
Newsletter
Masuki Bulan Penuh Cinta, IHSG Justru Kurang Kasih Sayang
Taufan Adharsyah & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 February 2019 06:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia tersenyum dengan begitu lebar pada perdagangan kemarin. IHSG dan rupiah sama-sama melesat di atas 1%.
Dibuka menguat 0,42%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memperlebar penguatannya menjadi 1,06% ke level 6.532,97 per akhir sesi 2. Lantas, IHSG ditutup di atas level psikologis 6.500 untuk pertama kalinya sejak 12 Maret 2018.
Kinerja IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 1,06%, indeks Shanghai naik 0,35%, Hang Seng naik 1,08%, dan indeks Straits Times naik 0,5%.
Sementara itu, rupiah menguat 1,1% di pasar spot ke level Rp 13.970/dolar AS.
Hasil pertemuan The Federal Reserve selaku Bank Sentral AS menjadi bensin utama bagi penguatan IHSG dan nilai tukar rupiah. Mempertahankan suku bunga acuan di level 2,25-2,5%, The Fed lagi-lagi mengeluarkan pernyataan bernada kalem alias dovish. The Fed bakal lebih bersabar dalam mengeksekusi kenaikan suku bunga acuan.
"Dalam situasi ekonomi global dan pasar keuangan saat ini, serta tekanan inflasi yang minim, Komite akan bersabar dalam menentukan kenaikan suku bunga acuan berikutnya," tulis pernyataan The Fed.
Tak hanya lebih kalem dalam masalah normalisasi suku bunga acuan, The Fed juga secara tegas menyatakan bahwa pihaknya siap untuk mengubah skema perampingan neracanya. Sebagai informasi, pasca-krisis keuangan global tahun 2008 silam, The Fed rajin membeli surat utang pemerintah dan mortgage-backed securities untuk menstimulasi perekonomian Negeri Paman Sam.
Pada puncaknya, neraca dari bank sentral sempat menyentuh angka US$ 4,5 triliun. Terhitung mulai Oktober 2017, The Fed mulai mengurangi besaran neracanya dengan tak lagi menginvestasikan porsi tertentu dari pendapatan yang diterima atas surat berharga tersebut.
"Komite siap untuk menyesuaikan setiap detil untuk menyelesaikan normalisasi neraca berdasarkan perkembangan ekonomi dan pasar keuangan," papar The Fed dalam pernyataan resminya.
Dengan berbagai risiko yang kini mengintai perekonomian AS dan dunia, memang normalisasi yang tak kelewat agresif menjadi opsi yang terbaik.
Selain itu, aksi beli di pasar keuangan regional juga dipicu oleh adanya optimisme yang mewarnai jalannya negosiasi dagang AS-China. Pada hari Rabu dan Kamis, AS dan China menggelar negosiasi dagang tingkat tinggi yang melibatkan tokoh-tokoh penting seperti Wakil Perdana Menteri China Liu He, Gubernur Bank Sentral China Yi Gang, dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer.
Ditengah negosiasi dagang yang krusial tersebut, China bergerak cepat guna meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang akan melarang transfer teknologi secara paksa dan intervensi pemerintah secara ilegal terhadap perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Negeri Panda.
Xinhua News melaporkan bahwa pemungutan suara terhadap RUU tersebut akan dilakukan pada bulan Maret, seperti dikutip dari Reuters. RUU tersebut pada awalnya diperkenalkan pada 23 Desember 2018 dan biasanya memakan waktu satu tahun atau lebih untuk bisa diloloskan.
Pemungutan suara atas RUU tersebut dipercepat setelah National People's Congress (NPC) Standing Committee menggelar rapat khusus selama 2 hari pada pekan ini untuk melakukan tinjauan yang kedua terhadap RUU tersebut.
Sebagai informasi, transfer teknologi secara paksa memang menjadi salah satu permasalahan inti dalam perang dagang kedua negara, disamping juga pencurian hak kekayaan intelektual.
Dengan itikad baik yang ditunjukkan China, pelaku pasar menaruh harapan bahwa negosiasi dagang kali ini akan membuahkan hasil yang signifikan.
BERLANJUT KE HALAMAN DUA
Beralih ke AS, Wall Street cenderung mengakhiri hari dengan positif. Walaupun indeks Dow Jones terpeleset 0,06%, indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing ditutup menguat 0,86% dan 1,37%.
Sepanjang Januari, indeks S&P 500 tercatat membukukan penguatan sebesar 7,87% MoM, menjadikannya kinerja bulan Januari terbaik sejak 1987.
Sama seperti dengan yang terjadi di Asia, hasil pertemuan The Fed menjadi motor penggerak aksi beli di bursa saham Negeri Paman Sam.
Belakangan ini, kekhawatiran mengenai datangnya resesi menghantui pergerakan pasar saham AS. Lantas, stance The Fed yang kini cenderung mengarah ke dovish membuat pelaku pasar pede bahwa AS masih memiliki modal yang kuat untuk menghadapi tantangan ekonomi kedepannya. Satu musuh besar bagi pasar saham yakni resesi menjadi sirna, setidaknya untuk saat ini.
Selain itu, kinclongnya rilis kinerja keuangan dari emiten yang melantai di AS ikut memotori penguatan Wall Street. Saham raksasa teknologi Facebook melesat 10,82% pasca perusahaan mengumumkan laba bersih per saham senilai US$ 2,38 untuk periode kuartal-IV 2018, mengalahkan konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv senilai US$ 2,19. Pendapatan Facebook diumumkan senilai US$ 16,91 miliar, juga mengalahkan konsensus yang senilai US$ 16,39 miliar.
Sementara itu, saham General Electric melesat hingga 11,65%. Investor mengapresiasi penjualan perusahaan yang berhasil mengalahkan estimasi. Untuk periode kuartal-IV 2018, perusahaan membukukan penjualan senilai US$ 33,28 miliar, di atas estimasi analis yang senilai US$ 32,6 miliar.
Terakhir, laju Wall Street ikut dimotori oleh kemungkinan diperpanjangnya periode gencatan senjata AS-China dalam hal dagang yang sejatinya akan berakhir pada tanggal 1 Maret mendatang.
Pasca AS dan China menggelar negosiasi dagang hari kedua, Presiden AS Donald Trump memberikan indikasi yang kuat bahwa periode gencatan senjata bisa diperpanjang.
Trump mengatakan bahwa China ingin mencapai kesepakatan untuk menghindari kenaikan bea masuk dari AS dan dirinya optimistis bahwa hal tersebut bisa dicapai, namun ada kemungkinan bahwa kesepakatan tersebut tak bisa dituliskan hingga periode gencatan senjata berakhir.
“Saya ingin mengakomodiasi China jika kita bisa mencapai kesepakatan,” papar Trump.
Sebelumnya melalui serangkaian cuitan, Trump mengatakan bahwa negosiasi dagang dengan China berlangsung dengan baik sembari mengungkapkan bahwa tidak akan ada kesepakatan final hingga dirinya bertemu dengan Presiden China Xi Jinping. Kabarnya, pertemuan ini akan digelar pada akhir Februari pasca Trump melakukan pertemuan dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong UN.
“…bertemu dengan pemimpin dan perwakilan mereka (China) hari ini di Oval Office. Tidak ada kesepakatan final yang akan dibuat sampai teman saya Presiden Xi, dan saya, bertemu dalam waktu dekat untuk membahas dan menyepakati beberapa masalah yang sudah lama ada dan lebih sulit. Transaksi yang sangat komprehensif…” tulis Trump melalui akun @realDonaldTrump.
BERLANJUT KE HALAMAN TIGA
Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang cenderung positif. Diharapkan, bursa saham Asia dapat mencatatkan pencapaian serupa atau bahkan lebih baik.
Selain itu, pelaku pasar perlu terus memantau kabar terkait dialog dagang AS-China. Walaupun disebut berlangsung baik oleh Trump, ternyata hasilnya tak mulus-mulus amat.
Executive Vice President and Head of International Affairs dari U.S. Chamber of Commerce Myron Brilliant mengatakan bahwa masih ada perbedaan-perbedaan yang signifikan di antara kedua belah pihak seiring dengan tidak adanya proposal baru dari China untuk memenuhi tuntutan AS yakni mengakhiri transfer teknologi secara paksa, subsidi pemerintah untuk sektor industri yang besar, serta undang-undang yang mendiskriminasi perusahaan asal AS terkait digital trade.
Nampaknya, langkah yang diambil pemerintah China sejauh ini dianggap belum cukup oleh AS.
Di sisi lain, Brilliant mengatakan bahwa memang ada perkembangan yang dicapai terkait perlindungan hak kekayaan intelektual.
Jika balas-berbalas pantun antar kedua negara terjadi, pasar keuangan Asia bisa dilanda aksi jual. Perlu diingat bahwa Trump sebelumnya sudah mengancam akan menaikkan bea masuk bagi produk impor asal China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% dari yang sebelumnya 10%, jika kedua negara gagal mencapai kesepakatan dagang hingga periode gencatan senjata berakhir.
Selain itu, pelaku pasar juga perlu mewaspadai penguatan nilai tukar dolar AS.Pada pukul 05:54 WIB, indeks dolar AS membukukan penguatan hingga 0,24%. Maklum jika dolar AS membukukan penguatan yang besar. Pasalnya, indeks dolar AS sudah anjlok 0,5% menyusul rilis hasil pertemuan The Fed.
Selain itu, rilis data ekonomi AS yang mengecewakan membuat investor gencar memburu instrumen safe haven seperti dolar AS. Kemarin, klaim tunjangan pengangguran untuk minggu yang berakhir pada 26 Januari diumumkan sebanyak 253.000 jiwa, jauh di atas konsensus Refinitiv yang sebanyak 215.000 jiwa saja.
Kemudian, Chicago PMI periode Januari diumumkan di level 56,7, juga di bawah konsensus yang sebesar 61,5.
BERLANJUT KE HALAMAN EMPAT
Tak hanya di AS, lesunya laju ekonomi juga didapati di Benua Biru. Kemarin, pembacaan awal atas pertumbuhan ekonomi Zona Euro periode kuartal-IV 2018 diumumkan di level 0,2% QoQ, sama dengan capaian di kuartal tiga dan merupakan laju pertumbuhan terendah sejak kuartal-II 2014.
Masih pada hari yang sama, perekonomian Italia diumumkan tumbuh negatif pada kuartal-IV 2018 yakni sebesar 0,2% QoQ (pembacaan awal). Lantas, perekonomian Italia sudah tumbuh negatif selama dua kuartal berturut-turut (-0,1% QoQ pada kuartal-III 2018) sehingga Negeri Pizza resmi masuk ke jurang resesi.
Tekanan yang begitu besar terhadap perekonomian dunia berpotensi membuat investor memasang mode defensif dengan melepas instrumen berisiko di pasar keuangan negara berkembang. Ini bukan kabar yang baik bagi IHSG dan rupiah.
Dari dalam negeri, investor perlu mencermati rilis angka inflasi periode Januari pada pukul 11:00 WIB nanti. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan laju inflasi month-on-month di level 0,5%, sementara inflasi secara tahunan ada di level 3,01%.
Jika inflasi bisa menyamai atau bahkan mengalahkan ekspektasi para ekonom, bisa timbul persepsi bahwa konsumsi masyarakat relatif kuat. Namun sebaliknya, jika inflasi berada di bawah ekspektasi apalagi dengan marjin yang lebar, bisa timbul persepsi bahwa konsumsi masyarakat relatif lemah.
Perlu diingat bahwa sektor barang konsumsi sudah melejit sebesar 3,56% sepanjang tahun ini, sehingga ruang bagi investor untuk melakukan aksi ambil untung menjadi terbuka lebar. Rilis angka inflasi nanti bisa dijadikan justifikasi oleh investor untuk melakukan aksi ambil untung.
Memasuki bulan penuh cinta yakni Februari, IHSG justru nampak kekurangan kasih sayang. Sentimen eksternal dan domestik berpotensi menyeret IHSG ke zona merah.
BERLANJUT KE HALAMAN LIMA
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis angka final Manager’s Purchasing Index (PMI) Manufaktur AS periode Januari versi Markit (21:45 WIB)
- Rilis data Tingkat Pengangguran AS periode Januari (20:30 WIB)
- Rilis data NonFarm Payroll AS periode Januari (20:30 WIB)
- Rilis data Upah Rata-Rata AS periode Januari (20:30 WIB)
- Rilis angka final PMI Manufaktur China periode Januari (08:45 WIB)
- Rilis data Tingkat Pengangguran Jepang periode Desember 2018 (06:30 WIB)
- Rilis angka final PMI Manufaktur Jepang periode Desember versi Nikkei (07:30 WIB)
- Rilis angka Indeks Harga Konsumen (CPI) Korea Selatan periode Desember (06:00 WIB)
- Rilis data Ekspor-Impor Korea Selatan periode Januari (07:00 WIB)
- Rilis angka PMI Manufaktur Korea Selatan periode Januari (07:30 WIB)
- Rilis angka Inflasi Indonesia periode Januari (11:00 WIB)
Investor juga perlu mencermati aksi perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Dibuka menguat 0,42%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memperlebar penguatannya menjadi 1,06% ke level 6.532,97 per akhir sesi 2. Lantas, IHSG ditutup di atas level psikologis 6.500 untuk pertama kalinya sejak 12 Maret 2018.
Kinerja IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 1,06%, indeks Shanghai naik 0,35%, Hang Seng naik 1,08%, dan indeks Straits Times naik 0,5%.
Sementara itu, rupiah menguat 1,1% di pasar spot ke level Rp 13.970/dolar AS.
Hasil pertemuan The Federal Reserve selaku Bank Sentral AS menjadi bensin utama bagi penguatan IHSG dan nilai tukar rupiah. Mempertahankan suku bunga acuan di level 2,25-2,5%, The Fed lagi-lagi mengeluarkan pernyataan bernada kalem alias dovish. The Fed bakal lebih bersabar dalam mengeksekusi kenaikan suku bunga acuan.
"Dalam situasi ekonomi global dan pasar keuangan saat ini, serta tekanan inflasi yang minim, Komite akan bersabar dalam menentukan kenaikan suku bunga acuan berikutnya," tulis pernyataan The Fed.
Tak hanya lebih kalem dalam masalah normalisasi suku bunga acuan, The Fed juga secara tegas menyatakan bahwa pihaknya siap untuk mengubah skema perampingan neracanya. Sebagai informasi, pasca-krisis keuangan global tahun 2008 silam, The Fed rajin membeli surat utang pemerintah dan mortgage-backed securities untuk menstimulasi perekonomian Negeri Paman Sam.
Pada puncaknya, neraca dari bank sentral sempat menyentuh angka US$ 4,5 triliun. Terhitung mulai Oktober 2017, The Fed mulai mengurangi besaran neracanya dengan tak lagi menginvestasikan porsi tertentu dari pendapatan yang diterima atas surat berharga tersebut.
"Komite siap untuk menyesuaikan setiap detil untuk menyelesaikan normalisasi neraca berdasarkan perkembangan ekonomi dan pasar keuangan," papar The Fed dalam pernyataan resminya.
Dengan berbagai risiko yang kini mengintai perekonomian AS dan dunia, memang normalisasi yang tak kelewat agresif menjadi opsi yang terbaik.
Selain itu, aksi beli di pasar keuangan regional juga dipicu oleh adanya optimisme yang mewarnai jalannya negosiasi dagang AS-China. Pada hari Rabu dan Kamis, AS dan China menggelar negosiasi dagang tingkat tinggi yang melibatkan tokoh-tokoh penting seperti Wakil Perdana Menteri China Liu He, Gubernur Bank Sentral China Yi Gang, dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer.
Ditengah negosiasi dagang yang krusial tersebut, China bergerak cepat guna meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang akan melarang transfer teknologi secara paksa dan intervensi pemerintah secara ilegal terhadap perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Negeri Panda.
Xinhua News melaporkan bahwa pemungutan suara terhadap RUU tersebut akan dilakukan pada bulan Maret, seperti dikutip dari Reuters. RUU tersebut pada awalnya diperkenalkan pada 23 Desember 2018 dan biasanya memakan waktu satu tahun atau lebih untuk bisa diloloskan.
Pemungutan suara atas RUU tersebut dipercepat setelah National People's Congress (NPC) Standing Committee menggelar rapat khusus selama 2 hari pada pekan ini untuk melakukan tinjauan yang kedua terhadap RUU tersebut.
Sebagai informasi, transfer teknologi secara paksa memang menjadi salah satu permasalahan inti dalam perang dagang kedua negara, disamping juga pencurian hak kekayaan intelektual.
Dengan itikad baik yang ditunjukkan China, pelaku pasar menaruh harapan bahwa negosiasi dagang kali ini akan membuahkan hasil yang signifikan.
BERLANJUT KE HALAMAN DUA
Beralih ke AS, Wall Street cenderung mengakhiri hari dengan positif. Walaupun indeks Dow Jones terpeleset 0,06%, indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing ditutup menguat 0,86% dan 1,37%.
Sepanjang Januari, indeks S&P 500 tercatat membukukan penguatan sebesar 7,87% MoM, menjadikannya kinerja bulan Januari terbaik sejak 1987.
Sama seperti dengan yang terjadi di Asia, hasil pertemuan The Fed menjadi motor penggerak aksi beli di bursa saham Negeri Paman Sam.
Belakangan ini, kekhawatiran mengenai datangnya resesi menghantui pergerakan pasar saham AS. Lantas, stance The Fed yang kini cenderung mengarah ke dovish membuat pelaku pasar pede bahwa AS masih memiliki modal yang kuat untuk menghadapi tantangan ekonomi kedepannya. Satu musuh besar bagi pasar saham yakni resesi menjadi sirna, setidaknya untuk saat ini.
Selain itu, kinclongnya rilis kinerja keuangan dari emiten yang melantai di AS ikut memotori penguatan Wall Street. Saham raksasa teknologi Facebook melesat 10,82% pasca perusahaan mengumumkan laba bersih per saham senilai US$ 2,38 untuk periode kuartal-IV 2018, mengalahkan konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv senilai US$ 2,19. Pendapatan Facebook diumumkan senilai US$ 16,91 miliar, juga mengalahkan konsensus yang senilai US$ 16,39 miliar.
Sementara itu, saham General Electric melesat hingga 11,65%. Investor mengapresiasi penjualan perusahaan yang berhasil mengalahkan estimasi. Untuk periode kuartal-IV 2018, perusahaan membukukan penjualan senilai US$ 33,28 miliar, di atas estimasi analis yang senilai US$ 32,6 miliar.
Terakhir, laju Wall Street ikut dimotori oleh kemungkinan diperpanjangnya periode gencatan senjata AS-China dalam hal dagang yang sejatinya akan berakhir pada tanggal 1 Maret mendatang.
Pasca AS dan China menggelar negosiasi dagang hari kedua, Presiden AS Donald Trump memberikan indikasi yang kuat bahwa periode gencatan senjata bisa diperpanjang.
Trump mengatakan bahwa China ingin mencapai kesepakatan untuk menghindari kenaikan bea masuk dari AS dan dirinya optimistis bahwa hal tersebut bisa dicapai, namun ada kemungkinan bahwa kesepakatan tersebut tak bisa dituliskan hingga periode gencatan senjata berakhir.
“Saya ingin mengakomodiasi China jika kita bisa mencapai kesepakatan,” papar Trump.
Sebelumnya melalui serangkaian cuitan, Trump mengatakan bahwa negosiasi dagang dengan China berlangsung dengan baik sembari mengungkapkan bahwa tidak akan ada kesepakatan final hingga dirinya bertemu dengan Presiden China Xi Jinping. Kabarnya, pertemuan ini akan digelar pada akhir Februari pasca Trump melakukan pertemuan dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong UN.
“…bertemu dengan pemimpin dan perwakilan mereka (China) hari ini di Oval Office. Tidak ada kesepakatan final yang akan dibuat sampai teman saya Presiden Xi, dan saya, bertemu dalam waktu dekat untuk membahas dan menyepakati beberapa masalah yang sudah lama ada dan lebih sulit. Transaksi yang sangat komprehensif…” tulis Trump melalui akun @realDonaldTrump.
BERLANJUT KE HALAMAN TIGA
Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang cenderung positif. Diharapkan, bursa saham Asia dapat mencatatkan pencapaian serupa atau bahkan lebih baik.
Selain itu, pelaku pasar perlu terus memantau kabar terkait dialog dagang AS-China. Walaupun disebut berlangsung baik oleh Trump, ternyata hasilnya tak mulus-mulus amat.
Executive Vice President and Head of International Affairs dari U.S. Chamber of Commerce Myron Brilliant mengatakan bahwa masih ada perbedaan-perbedaan yang signifikan di antara kedua belah pihak seiring dengan tidak adanya proposal baru dari China untuk memenuhi tuntutan AS yakni mengakhiri transfer teknologi secara paksa, subsidi pemerintah untuk sektor industri yang besar, serta undang-undang yang mendiskriminasi perusahaan asal AS terkait digital trade.
Nampaknya, langkah yang diambil pemerintah China sejauh ini dianggap belum cukup oleh AS.
Di sisi lain, Brilliant mengatakan bahwa memang ada perkembangan yang dicapai terkait perlindungan hak kekayaan intelektual.
Jika balas-berbalas pantun antar kedua negara terjadi, pasar keuangan Asia bisa dilanda aksi jual. Perlu diingat bahwa Trump sebelumnya sudah mengancam akan menaikkan bea masuk bagi produk impor asal China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% dari yang sebelumnya 10%, jika kedua negara gagal mencapai kesepakatan dagang hingga periode gencatan senjata berakhir.
Selain itu, pelaku pasar juga perlu mewaspadai penguatan nilai tukar dolar AS.Pada pukul 05:54 WIB, indeks dolar AS membukukan penguatan hingga 0,24%. Maklum jika dolar AS membukukan penguatan yang besar. Pasalnya, indeks dolar AS sudah anjlok 0,5% menyusul rilis hasil pertemuan The Fed.
Selain itu, rilis data ekonomi AS yang mengecewakan membuat investor gencar memburu instrumen safe haven seperti dolar AS. Kemarin, klaim tunjangan pengangguran untuk minggu yang berakhir pada 26 Januari diumumkan sebanyak 253.000 jiwa, jauh di atas konsensus Refinitiv yang sebanyak 215.000 jiwa saja.
Kemudian, Chicago PMI periode Januari diumumkan di level 56,7, juga di bawah konsensus yang sebesar 61,5.
BERLANJUT KE HALAMAN EMPAT
Tak hanya di AS, lesunya laju ekonomi juga didapati di Benua Biru. Kemarin, pembacaan awal atas pertumbuhan ekonomi Zona Euro periode kuartal-IV 2018 diumumkan di level 0,2% QoQ, sama dengan capaian di kuartal tiga dan merupakan laju pertumbuhan terendah sejak kuartal-II 2014.
Masih pada hari yang sama, perekonomian Italia diumumkan tumbuh negatif pada kuartal-IV 2018 yakni sebesar 0,2% QoQ (pembacaan awal). Lantas, perekonomian Italia sudah tumbuh negatif selama dua kuartal berturut-turut (-0,1% QoQ pada kuartal-III 2018) sehingga Negeri Pizza resmi masuk ke jurang resesi.
Tekanan yang begitu besar terhadap perekonomian dunia berpotensi membuat investor memasang mode defensif dengan melepas instrumen berisiko di pasar keuangan negara berkembang. Ini bukan kabar yang baik bagi IHSG dan rupiah.
Dari dalam negeri, investor perlu mencermati rilis angka inflasi periode Januari pada pukul 11:00 WIB nanti. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan laju inflasi month-on-month di level 0,5%, sementara inflasi secara tahunan ada di level 3,01%.
Jika inflasi bisa menyamai atau bahkan mengalahkan ekspektasi para ekonom, bisa timbul persepsi bahwa konsumsi masyarakat relatif kuat. Namun sebaliknya, jika inflasi berada di bawah ekspektasi apalagi dengan marjin yang lebar, bisa timbul persepsi bahwa konsumsi masyarakat relatif lemah.
Perlu diingat bahwa sektor barang konsumsi sudah melejit sebesar 3,56% sepanjang tahun ini, sehingga ruang bagi investor untuk melakukan aksi ambil untung menjadi terbuka lebar. Rilis angka inflasi nanti bisa dijadikan justifikasi oleh investor untuk melakukan aksi ambil untung.
Memasuki bulan penuh cinta yakni Februari, IHSG justru nampak kekurangan kasih sayang. Sentimen eksternal dan domestik berpotensi menyeret IHSG ke zona merah.
BERLANJUT KE HALAMAN LIMA
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis angka final Manager’s Purchasing Index (PMI) Manufaktur AS periode Januari versi Markit (21:45 WIB)
- Rilis data Tingkat Pengangguran AS periode Januari (20:30 WIB)
- Rilis data NonFarm Payroll AS periode Januari (20:30 WIB)
- Rilis data Upah Rata-Rata AS periode Januari (20:30 WIB)
- Rilis angka final PMI Manufaktur China periode Januari (08:45 WIB)
- Rilis data Tingkat Pengangguran Jepang periode Desember 2018 (06:30 WIB)
- Rilis angka final PMI Manufaktur Jepang periode Desember versi Nikkei (07:30 WIB)
- Rilis angka Indeks Harga Konsumen (CPI) Korea Selatan periode Desember (06:00 WIB)
- Rilis data Ekspor-Impor Korea Selatan periode Januari (07:00 WIB)
- Rilis angka PMI Manufaktur Korea Selatan periode Januari (07:30 WIB)
- Rilis angka Inflasi Indonesia periode Januari (11:00 WIB)
Investor juga perlu mencermati aksi perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Dharma Samudera Fishing Industries Tbk (DSFI) | RUPSLB | 09:00 WIB |
PT Waskita Karya Tbk (WSKT) | RUPSLB | 09:00 WIB |
PT Adhi Karya Tbk (ADHI) | RUPSLB | 13:30 WIB |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular