
Newsletter
Menanti Kabar Baik dari Beijing
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 January 2019 05:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu, pasar keuangan Indonesia menunjukkan performa yang memuaskan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sama-sama menguat signifikan.
Sepanjang minggu kemarin, IHSG menguat 1,29% secara point-to-point. Di level Asia, IHSG menjadi yang terbaik kedua, hanya kalah dari Filipina.
Sementara rupiah menguat tajam 1,99% di hadapan greenback. Bahkan rupiah menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning, mengalahkan yen Jepang yang saat ini menjadi idola baru.
Secara umum, pekan pertama 2019 sebenarnya bukan periode yang indah bagi pasar keuangan Asia. Tingginya risiko perekonomian global membuat investor cenderung enggan bermain api di instrumen berisiko seperti saham.
Sentimen negatif datang dari perlambatan ekonomi yang semakin nyata. Khusus di Asia, data ekonomi yang melempem bertebaran di mana-mana.
Angka PMI China versi Caixin pada Desember 2018 tercatat 49,7, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,2. Angka di bawah 50 berarti pelaku usaha tengah pesimistis.
Kemudian dari Korea Selatan, PMI versi Nikkei/Markit pada periode yang sama tercatat 49,8. Turun dibandingkan November 2018 yang sebesar 49,9. Lagi-lagi ada aura pesimisme di kalangan dunia usaha Negeri Ginseng.
Sementara angka PMI Taiwan versi Nikkei pada Desember berada di 47,7, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 48,4. Angka ini menjadi yang terendah sejak September 2015.
Lalu di Singapura, pembacaan awal untuk pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2018 adalah 2,2% secara tahunan (year-on-year/YoY). Jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 3,2% YoY.
Kemudian, penjualan ritel di Hong Kong pada November 2018 hanya tumbuh 1,4% YoY. Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatat pertumbuhan 5,9%. Pertumbuhan November juga menjadi yang terlemah sejak Juni 2017.
Data-data tersebut membuat investor memilih untuk bermain aman. Saat ini, 'bunker' perlindungan bagi investor tidak lagi berada di dolar AS. Pelaku pasar lebih memilih beralih ke yen Jepang, dibuktikan dengan penguatan mata uang Negeri Sakura hingga 1,57% di sepanjang pekan lalu.
Namun, ada sentimen positif besar yang mampu membuat kinerja pasar keuangan Asia (termasuk Indonesia) membaik. Mengutip Reuters, AS dan China dikabarkan akan melangsungkan pertemuan tingkat wakil menteri di Beijing pada 7-8 Januari.
Kedua negara akan berdialog mengenai isu-isu perdagangan, menindaklanjuti hasil pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Argentina awal bulan lalu. Di sela-sela KTT G20 tersebut, Trump dan Xi menyepakati 'gencatan senjata' selama 90 hari.
"Delegasi AS yang dipimpin oleh Wakil Perwakilan Dagang Jeffrey Gerrish akan mengunjungi China untuk melakukan diskusi yang positif dan konstruktif dengan pemerintah China," sebut keterangan tertulis Kementerian Perdagangan China.
Selepas pertemuan Trump-Xi di Buenos Aires, hubungan Washington-Beijing memang semakin mesra. Pertemuan di Beijing pekan depan diharapkan menjadi pembuka jalan menuju damai dagang, sesuatu yang saat diimpikan oleh pelaku pasar. Akibatnya sikap risk aversion pun sirna, dan investor berbondong-bondong masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang Asia.
Sementara di Indonesia, sepertinya rilis data inflasi juga memberikan sentimen positif. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan laju inflasi 2018 sebesar 3,13% YoY. Melambat signifikan dibandingkan 2017 yaitu 3,61% dan di bawah asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang sebesar 3,5%.
Laju inflasi yang lebih lambat ini mendapatkan apresiasi dari investor. Indonesia tidak seperti Jepang yang mendambakan inflasi. Sebagai negara berkembang, inflasi yang rendah dan terkendali menjadi hal yang penting.
Wall Street mengalami pekan dengan berat, karena sempat terjadi aksi jual massal (selloff). Penyebabnya adalah kekhawatiran investor terhadap risiko perlambatan ekonomi global yang semakin terasa. Data-data ekonomi Asia seakan memberi konfirmasi akan hal tersebut.
Akan tetapi, ternyata selloff malah membuat harga aset di Wall Street menjadi murah bin terjangkau. Akibatnya, aksi borong terjadi dan membuat Wall Street terangkat.
Kemudian ada sentimen damai dagang yang juga membuat investor kembali bernafsu memburu aset-aset berisiko seperti saham. Lesatan Wall Street semakin tidak tertahankan dengan komentar Jerome 'Jay' Powell akhir pekan lalu.
"Kami akan sabar memantau perkembangan perekonomian. Kami selalu siap untuk mengubah stance (posisi) kebijakan dan mengubahnya secara signifikan," ungkap Powell di depan forum American Economic Association, dikutip dari Reuters.
Pernyataan bernada dovish ini memunculkan pertanyaan. Apakah The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuan dua kali tahun ini? Apakah ada peluang The Fed menahan suku bunga acuan, atau bahkan menurunkannya?
Saham adalah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga rendah. Munculnya peluang The Fed untuk menahan (atau bahkan menurunkan) suku bunga acuan membuat saham kembali menjadi primadona di pasar.
Selain itu, investor juga memberi apresiasi terhadap rilis data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam. Kementerian Ketenagakerjaan AS mencatat, penciptaan lapangan kerja baru pada Desember 2018 adalah 312.000. Ini merupakan kenaikan tertinggi sejak Februari 2018.
Untuk keseluruhan 2018, perekonomian AS menciptakan 2,6 juta lapangan kerja. Naik dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 2,2 juta.
Data ini sedikit banyak membuat investor lega. Sebab walau ekonomi AS mungkin akan melambat, tetapi setidaknya tidak terjadi hard landing. Perlambatan ekonomi bisa berjalan natural dan mulus tanpa menimbulkan guncangan yang berarti.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kabar gembira dari Wall Street, di mana terjadi penguatan signifikan pada akhir pekan dan sepanjang minggu lalu. Laju Wall Street bisa menjadi mendorong semangat bursa saham Asia untuk mencetak prestasi serupa.
Sentimen kedua adalah pertemuan tingkat wakil menteri AS-China di Beijing yang dimulai hari ini. Pertemuan tersebut sudah sangat dinantikan oleh pelaku pasar sejak akhir pekan lalu, dan menjadi angin surga yang menyejukkan pasar keuangan dunia.
Oleh karena itu, investor akan memantau perkembangan dalam pertemuan ini. Apabila ada sinyal-sinyal positif yang mengarah ke damai dagang AS-China, maka pasar keuangan Asia akan kembali melesat. Kabar baik dari Beijing sepertinya akan menjadi hal yang sangat dinantikan pelaku pasar hari ini.
Sentimen ketiga adalah perkembangan nilai tukar dolar AS yang kemungkinan melemah hari ini. Pernyataan Powell yang bersedia mengubah stance kebijakan moneter menjadi pukulan telak bagi mata uang Negeri Paman Sam.
Tahun lalu, dolar AS menjadi raja mata uang dunia karena Powell dan sejawat agresif menaikkan Federal Funds Rate, sampai empat kali. Namun tahun ini greenback berpotensi kehilangan mahkotanya, karena The Fed kemungkinan tidak terlalu agresif.
Situasi ini bisa dimanfaatkan oleh rupiah cs di Asia untuk menyalip. Ditambah aura damai dagang AS-China, sepertinya mata uang Asia akan kembali mampu berbicara banyak di hadapan dolar AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen keempat, investor perlu mewaspadai kenaikan harga minyak. Sepanjang pekan lalu, harga minyak jenis brent melonjak 9,31% secara point-to-point. Sedangkan harga minyak light sweet terangkat 5,8%.
Harga minyak terbantu oleh sentimen penurunan pasokan di pasar global. Berdasarkan survei Reuters, produksi minyak di 15 negara anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) pada Desember 2018 berada di 32,68 juta barel/hari. Turun 460.000 barel/hari dibandingkan November, dan menjadi penurunan bulanan tertinggi sejak Januari 2017.
Investor juga nampaknya merespon positif hubungan AS-China yang semakin mesra. Apabila dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat perdagangan, maka rantai pasok global akan kembali semarak.
Aktivitas ekonomi dan perdagangan pulih, sehingga permintaan energi akan ikut meningkat. Ini tentu memunculkan prospek kenaikan harga minyak.
Apabila kenaikan harga minyak berlanjut, maka bisa menjadi sentimen negatif buat rupiah. Kenaikan harga si emas hitam akan menambah beban impor sehingga memperparah defisit transaksi berjalan (current account). Akibatnya, fundamental penyokong rupiah menjadi rapuh dan mata uang Tanah Air rentan terdepresiasi.
Sentimen kelima adalah masih berlangsungnya penutupan sebagian (partial shutdown) pemerintahan AS. Hingga pukul 05:05 WIB, shutdown sudah berlangsung selama 15 hari 17 jam 5 menit.
Presiden Trump masih ogah mengesahkan rencana anggaran 2019 karena ngotot ingin ada proyek pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko. Partai Demokrat yang kini menjadi mayoritas di House of Representatives menolak ide ini karena dianggap amoral.
"Tembok itu bisa saja terbuat dari baja, bukan beton. Apa saja boleh kalau itu membantu rakyat," ujar Trump kepada wartawan sebelum bertolak ke Camp David, mengutip Reuters.
Partai Demokrat masih terus mencoba mengajukan anggaran sementara agar pemerintahan bisa kembali dibuka. Anggaran bisa tetap lolos meski Trump tidak membubuhkan tanda tangannya, tetapi dengan syarat harus disetujui oleh 2/3 anggota Kongres AS (Senat dan House).
Beberapa legistator dari Partai Republik pengusung Trump sudah menunjukkan tanda-tanda kegerahan. Mereka ingin pemerintahan segera dibuka karena menyangkut hajat hidup jutaan warga Negeri Paman Sam.
"Semua pihak harus bersedia mendengar dan berkompromi. Namun memang perdebatan soal baja vs beton adalah sesuatu yang aneh," kata Susan Collins, Senator Maine dari Partai Republik, mengutip NBC.
Oleh karena itu, Partai Demokrat memperoleh angin karena sepertinya beberapa anggota Partai Republik siap membelot demi mengakhiri shutdown. Jika suara 2/3 anggota Kongres berhasil didapatkan, maka veto Trump bisa dipatahkan.
"Kita seharusnya membuka pemerintahan terlebih dulu, baru bernegosiasi. Bukan sebaliknya," tegas Sterny Hoyer, Pimpinan Mayoritas House, mengutip Reuters.
Gaduh politik anggaran di Washington ini berpotensi mengganggu konsentrasi pelaku pasar. Kalau sampai berlarut-larut, maka investor akan sulit berfokus ke sentimen positif sehingga pasar sulit menerobos ke zona hijau.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Sepanjang minggu kemarin, IHSG menguat 1,29% secara point-to-point. Di level Asia, IHSG menjadi yang terbaik kedua, hanya kalah dari Filipina.
Sementara rupiah menguat tajam 1,99% di hadapan greenback. Bahkan rupiah menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning, mengalahkan yen Jepang yang saat ini menjadi idola baru.
Secara umum, pekan pertama 2019 sebenarnya bukan periode yang indah bagi pasar keuangan Asia. Tingginya risiko perekonomian global membuat investor cenderung enggan bermain api di instrumen berisiko seperti saham.
Sentimen negatif datang dari perlambatan ekonomi yang semakin nyata. Khusus di Asia, data ekonomi yang melempem bertebaran di mana-mana.
Angka PMI China versi Caixin pada Desember 2018 tercatat 49,7, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,2. Angka di bawah 50 berarti pelaku usaha tengah pesimistis.
Kemudian dari Korea Selatan, PMI versi Nikkei/Markit pada periode yang sama tercatat 49,8. Turun dibandingkan November 2018 yang sebesar 49,9. Lagi-lagi ada aura pesimisme di kalangan dunia usaha Negeri Ginseng.
Sementara angka PMI Taiwan versi Nikkei pada Desember berada di 47,7, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 48,4. Angka ini menjadi yang terendah sejak September 2015.
Lalu di Singapura, pembacaan awal untuk pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2018 adalah 2,2% secara tahunan (year-on-year/YoY). Jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 3,2% YoY.
Kemudian, penjualan ritel di Hong Kong pada November 2018 hanya tumbuh 1,4% YoY. Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatat pertumbuhan 5,9%. Pertumbuhan November juga menjadi yang terlemah sejak Juni 2017.
Data-data tersebut membuat investor memilih untuk bermain aman. Saat ini, 'bunker' perlindungan bagi investor tidak lagi berada di dolar AS. Pelaku pasar lebih memilih beralih ke yen Jepang, dibuktikan dengan penguatan mata uang Negeri Sakura hingga 1,57% di sepanjang pekan lalu.
Namun, ada sentimen positif besar yang mampu membuat kinerja pasar keuangan Asia (termasuk Indonesia) membaik. Mengutip Reuters, AS dan China dikabarkan akan melangsungkan pertemuan tingkat wakil menteri di Beijing pada 7-8 Januari.
Kedua negara akan berdialog mengenai isu-isu perdagangan, menindaklanjuti hasil pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Argentina awal bulan lalu. Di sela-sela KTT G20 tersebut, Trump dan Xi menyepakati 'gencatan senjata' selama 90 hari.
"Delegasi AS yang dipimpin oleh Wakil Perwakilan Dagang Jeffrey Gerrish akan mengunjungi China untuk melakukan diskusi yang positif dan konstruktif dengan pemerintah China," sebut keterangan tertulis Kementerian Perdagangan China.
Selepas pertemuan Trump-Xi di Buenos Aires, hubungan Washington-Beijing memang semakin mesra. Pertemuan di Beijing pekan depan diharapkan menjadi pembuka jalan menuju damai dagang, sesuatu yang saat diimpikan oleh pelaku pasar. Akibatnya sikap risk aversion pun sirna, dan investor berbondong-bondong masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang Asia.
Sementara di Indonesia, sepertinya rilis data inflasi juga memberikan sentimen positif. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan laju inflasi 2018 sebesar 3,13% YoY. Melambat signifikan dibandingkan 2017 yaitu 3,61% dan di bawah asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang sebesar 3,5%.
Laju inflasi yang lebih lambat ini mendapatkan apresiasi dari investor. Indonesia tidak seperti Jepang yang mendambakan inflasi. Sebagai negara berkembang, inflasi yang rendah dan terkendali menjadi hal yang penting.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama di bursa saham New York juga mencatat kinerja yang impresif. Pada perdagangan akhir pekan lalu, Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 3,29%, S&P 500 menanjak 3,43%, dan Nasdaq Composite melompat 4,26%. Secara mingguan, DJIA naik 1,61%, S&P 500 menguat 1,86%, dan Nasdaq bertambah 2,34%. Wall Street mengalami pekan dengan berat, karena sempat terjadi aksi jual massal (selloff). Penyebabnya adalah kekhawatiran investor terhadap risiko perlambatan ekonomi global yang semakin terasa. Data-data ekonomi Asia seakan memberi konfirmasi akan hal tersebut.
Akan tetapi, ternyata selloff malah membuat harga aset di Wall Street menjadi murah bin terjangkau. Akibatnya, aksi borong terjadi dan membuat Wall Street terangkat.
Kemudian ada sentimen damai dagang yang juga membuat investor kembali bernafsu memburu aset-aset berisiko seperti saham. Lesatan Wall Street semakin tidak tertahankan dengan komentar Jerome 'Jay' Powell akhir pekan lalu.
"Kami akan sabar memantau perkembangan perekonomian. Kami selalu siap untuk mengubah stance (posisi) kebijakan dan mengubahnya secara signifikan," ungkap Powell di depan forum American Economic Association, dikutip dari Reuters.
Pernyataan bernada dovish ini memunculkan pertanyaan. Apakah The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuan dua kali tahun ini? Apakah ada peluang The Fed menahan suku bunga acuan, atau bahkan menurunkannya?
Saham adalah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga rendah. Munculnya peluang The Fed untuk menahan (atau bahkan menurunkan) suku bunga acuan membuat saham kembali menjadi primadona di pasar.
Selain itu, investor juga memberi apresiasi terhadap rilis data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam. Kementerian Ketenagakerjaan AS mencatat, penciptaan lapangan kerja baru pada Desember 2018 adalah 312.000. Ini merupakan kenaikan tertinggi sejak Februari 2018.
Untuk keseluruhan 2018, perekonomian AS menciptakan 2,6 juta lapangan kerja. Naik dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 2,2 juta.
Data ini sedikit banyak membuat investor lega. Sebab walau ekonomi AS mungkin akan melambat, tetapi setidaknya tidak terjadi hard landing. Perlambatan ekonomi bisa berjalan natural dan mulus tanpa menimbulkan guncangan yang berarti.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kabar gembira dari Wall Street, di mana terjadi penguatan signifikan pada akhir pekan dan sepanjang minggu lalu. Laju Wall Street bisa menjadi mendorong semangat bursa saham Asia untuk mencetak prestasi serupa.
Sentimen kedua adalah pertemuan tingkat wakil menteri AS-China di Beijing yang dimulai hari ini. Pertemuan tersebut sudah sangat dinantikan oleh pelaku pasar sejak akhir pekan lalu, dan menjadi angin surga yang menyejukkan pasar keuangan dunia.
Oleh karena itu, investor akan memantau perkembangan dalam pertemuan ini. Apabila ada sinyal-sinyal positif yang mengarah ke damai dagang AS-China, maka pasar keuangan Asia akan kembali melesat. Kabar baik dari Beijing sepertinya akan menjadi hal yang sangat dinantikan pelaku pasar hari ini.
Sentimen ketiga adalah perkembangan nilai tukar dolar AS yang kemungkinan melemah hari ini. Pernyataan Powell yang bersedia mengubah stance kebijakan moneter menjadi pukulan telak bagi mata uang Negeri Paman Sam.
Tahun lalu, dolar AS menjadi raja mata uang dunia karena Powell dan sejawat agresif menaikkan Federal Funds Rate, sampai empat kali. Namun tahun ini greenback berpotensi kehilangan mahkotanya, karena The Fed kemungkinan tidak terlalu agresif.
Situasi ini bisa dimanfaatkan oleh rupiah cs di Asia untuk menyalip. Ditambah aura damai dagang AS-China, sepertinya mata uang Asia akan kembali mampu berbicara banyak di hadapan dolar AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen keempat, investor perlu mewaspadai kenaikan harga minyak. Sepanjang pekan lalu, harga minyak jenis brent melonjak 9,31% secara point-to-point. Sedangkan harga minyak light sweet terangkat 5,8%.
Harga minyak terbantu oleh sentimen penurunan pasokan di pasar global. Berdasarkan survei Reuters, produksi minyak di 15 negara anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) pada Desember 2018 berada di 32,68 juta barel/hari. Turun 460.000 barel/hari dibandingkan November, dan menjadi penurunan bulanan tertinggi sejak Januari 2017.
Investor juga nampaknya merespon positif hubungan AS-China yang semakin mesra. Apabila dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat perdagangan, maka rantai pasok global akan kembali semarak.
Aktivitas ekonomi dan perdagangan pulih, sehingga permintaan energi akan ikut meningkat. Ini tentu memunculkan prospek kenaikan harga minyak.
Apabila kenaikan harga minyak berlanjut, maka bisa menjadi sentimen negatif buat rupiah. Kenaikan harga si emas hitam akan menambah beban impor sehingga memperparah defisit transaksi berjalan (current account). Akibatnya, fundamental penyokong rupiah menjadi rapuh dan mata uang Tanah Air rentan terdepresiasi.
Sentimen kelima adalah masih berlangsungnya penutupan sebagian (partial shutdown) pemerintahan AS. Hingga pukul 05:05 WIB, shutdown sudah berlangsung selama 15 hari 17 jam 5 menit.
Presiden Trump masih ogah mengesahkan rencana anggaran 2019 karena ngotot ingin ada proyek pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko. Partai Demokrat yang kini menjadi mayoritas di House of Representatives menolak ide ini karena dianggap amoral.
"Tembok itu bisa saja terbuat dari baja, bukan beton. Apa saja boleh kalau itu membantu rakyat," ujar Trump kepada wartawan sebelum bertolak ke Camp David, mengutip Reuters.
Partai Demokrat masih terus mencoba mengajukan anggaran sementara agar pemerintahan bisa kembali dibuka. Anggaran bisa tetap lolos meski Trump tidak membubuhkan tanda tangannya, tetapi dengan syarat harus disetujui oleh 2/3 anggota Kongres AS (Senat dan House).
Beberapa legistator dari Partai Republik pengusung Trump sudah menunjukkan tanda-tanda kegerahan. Mereka ingin pemerintahan segera dibuka karena menyangkut hajat hidup jutaan warga Negeri Paman Sam.
"Semua pihak harus bersedia mendengar dan berkompromi. Namun memang perdebatan soal baja vs beton adalah sesuatu yang aneh," kata Susan Collins, Senator Maine dari Partai Republik, mengutip NBC.
Oleh karena itu, Partai Demokrat memperoleh angin karena sepertinya beberapa anggota Partai Republik siap membelot demi mengakhiri shutdown. Jika suara 2/3 anggota Kongres berhasil didapatkan, maka veto Trump bisa dipatahkan.
"Kita seharusnya membuka pemerintahan terlebih dulu, baru bernegosiasi. Bukan sebaliknya," tegas Sterny Hoyer, Pimpinan Mayoritas House, mengutip Reuters.
Gaduh politik anggaran di Washington ini berpotensi mengganggu konsentrasi pelaku pasar. Kalau sampai berlarut-larut, maka investor akan sulit berfokus ke sentimen positif sehingga pasar sulit menerobos ke zona hijau.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data Indeks Keyakinan Konsumen Indonesia periode Desember 2018 (tentatif).
- Rilis data penjualan ritel zona Eropa periode November 2018 (17:00 WIB).
- Rilis data indeks PMI non-manufaktur AS periode Desember 2018 (22:00 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) | RUPSLB | 13:00 |
PT Bank China Construction Bank Indonesia Tbk (MCOR) | RUPSLB | 14:00 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Desember 2018 YoY) | 3,13% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2018) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Q III-2018) | -3,37% PDB |
Neraca pembayaran (Q III-2018) | -US$ 4,39 miliar |
Cadangan devisa (November 2018) | US$ 117,21 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular