Newsletter

Siap-siap, Banyak Sentimen Banjiri Pasar

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
19 November 2018 06:24
Siap-siap, Banyak Sentimen Banjiri Pasar
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu menjadi periode yang indah bagi pasar keuangan Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat signifikan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terapresiasi, dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah bergerak ke bawah.

Selama pekan kemarin, IHSG menguat tajam 2,35% secara point-to-point. Bahkan IHSG mampu kembali menembus level 6.000 untuk kali pertama sejak akhir Agustus.

Senada dengan IHSG, indeks saham Asia pun mayoritas menguat. Secara mingguan, indeks Shanghai Composite meoket 3,09%, Hang Seng melesat 2,27%, Strait Times naik 0,18%, dan Kospi bertambah 0,3%. Hanya Nikkei 225 yang merosot 2,56%.


Selama periode yang sama, nilai tukar rupiah menguat 0,49% terhadap dolar AS. Rupiah juga tidak menguat sendirian di pekan lalu, mayoritas mata uang utama Asia mampu perkasa di hadapan greenback seperti dolar Singapura (+0,51%), baht Thailand (+0,67%), yen Jepang (+0,88%), rupee India (+0,69%), dan won Korea Selatan (+0,82%).


Sementara yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun tipis 0,5 basis poin (bps) secara mingguan. Pada 2 hari perdagangan awal, yield terlanjur naik tajam. Namun penurunan yang lebih dalam selama 3 hari berikutnya membuat yield tetap minus secara mingguan.

Sentimen eksternal dan domestik sama-sama suportif buat pasar keuangan Indonesia. Dari luar negeri, prospek damai dagang AS-China sepertinya semakin nyata.

Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping dipastikan bakal mengadakan pembicaraan di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini. Sebelum pertemuan kedua pemimpin tersebut, Washington dan Beijing menjalin komunikasi secara intensif.

Pelaku pasar menaruh harapan besar kepada pertemuan Trump-Xi. Bahkan doa investor adalah hasil pembicaraan ini begitu positif hingga membuat Trump dan Xi mencabut seluruh bea masuk yang sudah diterapkan. Jika itu terjadi, maka perang dagang resmi berakhir.

Meski masih belum terjadi, tapi ekspektasi ini berhasil mendorong risk appetite di pasar. Investor lebih berani mengambil risiko dengan masuk ke pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.

Kemudian, ada data-data ekonomi Negeri Tirai Bambu yang positif. Investasi tetap Januari-Oktober 2018 tercatat tumbuh 5,7% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih baik ketimbang konsensus pasar yang memperkirakan pertumbuhan di 5,5%.

Produksi industri pada Oktober tumbuh 5,9% YoY. Juga lebih baik dibandingkan konsensus pasar yaitu 5,7%.

Data-data ini lantas mengindikasikan bahwa komitmen pemerintah China untuk mendorong dunia usaha sudah membuahkan hasil, terlihat dari investasi tetap dan produksi industri yang tumbuh mengesankan.

Dari Eropa, Perdana Menteri Inggris Theresa May berhasil mengamankan dukungan dari kabinetnya terkait dengan draf perceraian Inggris dan Uni Eropa (Brexit). "Keputusan kolektif hari ini adalah kabinet menyepakati draf perjanjian pengunduran diri. Saya percaya dengan kepala dan hati saya bahwa keputusan ini adalah yang terbaik bagi kepentingan Inggris," kata PM May dalam pengumuman seusai rapat kabinet yang berlangsung selama 5 jam.

Salah satu poin penting dalam draf ini adalah disetujuinya masa transisi yang bisa diperpanjang paling lambat pada pertengahan 2020. Selama masa transisi berlaku, kerja sama yang selama ini berlaku antara Inggris dengan Uni Eropa (seperti di bidang perdagangan dan imigrasi) akan tetap dijalankan, memberikan kepastian bagi dunia usaha sembari menyiapkan diri untuk perceraian sesungguhnya.

Sementara dari dalam negeri, sentimen positif utama (mungkin satu-satunya) bagi pasar keuangan adalah kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Langkah ini benar-benar mengejutkan pelaku pasar, karena konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI masih menahan 7 Day Reverse Repo Rate.

Namun ternyata Perry Warjiyo dan sejawat memutuskan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 6%. Langkah ini dilakukan untuk menjaga pasar keuangan Indonesia tetap kompetitif dan mengurangi tekanan terhadap transaksi berjalan (current account).


Kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate akan ikut mengerek imbalan berinvestasi di Indonesia. Hal itu membuat investor (terutama asing) berbondong-bondong masuk ke pasar keuangan Tanah Air. Akibat derasnya arus modal, IHSG melesat, rupiah menguat, dan yield obligasi terhambat.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, kinerja tiga indeks utama kurang ciamik pekan lalu. Secara mingguan, Dow Jones Industrial Average anjlok 2,22%, S&P 500 jatuh 1,61%, dan Nasdaq Composite amblas 2,22%. 

Ada beberapa penyebab keterpurukan Wall Street pekan lalu. Pertama, harga minyak dunia ambrol. Harga minyak jenis brent seminggu kemarin anjlok 4,87% dan light sweet amblas 6,19%. 

Kejatuhan harga minyak membuat saham-saham sektor energi ikut ambrol. Harga saham Exxon Mobil turun drastis 2,39% dan Chevron terkoreksi 0,38%. 

Kedua adalah data inflasi AS yang dirilis pada 15 November. Laju inflasi Negeri Paman Sam periode Oktober 2018 tercatat 2,5% YoY. Lebih cepat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,3%. 

Kemudian penjualan ritel pada Oktober 2018 naik 0,8% secara bulanan (month-to-month/MtM). Di atas konsensus pasar yang dihimpun Refinitiv yang memperkirakan kenaikan 0,5%. Pencapaian Oktober juga jauh melampaui bulan sebelumnya yang turun 0,1%. 

Artinya, konsumsi masyarakat di AS masih tumbuh dengan baik sehingga menyebabkan percepatan laju inflasi. Jika tidak dikontrol, maka laju inflasi akan semakin cepat dan menciptakan overheating di perekonomian Negeri Adidaya. 

Oleh karena itu, alasan bagi The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan pun semakin besar. Tanpa kenaikan suku bunga acuan, laju permintaan tidak akan  bisa diimbangi oleh ketersediaan barang dan jasa sehingga menimbulkan tekanan inflasi yang luar biasa. 

Namun sisi lain dari kenaikan suku bunga acuan adalah ikut terkereknya imbalan investasi di AS, khususnya di instrumen berpendapatan tetap. Saham bukanlah instrumen yang bisa bekerja optimal di lingkungan suku bunga tinggi, karena bisa menurunkan laba emiten.  

Oleh karena itu, terjadi arus modal keluar di bursa saham New York untuk masuk ke pasar obligasi pemerintah. Yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun dalam seminggu kemarin terkoreksi 11,5 bps. Penurunan yield menandakan harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan. 

Ketiga adalah koreksi dalam di saham-saham teknologi, khususnya Apple. Sepekan kemarin, harga saham Apple anjlok 5,35%. 

Penyebabnya adalah pelaku pasar kurang mengapresiasi kinerja penjualan iPhone seri terbaru. Bahkan beberapa pemasok komponen iPhone mengeluhkan pengurangan pemesanan yang menandakan permintaan tidak naik. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah perkembangan kemungkinan damai dagang AS-China. 

Akhir pekan lalu, Presiden Trump mengungkapkan bahwa Washington sudah menerima surat dari Beijing yang berisi 142 poin reformasi ekonomi yang telah dilakukan di Negeri Tirai Bambu. Meski ada beberapa hal yang belum dicantumkan, tetapi secara umum Trump cukup puas. 

Bahkan bisa saja AS akan membatalkan sejumlah rencana pengenaan bea masuk baru bagi produk-produk made in China. "Kami mungkin tidak akan melakukan itu, China ingin adanya kesepakatan," ujar Trump kepada para jurnalis di Gedung Putih, dikutip dari Reuters. 

Kabar ini bisa membuat investor di pasar keuangan Asia berbunga-bunga. Risk appetite akan meningkat dan permintaan terhadap aset-aset berisiko di negara berkembang Asia bisa membludak. Jika ini terjadi, maka menjadi kabar baik buat pasar keuangan Indonesia. 

Kedua adalah nilai tukar dolar AS. Akhir pekan lalu, greenback melemah terhadap berbagai mata uang dunia akibat komentar Richard Clarida, Wakil Gubenur The Fed yang baru. 

Menurut Clarida, suku bunga acuan di AS sudah semakin mendekati titik netral, di mana suku bunga tidak lagi mendorong laju perekonomian maupun mengeremnya. Saat ini median Federal Funds Rate adalah 2,125% sementara preferensi inflasi The Fed yaitu Core Personal Consumption Expenditure ada di 1,97% YoY per September. Sebenarnya sekali lagi kenaikan suku bunga 25 bps sudah cukup membuatnya menjadi netral, karena akan senada dengan laju inflasi. 

Mengutip Reuters, Clarida menyatakan bukan berarti The Fed menaikkan suku bunga terlalu tinggi, terlalu cepat, atau terlalu agresif. Namun kenaikan suku bunga berikutnya sebaiknya lebih mengacu kepada data (data dependent) karena saat ini Federal Funds Rate semakin dekat ke target 2,5-2,5% yang disebut netral. 

"Kami sudah dalam titik di mana harus benar-benar data dependent. Suku bunga kebijakan yang netral adalah sesuatu yang masuk akal," tutur Clarida. 

Pernyataan Clarida ini bisa membuat pelaku pasar berpersepsi masih ada kemungkinan The Fed akan menahan laju kenaikan suku bunga acuan. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 bps pada dalam The Fed 19 Desember adalah 65,4%. Turun cukup jauh dibandingkan seminggu sebelumnya yaitu 75,8%. 

Tanpa kabar kenaikan suku bunga acuan, dolar AS akan lesu. Sebab selama ini tingginya permintaan terhadap greenback didorong oleh kenaikan suku bunga acuan. Apabila pelemahan dolar AS berlanjut, maka rupiah dkk di Asia bisa memanfaatkannya dengan mencetak penguatan.  


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Ketiga adalah kegagalan Kerja Sama Ekonomi Negara-negara Asia Pasifik (APEC) untuk mencapai kesepakatan dalam KTT di Port Moresby (Papua Nugini). Penyebabnya adalah hubungan AS-China yang belum pulih sepenuhnya karena masih ada sentimen perang dagang. 

Mengutip Reuters, seorang diplomat yang turut dalam pembahasan komunike menyatakan bahwa China menolak adanya kesepakatan yang berisi "menolak praktik perdagangan tidak sehat sesuai dengan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)". 

"Ada dua negara yang saling dorong dan membuat pimpinan rapat tidak bisa menjembatani mereka. China murka saat ada kalimat yang merujuk ke WTO bahwa mereka bersalah karena melakukan praktik perdagangan tidak sehat," sebut sang diplomat. 

Momentum ini bisa menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan global. Pasalnya, terlihat bahwa AS dan China masih memiliki banyak ketidaksepahaman.

Dikhawatirkan hal ini berlanjut ke pertemuan Trump-Xi di KTT G20 nanti. Bisa-bisa aura damai dagang yang sudah semakin kuat kembali memudar dan AS-China kembali terlibat perang dagang. 

Keempat, kali ini dari Eropa, adalah dinamika Brexit yang ngeri-ngeri sedap. Setelah beberapa menteri mengundurkan diri, kini PM May terancam mendapat mosi tidak percaya dari parlemen.  

Mengutip BBC, lebih dari 20 anggota parlemen dari Partai Konservatif sudah mengirimkan surat mosi tidak percaya. Namun belum mencapai batas yang dibutuhkan untuk secara resmi mengajukan langkah tersebut, yaitu 48. 

"Saya tidak akan teralihkan. Pergantian kepemimpinan tidak akan membuat negosiasi (Brexit) lebih mudah. Justru akan menambah risiko kesepakatan tertunda," tegas May, mengutip Reuters. 

Ketidakpastian di Inggris bisa kembali membuat investor bermain aman. Kalau ini yang terjadi, maka dolar AS bisa mendapat suntikan adrenalin karena mata uang Negeri Paman Sam berstatus aset aman (safe haven). Rupiah bisa terancam.


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Kelima adalah perkembangan kasus pembunuhan Jamal Khasshogi. Badan Intelijen AS (CIA) menyebutkan ada kemungkinan kasus ini melibatkan Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman.  

Menurut Presiden Trump, laporan ini terlalu awal tetapi bisa saja benar. "Asesmen ini masih sangat prematur, tetapi mungkin saja." ujarnya, mengutip Reuters. 

Perkembangan ini bisa membuat hubungan Washington-Riyadh memburuk. Bahkan bukan tidak mungkin AS akan menerapkan sanksi bagi Negeri Padang Pasir, seperti blokade ekspor minyak. 

Kalau sampai AS melarang Arab Saudi mengekspor minyak, maka pasokan di pasar dunia dipastikan anjlok. Pasalnya, Arab Saudi adalah pemimpin de facto di Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) dengan produksi mencapai 9,96 juta barel/hari.
 
Meski kemungkinan ke arah sana masih belum terlihat, tetapi segalanya bisa terjadi. Kalau sampai terjadi, maka harga minyak akan melonjak karena minimnya pasokan. 

Keenam, kali ini dari dalam negeri, adalah investor patut waspada terhadap risiko ambil untung alias profit taking. Perlu dicatat bahwa sejak awal November IHSG sudah melesat 3,02%. Sementara rupiah menguat tajam 3,42% di hadapan dolar AS dan yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun anjlok 45 bps. 

Angka-angka ini bisa jadi menarik minat investor untuk mencairkan laba karena keuntungan yang didapat sudah lumayan tinggi. Oleh karena itu, bayangan profit taking selalu akan bersama dengan IHSG, rupiah, dan obligasi pemerintah. ketika investor ramai-ramai mencairkan cuan, maka ketiganya bisa mengalami tekanan hebat. 

Cukup banyak sentimen yang perlu diperhatikan pelaku pasar hari ini. Memang baru awal pekan, tetapi sepertinya mata dan telinga sudah harus bekerja keras.


(BERLANJUT KE HALAMAN 6)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data neraca perdagangan Jepang periode Oktober 2018 (06:50 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5,17%
Inflasi (Oktober 2018 YoY)3,16%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2018)6%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2,19% PDB
Transaksi berjalan (Q III-2018)-3,37% PDB
Neraca pembayaran (Q III-2018)-US$ 4,39 miliar
Cadangan devisa (Oktober 2018)US$ 115,16 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular