Polling CNBC Indonesia

Konsensus: Pertumbuhan Ekonomi 2018 Diramal 5,15%

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 February 2019 11:52
Konsensus: Pertumbuhan Ekonomi 2018 Diramal 5,15%
Ilustrasi Proyek Infrastruktur (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 diperkirakan terakselerasi dibandingkan tahun sebelumnya. Namun cukup jauh dari asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. 

Pada 6 Februari 2019, Badan Pusat Statistik akan mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2018 dan keseluruhan tahun. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2018 sebesar 5,12% secara tahunan (year-on-year/YoY) dan 5,15% untuk keseluruhan 2018. 

InstitusiPertumbuhan Ekonomi Q IV-2018 QtQ (%)Pertumbuhan Ekonomi Q-IV 2018 YoY (%)Pertumbuhan Ekonomi 2018 YoY (%)
Mirae Aset-5.115.15
CIMB Niaga-1.954.9-
DBS--5.1
Moody's Analytics-5.15.15
Maybank Indonesia-1.725.155.16
Danareksa Research Institute-1.755.125.15
Bahana Sekuritas-1.625.255.2
BCA-1.85.065.14
ING-5.3-
Bank Permata-1.755.125.15
MEDIAN-1.755.125.15

Jika terwujud, maka capaian ini lebih baik ketimbang 2017 di mana kala itu ekonomi tumbuh 5,07%. Namun bila dibandingkan asumsi APBN 2018 yang mencapai 5,4%, tentu jauh sekali. 

Positifnya, pertumbuhan ekonomi 5,15% (jika terjadi) akan menjadi capaian terbaik sejak 2013. Bahkan menjadi rekor tertinggi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), meski sangat jauh dari target 7% yang dijanjikannya kala kampanye pada 2014. 



Tahun 2018 bukan periode yang mudah bagi Indonesia. Berbagai ketidakpastian menyelimuti dunia sehingga menekan pertumbuhan ekonomi banyak negara, termasuk Indonesia. 

Tahun lalu, salah satu 'penyakit' utama dalam perekonomian Indonesia adalah depresiasi rupiah. Sepanjang 2018, rupiah melemah 5,97% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Depresiasi rupiah menjadi yang terdalam kedua di Asia setelah rupee India. 

Rupiah terpukul akibat kebijakan The Federal Reserves/The Fed yang hawkish bin agresif. Sepanjang 2018, Jerome 'Jay' Powell dan sejawat menaikkan suku bunga acuan empat kali. Kebijakan ini membuat dolar AS menjadi sangat seksi, dan menjadi raja mata uang dunia.  

Pelemahan rupiah membuat pemerintah dan Bank Indonesia (BI) all out. Pemerintah merilis berbagai kebijakan, salah satunya menunda impor bahan baku dan barang modal untuk proyek-proyek non-strategis. Sementara bank sentral menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali dengan total 175 basis poin (bps). Semua dilakukan untuk menyelamatkan rupiah. 

Kombinasi dua kebijakan ini adalah perlambatan investasi karena kenaikan biaya dana. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, pertumbuhan investasi sepanjang 2018 hanya 4,1%. Jauh melambat dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 13%. 

Dari sisi net ekspor, perkembangannya juga kurang menggembirakan. Hawa perang dagang AS-China yang memanas tahun lalu membuat arus perdagangan dunia lesu, rantai pasok global (global supply chain) terganggu karena dua perekonomian terbesar di dunia saling hambat. 

Selain itu, harga komoditas yang nyungsep menjadi penyebab merosotnya kinerja ekspor Indonesia. Selama 2018, harga batu bara dunia turun 3,9% sementara harga minyak sawit mentah (CPO) anjlok 18%. 

Akibatnya, Indonesia mencatat defisit perdagangan US$ 8,57 miliar pada 2018. Ini menjadi defisit dagang terdalam sepanjang sejarah Indonesia merdeka. 



Masalah di dua komponen tersebut, investasi dan net ekspor, menyebabkan ekonomi Indonesia sulit untuk tumbuh 5,4%. Ekonomi Indonesia memang masih melaju, tetapi belum mencapai kecepatan potensialnya.  

Ibarat mobil, kira-kira masih gigi 3 lah. Belum bisa melaju di gigi 5... 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Moody's Analytics dalam risetnya juga menyoroti pertumbuhan ekonomi Indonesia yang belum mencapai potensi penuh. Meski konsumsi domestik masih kuat, tetapi faktor eksternal menjadi pemberat langkah pertumbuhan ekonomi nasional. 

"Dampak awal dari pengetatan moneter sudah mulai terasa, ada perlambatan di sisi investasi. Namun ini masih terbantu oleh investasi infrastruktur pemerintah," tulis riset Moody's.

Untuk 2019, Moody's memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan melambat di kisaran 5%. Dampak lanjutan pengetatan moneter kembali menjadi pemberat pertumbuhan investasi. 

"Akan tetapi, konsumsi pemerintah bisa menjadi motor pertumbuhan ekonomi, apalagi jelang Pilpres 2019. Ini bisa menjadi peredam saat faktor eksternal sepertinya masih menjadi beban," lanjut riset Moody's.  


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Konsensus: Ekonomi RI Kuartal III-2018 Diramal Tumbuh 5,14%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular