
Newsletter
Ekonomi Global Kian Gloomy
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 March 2019 05:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menjalani periode yang sulit pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan harga obligasi seluruhnya melemah.
Kemarin, IHSG ditutup anjlok 1,26%. IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang juga ditutup di zona merah. Indeks Nikkei 225 turun 0,79%, Hang Seng melemah 0,43%, Shanghai Composite minus 0,44%, Kospi amblas 1,76%, dan Straits Times ambrol 1,15%.
Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,25% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Asia, hanya lebih baik ketimbang won Korea Selatan.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 0,6 basis poin. Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang terkoreksi karena sepinya peminat atau bahkan ada aksi jual.
Faktor utama penyebab koreksi massal di pasar keuangan Asia adalah kekhawatiran investor terhadap prospek damai dagang AS-China. Dalam paparannya di hadapan Komite Perpajakan Komite Perpajakan House of Representatives (House Ways and Means Committee), Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer menegaskan bahwa sebuah negosiasi tidak akan begitu saja mengubah hubungan dagang kedua negara.
"Kenyataannya adalah ini menjadi tantangan yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Saya tidak cukup bodoh untuk percaya satu negosiasi bisa mengubahnya," kata Lighthizer, mengutip Reuters.
Apabila AS-China sampai batal mencapai kesepakatan dagang, lanjut Lighthizer, maka dirinya tidak akan segan untuk kembali menaikkan bea masuk. Sebab bea masuk adalah satu-satunya alat untuk menekan China agar melakukan reformasi struktural.
"Jika ada ketidaksepakatan, maka AS akan bertindak proporsional," tegasnya.
Reformasi struktural di China, menurut Lighthizer, bukan soal Negeri Tirai Bambu membeli lebih banyak produk made in USA. Beberapa hal yang harus diselesaikan adalah penghentian pemaksaan transfer teknologi terhadap perusahaan asing yang beroperasi di China atau manipulasi kurs untuk mendongrak kinerja ekspor.
"Saya tidak yakin kalau ini (China membeli lebih banyak produk AS) akan menyelesaikan masalah. Kami akan menuntaskan ini (hubungan dengan China) dengan satu mata yang mengarah ke masa depan," kata Lighthizer.
Investor yang sudah sempat sangat yakin dengan prospek damai dagang AS-China seakan tersambar petir. Ternyata masih ada risiko kesepakatan dagang bisa gagal, dan dua kekuatan ekonomi terbesar di bumi kembali terlibat perang dagang.
Merespons pernyataan Lighthizer, investor berbondong keluar dari aset-aset berisiko di Asia. Arus modal pun kembali menyemut di instrumen aman seperti dolar AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama kembali finis di jalur merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,27%, S&P 500 turun 0,28%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,29%.
Memang cukup banyak sentimen negatif yang menghantam Wall Street. Pertama, pernyataan Lighthizer, yang sudah membuat bursa saham New York terpeleset kemarin, kembali menjadi biang kerok hari ini.
Benar bahwa AS akan menunda kenaikan tarif bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Namun bukan berarti ada pembatalan, karena kenaikan itu masih bisa dieksekusi kapan saja.
Kedua, pelaku pasar juga cemas terhadap hasil dialog AS-Korea Utara di Vietnam. Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk walk-out dari perundingan, karena menilai permintaan Pyongyang sulit dipenuhi.
"Ini karena soal sanksi. Intinya mereka ingin sanksi dicabut seluruhnya, dan kami tidak bisa melakukan itu," ungkap Trump, mengutip Reuters.
Sementara Ri Yong Ho, Menteri Luar Negeri Korea Utara, menyatakan sebenarnya Pyongyang hanya ingin pencabutan sebagian sanksi, terutama yang terkait dengan kehidupan masyarakat dan tidak terkait dengan sanksi militer. Untuk itu, Korea Utara bersedia melucuti fasilitas pengembangan nuklir di Yongbyon, termasuk unit pengembangan plutonium dan uranium.
"Berdasarkan tingkat kepercayaan yang kini hadir di antara kedua negara, ini adalah upaya denuklirisasi maksimal yang bisa kami berikan. Sulit untuk berpikir ada yang lebih baik dari tawaran kami," tegas Ri, mengutip Reuters.
Pelaku pasar semakin stres kala Ri menyatakan mungkin ke depan tidak ada lagi kesempatan untuk berunding dengan AS. Korea Utara pun tidak akan mengubah pendiriannya.
"Mungkin kita tidak akan mendapat kesempatan seperti ini lagi. Padahal kita butuh langkah awal menuju denuklirisasi yang sepenuhnya. Posisi kami tidak akan berubah, bahkan jika AS kembali mengajak ke meja perundingan, posisi kami tidak akan berubah," papar Ri.
Hubungan Washington-Pyongyang yang agak panas-dingin ini membuat investor sedikit grogi. Akibatnya, pelaku pasar cenderung bermain aman dan meninggalkan instrumen berisiko seperti saham.
Ketiga, faktor lain yang ikut menyeret Wall Street ke zona merah adalah rilis data pertumbuhan ekonomi AS. Sepanjang 2018, ekonomi Negeri Paman Sam tumbuh 2,9% dibandingkan tahun sebelumnya atau di bawah target pemerintah yaitu 3%. Ternyata pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secepat yang diperkirakan.
Pada kuartal IV-2016, ekonomi Negeri Adidaya tumbuh 2,6% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 3,4%. Padahal pada kuartal IV ada perayaan Thanksgiving, Hari Natal, dan Tahun Baru.
Meski ada catatan di sana-sini, pertumbuhan ekonomi AS pada 2018 tetap menjadi yang terbaik sejak 2015. Mungkin pertumbuhan ekonomi AS tidak cepat, tetapi mulai stabil dan berkelanjutan (sustainable).
"Sepertinya kita mengarah ke ke laju pertumbuhan ekonomi yang lebih sustainable seperti masa-masa Barack Obama. Dengan dampak pemotongan tarif pajak yang sudah berakhir, memang sulit untuk melihat ekonomi bisa tumbuh lebih cepat," kata Joel Naroff, Kepala Ekonom di Naroff Economic Advisors yang berbasis di Pennsylvania, mengutip Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya perkembangan di Wall Street yang kurang menggembirakan. Merahnya Wall Street bisa membuat mood pelaku pasar di Asia jelek saat memulai perdagangan dan bertahan sepanjang hari.
Sentimen kedua adalah aura perlambatan ekonomi global yang semakin terasa. Selain perlambatan ekonomi di AS, data-data lain menunjukkan hal yang serupa.
Masih di AS, jumlah klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 23 Februari naik 8.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 225.000. Ini menjadi angka tertinggi dalam 10 bulan terakhir.
Di negara berkembang, situasinya tidak lebih baik. Pertumbuhan ekonomi Brasil pada 2018 tercatat 1,1%, sama seperti 2017. Sementara pada kuartal IV-2018, ekonomi Negeri Samba tumbuh 1,1% YoY, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 1,3% YoY.
Kemudian pertumbuhan ekonomi India pada kuartal IV-2018 adalah 6,6%, laju paling lambat dalam lima kuartal terakhir. Angka ini juga di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan 6,9%, juga di bawah target pemerintah 7%.
Lalu di China, angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur pada Februari adalah 49,2. Angka di bawah 50 menunjukkan aktivitas manufaktur mengalami kontraksi. Ini menjadi kontraksi selama 3 bulan berturut-turut.
Suasana ekonomi global yang gloomy, ditambah prospek damai dagang AS-China yang menjauh, bisa menjadi pendorong pelaku pasar untuk tetap bermain aman seperti kemarin. Jika ini kembali terjadi, maka IHSG dkk mesti bersiap untuk tertekan lagi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Namun, ada sentimen ketiga yang menjadi harapan bagi pasar keuangan Asia (termasuk Indonesia) karena kemungkinan dolar AS melemah hari ini. Pertumbuhan ekonomi AS yang melambat plus klaim tunjangan pengangguran yang meningkat tentu akan menjadi masukan bagi The Federal Reserves/The Fed dalam menentukan arah kebijakan suku bunga.
Sepertinya ruang bagi kenaikan suku bunga acuan semakin kecil, karena perekonomian AS masih bermasalah. Apalagi Richard Clarida, Wakil Gubernur The Fed, menegaskan bahwa setiap keputusan Bank Sentral AS haruslah berdasarkan data. Melihat data-data yang ada sekarang, sepetinya kata sabar masih akan mendominasi pernyataan para pejabat The Fed.
"Kita harus menyeimbangkan antara proyeksi ke depan dengan kemungkinan bahwa model yang kita gunakan mungkin ada kesalahan. Dengan inflasi yang masih rendah dan stabilnya ekspektasi inflasi, maka saya meyakini kami masih bisa bersabar sembari menanti berbagai data yang akan masuk," papar Clarida, mengutip Reuters.
Jika benar nanti dolar AS melemah, maka situasi ini bisa dimanfaatkan oleh rupiah cs di Asia untuk berbalik menguat. Penguatan rupiah juga bisa menunjang aset-aset berbasis mata uang ini seperti saham atau Surat Berharga Negara (SBN).
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data inflasi Februari 2019. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan secara bulanan (month-to-month/MtM) terjadi deflasi tipis 0,05%. Kemudian secara tahunan diramal ada inflasi 2,62% dan inflasi inti tahunan diperkirakan 3,055%.
Menariknya, laju inflasi 2,62% (bila kejadian) akan menjadi yang paling lambat sejak November 2009. Nyaris 10 tahun lalu.
Ini bisa menjadi sentimen positif di pasar. Indonesia bukan negara maju seperti Eropa atau Jepang yang mendambakan inflasi. Sebagai negara berkembang, inflasi sudah menjadi khittah Indonesia sehingga yang paling penting adalah menjaga inflasi tetap rendah dan stabil.
Dalam beberapa tahun terakhir, inflasi sudah relatif rendah dan stabil di kisaran 3% bahkan kini sudah di bawah itu. Artinya ada aktivitas ekonomi yang sehat di mana dunia usaha masih bisa menaikkan harga tetapi tidak terlalu tinggi sehingga beban di konsumen pun tidak signifikan.
Inflasi yang rendah dan stabil juga positif bagi mata uang. Nilai mata uang bisa lebih stabil karena tidak terlalu tergerus oleh inflasi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Kemarin, IHSG ditutup anjlok 1,26%. IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang juga ditutup di zona merah. Indeks Nikkei 225 turun 0,79%, Hang Seng melemah 0,43%, Shanghai Composite minus 0,44%, Kospi amblas 1,76%, dan Straits Times ambrol 1,15%.
Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,25% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Asia, hanya lebih baik ketimbang won Korea Selatan.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 0,6 basis poin. Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang terkoreksi karena sepinya peminat atau bahkan ada aksi jual.
Faktor utama penyebab koreksi massal di pasar keuangan Asia adalah kekhawatiran investor terhadap prospek damai dagang AS-China. Dalam paparannya di hadapan Komite Perpajakan Komite Perpajakan House of Representatives (House Ways and Means Committee), Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer menegaskan bahwa sebuah negosiasi tidak akan begitu saja mengubah hubungan dagang kedua negara.
"Kenyataannya adalah ini menjadi tantangan yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Saya tidak cukup bodoh untuk percaya satu negosiasi bisa mengubahnya," kata Lighthizer, mengutip Reuters.
Apabila AS-China sampai batal mencapai kesepakatan dagang, lanjut Lighthizer, maka dirinya tidak akan segan untuk kembali menaikkan bea masuk. Sebab bea masuk adalah satu-satunya alat untuk menekan China agar melakukan reformasi struktural.
"Jika ada ketidaksepakatan, maka AS akan bertindak proporsional," tegasnya.
Reformasi struktural di China, menurut Lighthizer, bukan soal Negeri Tirai Bambu membeli lebih banyak produk made in USA. Beberapa hal yang harus diselesaikan adalah penghentian pemaksaan transfer teknologi terhadap perusahaan asing yang beroperasi di China atau manipulasi kurs untuk mendongrak kinerja ekspor.
"Saya tidak yakin kalau ini (China membeli lebih banyak produk AS) akan menyelesaikan masalah. Kami akan menuntaskan ini (hubungan dengan China) dengan satu mata yang mengarah ke masa depan," kata Lighthizer.
Investor yang sudah sempat sangat yakin dengan prospek damai dagang AS-China seakan tersambar petir. Ternyata masih ada risiko kesepakatan dagang bisa gagal, dan dua kekuatan ekonomi terbesar di bumi kembali terlibat perang dagang.
Merespons pernyataan Lighthizer, investor berbondong keluar dari aset-aset berisiko di Asia. Arus modal pun kembali menyemut di instrumen aman seperti dolar AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama kembali finis di jalur merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,27%, S&P 500 turun 0,28%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,29%.
Memang cukup banyak sentimen negatif yang menghantam Wall Street. Pertama, pernyataan Lighthizer, yang sudah membuat bursa saham New York terpeleset kemarin, kembali menjadi biang kerok hari ini.
Benar bahwa AS akan menunda kenaikan tarif bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Namun bukan berarti ada pembatalan, karena kenaikan itu masih bisa dieksekusi kapan saja.
Kedua, pelaku pasar juga cemas terhadap hasil dialog AS-Korea Utara di Vietnam. Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk walk-out dari perundingan, karena menilai permintaan Pyongyang sulit dipenuhi.
"Ini karena soal sanksi. Intinya mereka ingin sanksi dicabut seluruhnya, dan kami tidak bisa melakukan itu," ungkap Trump, mengutip Reuters.
Sementara Ri Yong Ho, Menteri Luar Negeri Korea Utara, menyatakan sebenarnya Pyongyang hanya ingin pencabutan sebagian sanksi, terutama yang terkait dengan kehidupan masyarakat dan tidak terkait dengan sanksi militer. Untuk itu, Korea Utara bersedia melucuti fasilitas pengembangan nuklir di Yongbyon, termasuk unit pengembangan plutonium dan uranium.
"Berdasarkan tingkat kepercayaan yang kini hadir di antara kedua negara, ini adalah upaya denuklirisasi maksimal yang bisa kami berikan. Sulit untuk berpikir ada yang lebih baik dari tawaran kami," tegas Ri, mengutip Reuters.
Pelaku pasar semakin stres kala Ri menyatakan mungkin ke depan tidak ada lagi kesempatan untuk berunding dengan AS. Korea Utara pun tidak akan mengubah pendiriannya.
"Mungkin kita tidak akan mendapat kesempatan seperti ini lagi. Padahal kita butuh langkah awal menuju denuklirisasi yang sepenuhnya. Posisi kami tidak akan berubah, bahkan jika AS kembali mengajak ke meja perundingan, posisi kami tidak akan berubah," papar Ri.
Hubungan Washington-Pyongyang yang agak panas-dingin ini membuat investor sedikit grogi. Akibatnya, pelaku pasar cenderung bermain aman dan meninggalkan instrumen berisiko seperti saham.
Ketiga, faktor lain yang ikut menyeret Wall Street ke zona merah adalah rilis data pertumbuhan ekonomi AS. Sepanjang 2018, ekonomi Negeri Paman Sam tumbuh 2,9% dibandingkan tahun sebelumnya atau di bawah target pemerintah yaitu 3%. Ternyata pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secepat yang diperkirakan.
Pada kuartal IV-2016, ekonomi Negeri Adidaya tumbuh 2,6% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 3,4%. Padahal pada kuartal IV ada perayaan Thanksgiving, Hari Natal, dan Tahun Baru.
Meski ada catatan di sana-sini, pertumbuhan ekonomi AS pada 2018 tetap menjadi yang terbaik sejak 2015. Mungkin pertumbuhan ekonomi AS tidak cepat, tetapi mulai stabil dan berkelanjutan (sustainable).
"Sepertinya kita mengarah ke ke laju pertumbuhan ekonomi yang lebih sustainable seperti masa-masa Barack Obama. Dengan dampak pemotongan tarif pajak yang sudah berakhir, memang sulit untuk melihat ekonomi bisa tumbuh lebih cepat," kata Joel Naroff, Kepala Ekonom di Naroff Economic Advisors yang berbasis di Pennsylvania, mengutip Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya perkembangan di Wall Street yang kurang menggembirakan. Merahnya Wall Street bisa membuat mood pelaku pasar di Asia jelek saat memulai perdagangan dan bertahan sepanjang hari.
Sentimen kedua adalah aura perlambatan ekonomi global yang semakin terasa. Selain perlambatan ekonomi di AS, data-data lain menunjukkan hal yang serupa.
Masih di AS, jumlah klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 23 Februari naik 8.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 225.000. Ini menjadi angka tertinggi dalam 10 bulan terakhir.
Di negara berkembang, situasinya tidak lebih baik. Pertumbuhan ekonomi Brasil pada 2018 tercatat 1,1%, sama seperti 2017. Sementara pada kuartal IV-2018, ekonomi Negeri Samba tumbuh 1,1% YoY, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 1,3% YoY.
Kemudian pertumbuhan ekonomi India pada kuartal IV-2018 adalah 6,6%, laju paling lambat dalam lima kuartal terakhir. Angka ini juga di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan 6,9%, juga di bawah target pemerintah 7%.
Lalu di China, angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur pada Februari adalah 49,2. Angka di bawah 50 menunjukkan aktivitas manufaktur mengalami kontraksi. Ini menjadi kontraksi selama 3 bulan berturut-turut.
Suasana ekonomi global yang gloomy, ditambah prospek damai dagang AS-China yang menjauh, bisa menjadi pendorong pelaku pasar untuk tetap bermain aman seperti kemarin. Jika ini kembali terjadi, maka IHSG dkk mesti bersiap untuk tertekan lagi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Namun, ada sentimen ketiga yang menjadi harapan bagi pasar keuangan Asia (termasuk Indonesia) karena kemungkinan dolar AS melemah hari ini. Pertumbuhan ekonomi AS yang melambat plus klaim tunjangan pengangguran yang meningkat tentu akan menjadi masukan bagi The Federal Reserves/The Fed dalam menentukan arah kebijakan suku bunga.
Sepertinya ruang bagi kenaikan suku bunga acuan semakin kecil, karena perekonomian AS masih bermasalah. Apalagi Richard Clarida, Wakil Gubernur The Fed, menegaskan bahwa setiap keputusan Bank Sentral AS haruslah berdasarkan data. Melihat data-data yang ada sekarang, sepetinya kata sabar masih akan mendominasi pernyataan para pejabat The Fed.
"Kita harus menyeimbangkan antara proyeksi ke depan dengan kemungkinan bahwa model yang kita gunakan mungkin ada kesalahan. Dengan inflasi yang masih rendah dan stabilnya ekspektasi inflasi, maka saya meyakini kami masih bisa bersabar sembari menanti berbagai data yang akan masuk," papar Clarida, mengutip Reuters.
Jika benar nanti dolar AS melemah, maka situasi ini bisa dimanfaatkan oleh rupiah cs di Asia untuk berbalik menguat. Penguatan rupiah juga bisa menunjang aset-aset berbasis mata uang ini seperti saham atau Surat Berharga Negara (SBN).
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data inflasi Februari 2019. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan secara bulanan (month-to-month/MtM) terjadi deflasi tipis 0,05%. Kemudian secara tahunan diramal ada inflasi 2,62% dan inflasi inti tahunan diperkirakan 3,055%.
Menariknya, laju inflasi 2,62% (bila kejadian) akan menjadi yang paling lambat sejak November 2009. Nyaris 10 tahun lalu.
Ini bisa menjadi sentimen positif di pasar. Indonesia bukan negara maju seperti Eropa atau Jepang yang mendambakan inflasi. Sebagai negara berkembang, inflasi sudah menjadi khittah Indonesia sehingga yang paling penting adalah menjaga inflasi tetap rendah dan stabil.
Dalam beberapa tahun terakhir, inflasi sudah relatif rendah dan stabil di kisaran 3% bahkan kini sudah di bawah itu. Artinya ada aktivitas ekonomi yang sehat di mana dunia usaha masih bisa menaikkan harga tetapi tidak terlalu tinggi sehingga beban di konsumen pun tidak signifikan.
Inflasi yang rendah dan stabil juga positif bagi mata uang. Nilai mata uang bisa lebih stabil karena tidak terlalu tergerus oleh inflasi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis angka pengangguran Jepang periode Januari 2019 (06:30 WIB).
- Rilis data PMI Indonesia versi IHS/Nikkei periode Februari 2019 (07:00 WIB).
- Rilis data PMI Manufaktur China versi Caixin periode Februari (08:45 WIB).
- Rilis data inflasi Indonesia periode Februari 2019 (09:00 WIB).
- Rilis data PMI Manufaktur Jepang versi Nikkei periode Februari 2019 (12:00 WIB).
- Rilis data PMI manufaktur AS versi ISM periode Februari 2019 (22:00 WIB).
- Rilis Indeks Sentimen Konsumen AS versi Universitas Michigan periode Februari 2019 (22:00 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Mas Murni Indonesia Tbk (MAMI) | RUPSLB | 09:00 WIB |
PT Petrosea Tbk (PTRO) | RUPSLB | 09:30 WIB |
PT Bank Victoria International Tbk (BVIC) | RUPS Tahunan | 10:00 WIB |
PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA) | RUPS Tahunan | 10:00 WIB |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Januari 2019 YoY) | 2,82% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (2018) | -2,98% PDB |
Neraca pembayaran (2018) | -US$ 7,13 miliar |
Cadangan devisa (Januari 2019) | US$ 120,07 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular