Newsletter

Mau Memulai Perdagangan Perdana di 2019? Baca Ini Dulu...

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 January 2019 05:52
Mau Memulai Perdagangan Perdana di 2019? Baca Ini Dulu...
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menutup 2018 dengan positif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat di perdagangan terakhir 2018. 

Penutupan perdagangan di pasar saham terjadi pada akhir pekan lalu, di mana IHSG berakhir dengan penguatan tipis 0,06%. Dibandingkan posisi awal tahun, IHSG terkoreksi 2,54%. 


Berbeda dengan pasar saham, pasar valas Indonesia baru berakhir pada awal pekan ini. Juga berbeda dengan pasar saham, rupiah jauh lebih impresif dengan penguatan 1,24% terhadap greenback di perdagangan pasar spot. Lagi-lagi berbeda dengan pasar saham, pelemahan rupiah secara year-to-date (YtD) lebih dalam yaitu 5,97%. 


Sejatinya awal pekan ini sebagian besar pasar saham di Asia masih dibuka, hanya segelintir saja yang tutup seperti Indonesia, Malaysia, atau China. Andai saja pasar saham Indonesia buka, maka kemungkinan besar akan berakhir menguat sehingga IHSG bisa lebih menipiskan koreksinya sejak awal tahun. 


Minat investor global terhadap aset-aset berisiko di negara-negara berkembang Asia memang sedang tinggi. Penyebabnya adalah hubungan AS-China yang semakin membaik. 

Melalui cuitan di Twitter, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa dirinya telah berbicara panjang melalui sambungan telepon dengan Presiden China Xi Jinping. Hasil dari pembicaraan tersebut, menurut Trump, sangat positif. 

"Proses kesepakatan dengan China berjalan dengan sangat baik. Jika berhasil, maka (kesepakatan) itu akan sangat komprehensif, mencakup seluruh aspek yang selama ini menjadi pertentangan. Kemajuan besar telah dibuat!" tulis Trump. 

Xi pun memberi sinyal kemesraan hubungan dengan Washington. Mengutip kantor berita Xinhua, Xi berharap kesepakatan dengan AS segera diteken. "Saya berharap kedua delegasi bertemu, bekerja keras, untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan dunia sesegera mungkin," tegas Xi. 

Kementerian Luar Negeri China menambahkan, hubungan Washington-Beijing kini seakan memasuki babak baru. Hubungan keduanya sempat memanas sejak awal tahun karena saling proteksi perdagangan. 

"Kedua pihak harus berpegang kepada sudut pandang yang rasional dan objektif berdasarkan kepentingan bersama. Kita harus meningkatkan komunikasi strategis dan menjalin kepercayaan untuk menghindari kesalahan," kata Lu Kang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, mengutip Reuters. 

Perkembangan positif ini membuat pelaku pasar berbunga-bunga, damai dagang AS-China sepertinya sudah di depan mata. Akibatnya, tidak ada lagi istilah bermain aman. Investor kembali memburu aset-aset berisiko demi mendapatkan cuan yang berlipat. Arus modal pun mengalir deras ke Asia, membuat bursa saham dana mata uang Benua Kuning menguat. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama menguat signifikan di perdagangan terakhir 2018. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 1,15%, S&P 500 naik 0,85%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,85%. 

Namun secara YtD, bursa saham New York melemah dalam pada 2018. DJIA anjlok 5,63%, S&P 500 amblas 6,41%, dan Nasdaq ambrol 3,99%. 

Wall Street sejatinya memulai 2018 dengan meyakinkan. Dampak pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang peribadi dan badan di AS yang diteken Presiden Donald Trump pada akhir 2017 membuat pelaku pasar bergairah. Ada harapan ekonomi AS tumbuh kencang. 

Sejak 1 Januari hingga 26 Januari, DJIA melambung 7,22%. Kemudian S&P 500 melejit 6,57%, dan Nasdaq melesat 7,12%. 

Namun investor kemudian menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi AS yang kencang akan menyebabkan The Federal Reserve/The Fed campur tangan. Apalagi saat dilantik menggantikan Janet Yellen sebagau Gubernur The Fed, Jerome 'Jay' Powell bersumpah untuk menghindarkan ekonomi AS dari risiko overheating, kondisi di mana permintaan tumbuh jauh melampaui penawaran sehingga menyebabkan tekanan inflasi tinggi. 

The Fed pun memulai siklus kenaikan suku bunga acuan pada Maret 2018. Pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan tiga kali sepanjang 2018, tetapi kenyataannya bahkan sampai empat kali. 

Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan investasi di AS, khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Namun saham bukan instrumen investasi yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga tinggi, karena berpotensi menaikkan beban emiten dan menggerus laba. 

Ditambah lagi ada sentimen negatif besar di perekonomian global bernama perang dagang AS vs China. Ketika dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi saling hambat perdagangan, maka rantai pasok global akan terganggu dan pertumbuhan ekonomi melambat. 

Perang dagang kemudian memancing investor untuk bermain aman. Instrumen berisiko seperti saham banyak dilepas dan pelaku pasar memilih mengalihkan dana ke aset-aset aman (safe haven). 

"Pelaku pasar awalnya terbuai. Mereka sudah mengambil posisi bahwa volatilitas akan minim pada 2018. Namun begitu ada perubahan sedikit saja, investor melakukan reposisi," tutur Thomas Martin, Senior Portfolio Manager di Globalt Investment yang berbasis di Atlanta, mengutip Reuters. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya dari Wall Street, diharapkan penguatan yang terjadi awal pekan ini masih ampuh untuk mendorong bursa saham Asia termasuk Indonesia. 

Kedua adalah hubungan AS yang semakin membaik dengan beberapa negara. Selain China, relasi AS dengan Korea Utara juga semakin harmonis. 

Kim Jong Un, Pemimpin Korea Utara, menyatakan siap bertemu dengan Trump kapan saja untuk membahas denuklirisasi di Semenanjung Korea. Kim sudah berjanji tidak akan membuat dan melakukan uji coba senjata nuklir. 

"Denuklirisasi adalah kehendak saya. Korea Utara menyatakan tidak akan memproduksi dan melakukan uji coba senjata nuklir. Saya selalu siap untuk duduk bersama dengan Presiden AS kapan saja, dan bekerja keras untuk mewujudkan kesepakatan yang bisa diterima oleh komunitas internasional," papar Kim dalam pidato di televisi nasional, mengutip Reuters. 

Kim pun berharap AS melakukan hal yang sama. Jika bertepuk sebelah tangan, maka Korea Utara siap melakukan langkah baru yang belum dijelaskan lebih lanjut. 

"Korea Utara akan mengambil opsi langkah baru untuk mempertahankan kedaulatannya apabila AS kembali memaksakan sesuatu kepada kami. Atau AS tidak mengubah pandangannya mengenai sanksi dan tekanan terhadap kami," tegas Kim. 

Namun secara umum hubungan Washington-Pyongyang berada di jalur yang tepat. Apalagi Kim terang-terangan menyatakan siap untuk menghentikan program nuklir.

Perdamaian di Semenanjung Korea menjadi semakin terlihat. Tekanan geopolitik global pun bisa berkurang, yang artinya satu sentimen negatif akan sirna. Investor
sepatutnya menyambut gembira kabar ini. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS yang berpotensi melemah hari ini. Pada pukul 05:21 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,08%. 

Penyebabnya adalah data ekonomi AS yang lagi-lagi mengecewakan. The Fed Dallas merilis indeks aktivitas bisnis di Texas pada Desember 2018 berada di -5,1 atau anjlok 23 poin dibandingkan bulan sebelumnya.   

Hawa perlambatan ekonomi AS sepertinya semakin nyata. Akibatnya, bukan tidak mungkin The Fed memperlambat laju kenaikan suku bunga pada tahun ini. 

Awalnya investor memperkirakan Powell cs akan menaikkan Federal Funds Rate sebanyak tiga kali sepanjang 2018, tetapi kemudian direvisi ke bawah menjadi dua kali. Namun jika  tanda-tanda perlambatan ekonomi di Negeri Adidaya semakin jelas, maka bukan tidak mungkin The Fed akan kembali mengurangi dosis kenaikan suku bunga. 

Ini tentu menjadi amsyong bagi dolar AS. Tanpa dukungan kenaikan suku bunga acuan, dolar AS akan kehilangan keseksiannya dan bisa balik ditekan oleh mata uang dunia, termasuk rupiah. 

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data inflasi nasional periode Desember 2018. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan laju inflasi tahunan (year-on-year/YoY) pada Desember 2018 sebesar 3,04%. Inflasi YoY pada Desember akan sama dengan inflasi sepanjang tahun kalender.


Apabila realisasinya nanti sesuai dengan ekspektasi pasar, maka laju inflasi Indonesia akan melambat lumayan signifikan. Tahun lalu, inflasi tercatat 3,61%. 

Laju inflasi yang bisa dijaga di kisaran 3% selama 4 tahun terakhir bisa menjadi sentimen positif di pasar. Inflasi yang terkendali maka artinya nilai uang tidak tergerus signifikan. Nilai investasi pun bisa relatif aman. 

Jadi bagaimana? Sudah siap memulai perdagangan perdana 2019?


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data indeks Nikkei PMI Indonesia periode Desember 2018 (07:30 WIB).
  • Rilis data indeks manufaktur Caixin China periode Desember 2018 (08:45 WIB).
  • Rilis data inflasi Indonesia periode Desember 2018 (11:00 WIB).
  • Rilis data realisasi APBN 2018 oleh Kementerian Keuangan RI (standby pukul 14:00 WIB).
  • Rilis data pembacaan akhir indeks manufaktur PMI zona Eropa periode Desember 2018 (16:00 WIB).
  • Rilis data indeks manufaktur PMI Inggris periode Desember 2018 (16:30 WIB).
  • Rilis data pembacaan akhir indeks manufaktur PMI AS periode Desember 2018 (21:45 WIB).


Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

 

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)

5,17%

Inflasi (November 2018 YoY)

3,23%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2018)

6%

Defisit anggaran (APBN 2018)

-2,19% PDB

Transaksi berjalan (Q III-2018)

-3,37% PDB

Neraca pembayaran (Q III-2018)

-US$ 4,39 miliar

Cadangan devisa (November 2018)

US$ 117,21 miliar

 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.



TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular