidak. 

Pada Rabu ini pukul 19:00 GMT, parlemen Inggris akan kembali menggelar voting untuk memutuskan apakah No Deal Brexit adalah jalan terbaik. Jika parlemen memutuskan memilih No Deal Brexit, maka dampaknya akan sangat luar biasa. 

No Deal Brexit akan membuat Inggris kesulitan untuk berdagang dengan tetangganya di Eropa Daratan. Sebab, Inggris akan dikecualikan dari perjanjian perdagangan bebas sehingga produk-produk made in the UK akan kena bea masuk. Demikian juga produk-produk negara Uni Eropa, akan kena bea masuk saat berada di tanah Inggris. 

"Biar saya perjelas. Memilih no deal atau menunda (Brexit) tidak akan menyelesaikan masalah kita hadapi saat ini," tegas May, mengutip Reuters. 

Para pemimipin negara Eropa pun menyayangkan hasil voting parlemen Inggris. Mereka seolah ingin meminta kejelasan, sebenarnya Inggris mau membawa hubungan dengan Eropa ke arah mana?

"Saya menyesalkan hasil voting Brexit malam ini. Mengecewakan melihat pemerintah Inggris tidak mampu menjamin kesepakatan Brexit di parlemen, bahkan setelah ada jaminan dari Uni Eropa. Solusi dari London harus segera datang," tegas Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda, melalui cuitan di Twitter.

"Kami menyelesalkan keputusan parlemen Inggris di tengah upaya Uni Eropa yang bekerja keras untuk menyusun kesepakatan terbaik. Eropa harus menjamin kebebasan dan stabilitas. Kami butuh Uni Eropa. Mari lindungi Eropa agar Eropa bisa melindungi kita," sebut Pedro Sanchez, Perdana Menteri Spanyol, juga melalui cuitan di Twitter.

Nasib Brexit yang masih samar-samar bisa membuat pelaku pasar bermain aman hari ini. Ada potensi menghindari aset-aset berisiko, sehingga menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan Asia. Tidak terkecuali Indonesia. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Namun sejauh ini rasanya pasar masih abai dengan apa yang terjadi di Negeri John Bull. Belum terlihat ada perilaku flight to quality yang signifikan, tergambar dari sentimen ketiga yaitu dolar AS yang masih tertekan. 

Pada pukul 05:04 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,23%. Mata uang Negeri Adidaya lebih merespons rilis data inflasi yang melambat sehingga memperkecil ruang kenaikan suku bunga acuan. 

Tanpa dukungan kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS (utamanya di aset berpendapatan tetap) menjadi kurang menarik. Akibatnya, dolar AS masih mengalami tekanan jual seperti kemarin. 

Jika pelemahan dolar AS berlanjut, maka rupiah cs di Asia bisa memanfaatkannya dengan kembali mencetak apresiasi. Andai rupiah bisa mencatat penguatan 3 hari beruntun, maka akan menjadi rantai terpanjang sejak 22-26 Februari. 

Namun, rupiah mesti waspada dengan sentimen keempat yaitu kenaikan harga minyak. Pada pukul 05:10 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,39% dan 0,56%. 

Kenaikan harga minyak disebabkan oleh rencana Arab Saudi yang ingin mengurangi ekspor mulai bulan depan menjadi di bawah 7 juta barel/hari. Produksi juga akan dijaga di bawah 10 juta barel/hari. 

Ditambah lagi pasokan minyak yang seret dari Venezuela. Selain akibat sanksi AS, produksi dan ekspor minyak Venezuela terganggu karena pasokan listrik yang mulai langka.  

Negara yang banyak melahirkan Miss Universe itu memang sedang dalam masa-masa sulit. Sudah banyak negara yang tidak mengakui pemerintahan Presiden Nicolas Maduro dan memilih mendukung Juan Guaido sebagai presiden interim. 

Kemudian US Energy Information Administration juga memangkas proyeksi kenaikan produksi minyak AS pada 2019 dari 1,45 juta barel/hari menjadi 1,35 juta barel/hari. Pasokan dari AS yang kemungkinan tidak sebanyak perkiraan sebelumnya ikut berperan mengatrol harga si emas hitam. 

Sayangnya, kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah. Indonesia adalah negara net importir minyak, mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri yang belum memadai.  

Saat harga minyak naik, maka biaya impornya semakin mahal. Semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk mengimpor minyak, sehingga membuat defisit transaksi berjalan (current account) berpotensi melebar atau semakin dalam. 

Padahal transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi stabilitas nilai tukar, karena mencerminkan pasokan barang dan jasa dari ekspor-impor. Tanpa transaksi berjalan yang kuat, rupiah akan rawan terdepresiasi.

Investor bisa saja menjadi enggan untuk mengoleksi aset berbasis rupiah, karena khawatir nilainya akan turun pada kemudian hari. Risiko aksi jual akan terus membayangi rupiah selama ada masalah di transaksi berjalan.


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data pesanan barang tahan lama AS periode Januari (19:30 WIB).
  • Rilis indeks harga produsen AS periode Februari (19:30 WIB).
  • Rilis data belanja konstruksi AS periode Januari (21:00 WIB).
  • Rilis data pesanan mesin Jepang periode Januari (06:50 WIB).
  • Rilis indeks harga produsen Jepang periode Februari (06:50 WIB).
  • Rilis data produksi industri Zona Euro periode Januari (17:00 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk (GMTD)RUPS Tahunan09:00 WIB

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Februari 2019 YoY)2,57%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Februari 2019)US$ 123,27 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular