
Update Polling CNBC Indonesia
Konsensus Pasar: BI Diramal Tahan Bunga Acuan di 5,75%
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 October 2018 12:03

- Menambah proyeksi dari satu institusi (Bank Permata)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih menahan suku bunga acuan dalam rapat bulan ini. Meski The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan dalam pertemuan bulan lalu, tetapi masih ada ruang bagi BI untuk tidak menempuh kebijakan serupa.
BI menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 22-23 Oktober. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Perry Warjiyo dan sejawat masih mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate di 5,75%.
Institusi | BI 7 Day Reverse Repo Rate (%) |
Bank Danamon | 5.75 |
Moody's Analytics | 5.75 |
Maybank Indonesia | 5.75 |
DBS | 5.75 |
Danareksa Research Institute | 5.75 |
ING | 5.75 |
BCA | 6 |
Bahana Sekuritas | 5.75 |
ANZ | 5.75 |
Standard Chartered | 5.75 |
Bank Permata | 5.75 |
MEDIAN | 5.75 |
Pada 26 September lalu, The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) ke 2-2,25% atau median 2,125%. Dengan 'mantra' pre-emtif, front loading, dan ahead the curve, bukankah semestinya BI juga melakukan hal yang sama dengan harapan pasar keuangan Indonesia tetap atraktif di mata investor?
Well, ternyata tidak juga. Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahan Sekuritas, menilai BI belum perlu ikut menaikkan suku bunga acuan. BI perlu mengatur nafas dan menyimpan 'peluru' untuk momentum yang lebih krusial.
Sejak awal Oktober, harga minyak dunia bergerak turun. Harga minyak jenis brent turun 5,91%.
Sebagai negara importir minyak, hal ini tentu sangat melegakan buat Indonesia. Neraca perdagangan akan terbantu dan beban transaksi berjalan (current account) berkurang. Artinya tekanan terhadap rupiah pun tidak terlalu berat.
Data neraca perdagangan September 2018 memberikan secuil harapan. Pada September, neraca perdagangan Indonesia mampu mencatat surplus US$ 230 juta. Ini merupakan surplus perdagangan pertama sejak Juni 2018.
Surplus ini memberi harapan transaksi berjalan pada kuartal III-2018 lebih baik. Setidaknya ada angin segar karena neraca perdagangan Juli dan Agustus defisit masing-masing US$ 2,03 miliar dan US$ 900 juta.
"Data transaksi berjalan untuk kuartal III-2018 akan keluar November, dan The Fed diperkirakan baru menaikkan suku bunga acuan pada Desember. Jadi sudah saatnya BI menyimpan tenaga sebelum menaikkan suku bunga pada bulan depan dan tetap ahead the curve," jelas Satria.
Katrina Ell, Ekonom Moody's Analytics, juga memperkirakan BI masih menahan suku bunga acuan di 5,75%. Bahkan Moody's memperkirakan siklus kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah selesai untuk tahun ini.
"BI sudah menaikkan suku bunga pada September, sehingga total kenaikan mencapai 150 bps. Kenaikan lebih lanjut akan terjadi pada 2019," kata Ell.
Josua Pardede, Ekonom Bank Permata, mengatakan belum ada kebutuhan untuk mengerek suku bunga acuan lebih lanjut pada bulan ini. Pasalnya, tingkat inflasi domestik masih terkendali. Rupiah pun relatif stabil dalam sepekan terakhir.
Namun, Josua memperkirakan siklus kenaikan suku bunga acuan tahun ini belum selesai. BI diperkirakan menaikkan suku bunga dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan depan.
"Meskipun BI diperkirakan mempertahankan tingkat suku bunga kebijakan pada RDG bulan ini, tetapi ruang pengetatan kebijakan moneter masih berpotensi terjadi pada November. Terutama setelah BI melakukan asessmen pada data pertumbuhan ekonomi dan transaksi berjalan kuartal III serta mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed pada Desember," papar Josua.
Namun, masih ada kemungkinan BI untuk menaikkan suku bunga acuan. Faktor pendorongnya adalah arus modal yang masih keluar (outflows) dari pasar keuangan Indonesia.
Selama 1-19 Oktober, investor asing membukukan jual bersih Rp 5,32 triliun di pasar saham. Sedangkan di pasar obligasi pemerintah, investor asing juga mencatatkan jual bersih Rp 4,13 triliun sepanjang 1-17 Oktober.
Potensi outflows ke depan juga masih besar mengingat tren kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Untuk tenor 10 tahun, yield melonjak 12,2 bps dalam kurun waktu 1-19 Oktober.
Seiring tingginya kebutuhan pembiayaan pemerintah AS karena penerimaan pajak turun akibat penurunan tarif, penerbitan obligasi di Negeri Paman Sam pun meningkat. Investor kemudian berlomba-lomba untuk mendongrak yield semakin tinggi.
Artinya, ke depan yield obligasi pemerintah AS akan semakin melambung. Kenaikan yield adalah sinyal bullish bagi dolar AS.
Oleh karena itu, besar kemungkinan dolar AS akan menguat seiring kenaikan yield. Jika pasar keuangan Indonesia tidak menawarkan sesuatu, maka investor tetap akan condong ke AS sehingga rupiah terus tertekan.
Salah satu cara untuk membuat pasar keuangan domestik menjadi menarik adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. Kebijakan ini diharapkan mampu menarik arus modal asing sehingga rupiah punya alasan untuk menguat.
Bagaimana, BI?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Pasar Tak Kompak, Bunga Acuan BI Tetap atau Turun Nih?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular