
Newsletter
Semoga Tuah Damai Dagang Masih Ada...
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
19 February 2019 05:51

Wall Street libur hari ini karena AS memperingati Hari Presiden (kelahiran George Washington, presiden pertama AS). Oleh karena itu, bursa saham New York tidak akan memberi sentimen apa-apa terhadap pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.
Namun buka berarti pelaku pasar boleh berleha-leha karena untuk perdagangan hari ini tetap ada sentimen yang patut dicermati. Pertama adalah perkembangan hubungan dagang AS-China yang berpotensi tercemar.
Penyebabnya adalah kabar bahwa Kementerian Perdagangan AS telah mengirim rekomendasi ke meja Presiden Trump mengenai wacana pengenaan bea masuk terhadap impor mobil dan suku cadangnya. Trump punya waktu 90 hari untuk mengambil keputusan berdasarkan rekomendasi tersebut.
US Motor and Equipment Manufacturers Association dalam keterangan tertulisnya menolak pengenaan bea masuk itu. Menurut mereka, bea masuk akan membuat harga jual mobil naik sampai ribuan dolar AS sehingga penjualan terancam turun. Akibatnya dikhawatirkan bisa membuat industri otomotif AS melakukan PHK terhadap ribuan pekerja.
"Bea masuk ini, kalau diterapkan, malah berpotensi membuat perusahaan memindahkan fasilitas produksinya ke luar negeri dan meninggalkan AS. Tidak ada satu pun perusahaan otomotif yang meminta penyelidikan yang berujung kepada rekomendasi ini," tegas US Motor and Equipment Manufacturers Association dalam keterangan tertulisnya.
Pengenaan bea masuk ini juga berisiko kembali menyulut perang dagang antara AS dan negara-negara lainnya seperti China, Jepang, dan Uni Eropa. Trump menegaskan bahwa bea masuk bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri dari serbuan produk impor sekaligus alat negosiasi dagang.
"Saya suka bea masuk. Namun saya juga suka bernegosiasi," ujarnya, mengutip Reuters.
Padahal investor sudah berbunga-bunga dengan perkembangan hubungan AS-China yang kian harmonis. Sepertinya damai dagang AS-China sudah terlihat, tidak lagi samar-samar.
Namun perkembangan seputar bea masuk otomotif ini bisa saja membuat semuanya buyar. Risiko kembalinya perang dagang tidak bisa dikesampingkan.
Semoga sentimen ini tidak membuat pelaku pasar cemas berlebihan. Semoga pula ada kabar baik seputar hubungan AS-China sehingga bisa kembali membuat pasar berbunga-bunga. Semoga tuah damai dagang masih ada. Amin...
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS yang berpotensi kembali melemah hari ini. Pada pukul 05:15 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) masih terkoreksi 0,12%. Dalam sepekan terakhir, indeks ini sudah minus 0,27%.
Masih seperti kemarin, depresiasi dolar AS disebabkan oleh tingginya risk appettite investor akibat prospek damai dagang-AS-China. Selain itu, ada harapan arus modal tetap deras menglir ke pasar keuangan negara-negara berkembang Asia (termasuk Indonesia) karena posisi The Federal Reserves/The Fed yang tidak lagi agresif.
Akhir pekan lalu, Presiden The Fed San Francisco Mary Daly menyiratkan bahwa bank sentral bisa saja tidak menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini. Syaratnya adalah jika ekonomi AS melambat sehingga tekanan inflasi menjadi minimal.
"Jika ekonomi tumbuh, misalnya, 2% dan laju inflasi 1,9% dan tidak ada sinyal (tekanan harga) semakin besar, maka saya rasa belum saatnya menaikkan suku bunga (tahun ini)," kata Daly dalam wawancara dengan Wall Street Journal.
Nada The Fed yang semakin kalem alias dovish tentu tidak menguntungkan bagi dolar AS. Tanpa pemanis dari kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di mata uang Negeri Adidaya menjadi kurang menarik. Jika dolar AS masih tertekan sepanjang hari ini, maka rupiah berpeluang untuk kembali mencatatkan apresiasi.
Sentimen ketiga adalah dinamika Brexit yang masih ruwet. Teranyar, situasi politik di Negeri John Bull semakin tidak menentu karena 7 orang anggota parlemen dari Partai Buruh mengundurkan diri. Mereka secara terbuka menyatakan tidak percaya terhadap kepemimpinan Jeremy Corbyn.
"Partai Buruh yang kami kenal sudah tidak ada lagi. Sekarang Partai Buruh dibajak oleh mesin politik kiri garis keras," tegas Chris Leslie, salah seorang anggota parlemen yang mundur, mengutip Reuters.
Inggris hanya punya waktu kurang dari 2 bulan sebelum berpisah dengan Uni Eropa. Namun kondisi politik dalam negerinya malah tambah runyam, yang berpotensi mempersulit proses pengambilan keputusan di parlemen.
Oleh karena itu, risiko No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kompensasi apapun dari perceraian dengan Uni Eropa) tetap besar dan tidak bisa diabaikan. Bila No Deal Brexit benar-benar terjadi, maka dampaknya akan sangat besar bagi Negeri Ratu Elizabeth dan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan global.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Namun buka berarti pelaku pasar boleh berleha-leha karena untuk perdagangan hari ini tetap ada sentimen yang patut dicermati. Pertama adalah perkembangan hubungan dagang AS-China yang berpotensi tercemar.
Penyebabnya adalah kabar bahwa Kementerian Perdagangan AS telah mengirim rekomendasi ke meja Presiden Trump mengenai wacana pengenaan bea masuk terhadap impor mobil dan suku cadangnya. Trump punya waktu 90 hari untuk mengambil keputusan berdasarkan rekomendasi tersebut.
US Motor and Equipment Manufacturers Association dalam keterangan tertulisnya menolak pengenaan bea masuk itu. Menurut mereka, bea masuk akan membuat harga jual mobil naik sampai ribuan dolar AS sehingga penjualan terancam turun. Akibatnya dikhawatirkan bisa membuat industri otomotif AS melakukan PHK terhadap ribuan pekerja.
"Bea masuk ini, kalau diterapkan, malah berpotensi membuat perusahaan memindahkan fasilitas produksinya ke luar negeri dan meninggalkan AS. Tidak ada satu pun perusahaan otomotif yang meminta penyelidikan yang berujung kepada rekomendasi ini," tegas US Motor and Equipment Manufacturers Association dalam keterangan tertulisnya.
Pengenaan bea masuk ini juga berisiko kembali menyulut perang dagang antara AS dan negara-negara lainnya seperti China, Jepang, dan Uni Eropa. Trump menegaskan bahwa bea masuk bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri dari serbuan produk impor sekaligus alat negosiasi dagang.
"Saya suka bea masuk. Namun saya juga suka bernegosiasi," ujarnya, mengutip Reuters.
Padahal investor sudah berbunga-bunga dengan perkembangan hubungan AS-China yang kian harmonis. Sepertinya damai dagang AS-China sudah terlihat, tidak lagi samar-samar.
Namun perkembangan seputar bea masuk otomotif ini bisa saja membuat semuanya buyar. Risiko kembalinya perang dagang tidak bisa dikesampingkan.
Semoga sentimen ini tidak membuat pelaku pasar cemas berlebihan. Semoga pula ada kabar baik seputar hubungan AS-China sehingga bisa kembali membuat pasar berbunga-bunga. Semoga tuah damai dagang masih ada. Amin...
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS yang berpotensi kembali melemah hari ini. Pada pukul 05:15 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) masih terkoreksi 0,12%. Dalam sepekan terakhir, indeks ini sudah minus 0,27%.
Masih seperti kemarin, depresiasi dolar AS disebabkan oleh tingginya risk appettite investor akibat prospek damai dagang-AS-China. Selain itu, ada harapan arus modal tetap deras menglir ke pasar keuangan negara-negara berkembang Asia (termasuk Indonesia) karena posisi The Federal Reserves/The Fed yang tidak lagi agresif.
Akhir pekan lalu, Presiden The Fed San Francisco Mary Daly menyiratkan bahwa bank sentral bisa saja tidak menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini. Syaratnya adalah jika ekonomi AS melambat sehingga tekanan inflasi menjadi minimal.
"Jika ekonomi tumbuh, misalnya, 2% dan laju inflasi 1,9% dan tidak ada sinyal (tekanan harga) semakin besar, maka saya rasa belum saatnya menaikkan suku bunga (tahun ini)," kata Daly dalam wawancara dengan Wall Street Journal.
Nada The Fed yang semakin kalem alias dovish tentu tidak menguntungkan bagi dolar AS. Tanpa pemanis dari kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di mata uang Negeri Adidaya menjadi kurang menarik. Jika dolar AS masih tertekan sepanjang hari ini, maka rupiah berpeluang untuk kembali mencatatkan apresiasi.
Sentimen ketiga adalah dinamika Brexit yang masih ruwet. Teranyar, situasi politik di Negeri John Bull semakin tidak menentu karena 7 orang anggota parlemen dari Partai Buruh mengundurkan diri. Mereka secara terbuka menyatakan tidak percaya terhadap kepemimpinan Jeremy Corbyn.
"Partai Buruh yang kami kenal sudah tidak ada lagi. Sekarang Partai Buruh dibajak oleh mesin politik kiri garis keras," tegas Chris Leslie, salah seorang anggota parlemen yang mundur, mengutip Reuters.
Inggris hanya punya waktu kurang dari 2 bulan sebelum berpisah dengan Uni Eropa. Namun kondisi politik dalam negerinya malah tambah runyam, yang berpotensi mempersulit proses pengambilan keputusan di parlemen.
Oleh karena itu, risiko No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kompensasi apapun dari perceraian dengan Uni Eropa) tetap besar dan tidak bisa diabaikan. Bila No Deal Brexit benar-benar terjadi, maka dampaknya akan sangat besar bagi Negeri Ratu Elizabeth dan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan global.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular