Newsletter

Pantau Kabar dari Inggris dan Pengumuman Bunga Acuan BI

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
17 January 2019 07:18
Pantau Kabar dari Inggris dan Pengumuman Bunga Acuan BI
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat, sementara rupiah melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). 

Kemarin, IHSG berhasil mengakhiri hari dengan penguatan 0,19%. Gerak IHSG begitu dinamis, masuk zona merah dan hijau dengan cepat. 


Namun rupiah melemah 0,21% terhadap dolar AS. Berbeda dengan IHSG, rupiah melemah sepanjang hari, tidak pernah menyentuh zona hijau. 


Sentimen utama yang mewarnai pasar kemarin adalah hasil voting proposal Brexit di parlemen Inggris. Proposal Brexit yang digawangi pemerintahan Perdana Menteri Theresa May kalah telah dengan perolehan suara 432 berbanding 202. 


Tidak cuma membuat nasib Brexit samar-samar, hasil ini juga menyebabkan posisi May sebagai Perdana Menteri tidak aman. May harus menghadapi mosi tidak percaya yang digulirkan kubu oposisi Partai Buruh. 

Akan tetapi, angin segar dari China berhasil menjadi peredam ketidakpastian dari Negeri Ratu Elizabeth. Investor masih berbunga-bunga dengan komitmen pemerintah dan Bank Sentral China (PBoC) untuk menggulirkan stimulus demi menjaga laju perekonomian. 

Selain itu, data-data ekonomi di China juga memberi harapan. Harga properti residensial China pada Desember 2018 naik 9,7% year-on-year (YoY), lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yang mencatat pertumbuhan 9,3% YoY. 

Masih dari China, perbankan Negeri Tirai Bambu tetap getol menyalurkan kredit. Penyaluran kredit baru pada Desember 2018 tercatat CNY 1,08 triliun, lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu CNY 800 miliar. 

Sepanjang 2018, penyaluran kredit baru di China mencapai CNY 16,17 triliun. Naik hampir 20% dibandingkan 2017. 

Data ini memberi harapan bahwa ekonomi China tidak akan terlalu melambat. Laju pertumbuhan ekonomi 6-6,5% yang menjadi target pemerintah untuk 2019 masih bisa tercapai, perlambatan yang tidak terlalu tajam dibandingkan 2018 yang diperkirakan 6,6%. 

China adalah perekonomian terbesar di Asia. Jika ekonomi China tetap kokoh, maka negara-negara lain juga akan tangguh termasuk Indonesia. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama mencatatkan penguatan. Dow Jones Industrial Average (DJIA) menguat 0,59%, S&P 500 naik 0,22%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,15%. 

Laporan keuangan emiten perbankan yang kinclong menjadi dorongan bagi Wall Street. Harga saham Goldman Sachs meroket 9,54% setelah melaporkan laba bersih US$ 2,3 miliar pada kuartal IV-2018. Jauh membaik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang rugi bersih US$ 2,1 miliar. 

Laba per saham (EPS) Goldman Sachs pada kuartal IV-2018 adalah US$ 6,04. Jauh di tas ekspektasi pasar yaitu US$ 4,45. 

Saham Bank of America juga melesat 7,16% akibat rilis laporan keuangan kuartal IV-2018. EPS Bank of America berada di US$ 70 sen, di atas konsensus pasar yang dihimpun Refinitiv yaitu US$ 63 sen. 

"Secara umum, perbankan membutuhkan kondisi ekonomi yang kondusif dan suku bunga yang memadai. Mungkin kita sudah mendapatkannya dan melihat laporan keuangan perbankan yang membaik," kata Kevin Caron, Senior Portfolio Manager di Washington Crossing Advisors yang berbasis di New Jersey, mengutip Reuters. 

Namun, penguatan Wall Street tergerus kala tersiar kabar bahwa penegak hukum AS akan melakukan investigasi terhadap Huawei dengan tuduhan pencurian teknologi. Bahkan investigasi akan segera naik status menjadi tuntutan dalam waktu dekat, sebut seorang sumber seperti dikutip Washington Post. 

Pelaku pasar pun cemas perkembangan ini bisa merusak hubungan AS-China yang sedang mesra. Ada kekhawatiran damai dagang yang sudah begitu dekat kembali menjauh karena insiden ini. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan dari Wall Street yang positif. Diharapkan hijaunya Wall Street bisa menjadi pendorong semangat bursa saham Asia untuk mencapai hal yang sama. 

Kedua, investor perlu mencermati perkembangan di Inggris. PM May selamat dan berhasil lolos dari ancaman digulingkan dari pemerintahan setelah memenangkan voting mosi tidak percaya di parlemen dengan skor 325 berbanding 306. Kemenangan tipis, tetapi cukup untuk mengamankan posisi May. 

Namun masalah di Inggris belum selesai, karena waktu semakin dekat menuju 29 Maret 2019, tanggal resmi Inggris keluar dari Uni Eropa. Inggris bisa saja keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apa-apa (No Deal Brexit) karena proposal yang diusung pemerintah tidak disetujui parlemen. 

"Kita harus bekerja sama. Saya mengajak seluruh anggota parlemen dari seluruh partai untuk bersama menemukan jalan keluar. Ini saatnya mengesampingkan kepentingan pribadi dan golongan," tegas May, mengutip Reuters. 

Pelaku pasar perlu terus mencermati dinamika dari Negeri John Bull. Sebab jika No Deal Brexit benar-benar terjadi, maka bisa menjadi bencana bagi Inggris.  

Inggris akan kesulitan berdagang dengan Uni Eropa karena harus mematuhi aturan dasar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yaitu menggunakan skema bea masuk. Ini tentu akan memberatkan sehingga bisa mengurangi volume perdagangan Inggris dengan para tetangganya di Eropa Daratan. 

Padahal Uni Eropa adalah mitra dagang utama Inggris. Jika Inggris kesulitan berdagang dengan mitra utamanya, maka kinerja ekspor mereka akan turun drastis dan membebani pertumbuhan ekonomi.  

Ketidakpastian di Inggris sedikit banyak akan mempengaruhi psikologis pasar. Dikhawatirkan runyamnya Brexit akan mempengaruhi kinerja ekonomi Negeri Ratu Elizabeth, perekonomian nomor 5 dunia. Jika Inggris sampai terjebak dalam krisis gara-gara Brexit, dampaknya pasti bakal meluas. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen ketiga adalah perkembangan nilai tukar dolar AS yang berpotensi menguat. Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,02%. 

Dolar AS mendapat keperkasaannya karena euro yang melemah. Penyebabnya adalah sentimen negatif yang melanda Benua Biru. Pertumbuhan ekonomi Jerman pada 2018 tercatat 1,5%, laju paling lambat dalam 5 tahun terakhir. Dibandingkan dengan 2017 yang tumbuh 2,2%, terjadi perlambatan yang lumayan signifikan. 

Selain itu, Presiden Bank Sentral Uni Eropa (ECB) Mario Draghi juga mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan. Menurut Draghi, Eropa ternyata masih membutuhkan stimulus moneter karena laju pertumbuhan ekonomi yang lesu. 

"Stimulus moneter yang signifikan masih dibutuhkan untuk mendukung kenaikan harga di tingkat domestik dan inflasi dalam jangka menengah," ungkap Draghi di depan Parlemen Uni Eropa, mengutip Reuters. 

Pernyataan Draghi bisa membuat kenaikan suku bunga acuan tertunda. ECB berencana mulai menaikkan suku bunga acuan pada pertengahan 2019. Namun jika ternyata ekonomi Eropa masih membutuhkan dorongan dari otoritas moneter, maka rencana ini bisa pupus. 

Artinya, bisa jadi belum ada kenaikan suku bunga acuan di Eropa tahun ini. Berinvestasi di  euro menjadi kurang menarik sehingga mata uang ini mengalami tekanan jual.  

Dolar AS pun berhasil bangkit. Kebangkitan dolar AS patut diwaspadai karena berpotensi menjegal rupiah seperti yang terjadi kemarin. 

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah pengumuman suku bunga acuan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Bank Indonesia (BI) masih menahan suku bunga acuan di angka 6%.  


Hal ini semakin jelas kala Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah mendekati titik puncaknya. Ini bisa diartikan laju kenaikan suku bunga acuan bisa diperlambat. 

"Untuk memperkuat stabilitas, mengendalikan inflasi, memang stance moneter yang preemtif dan ahead of the curve masih akan kami pertahankan. Walaupun tingkat suku bunga kami pada saat ini sudah hampir mencapai puncaknya," ungkap Perry, kemarin. 


Rupiah yang relatif stabil cenderung menguat sejak awal 2019 bisa menjadi dasar bagi BI untuk menahan suku bunga acuan. Rupiah belum membutuhkan suntikan negara dari kenaikan suku bunga acuan, karena arus modal masih deras masuk ke Indonesia. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Pengumuman BI 7 Day Reverse Repo Rate (14:00 WIB).
  • Rilis data klaim pengangguran Amerika Serikat pada pekan yang berakhir 12 Januari 2019 (20:30 WIB).
  • Rilis data indeks harga konsumen Zona Euro periode Desember 2018 (17:00 WIB).  

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5,17%
Inflasi (Desember 2018 YoY)3,13%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2018)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q III-2018)-3,37% PDB
Neraca pembayaran (Q III-2018)-US$ 4,39 miliar
Cadangan devisa (Desember 2018)US$ 120,7 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.   


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular