Newsletter

Dolar AS Masih Ogah Melemah

Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 October 2018 06:20
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tenu kinerja Wall Street yang variatif cenderung lemah. Perkembangan ini dikhawatirkan menular ke Asia, termasuk IHSG. 

Kedua adalah nilai tukar dolar AS. Kemarin, rupiah melemah cukup dalam sehingga menyeret IHSG ke zona merah, semua karena dolar AS yang terlalu perkasa. 

Celakanya, dolar AS masih digdaya sampai pagi ini. Pada pukul 05:38 WIB, Dollar Index menguat 0,19%. Ini membuat Dollar Index sudah melesat 1,43% dalam sepekan terakhir. 

Kisruh di Italia masih menjadi faktor pemicu penguatan greenback. Perkembangan di Italia membuat investor cenderung bermain aman dan memilih dolar AS sebagai sarana investasi utama. 

Akibatnya, kemungkinan rupiah untuk kembali tertekan hari ini cukup terbuka. Dolar AS kini sudah menembus kisaran Rp 15.000/US$, dan sayangnya penguatan greenback tidak berhenti sampai di situ. 

Apalagi The Fed masih melontarkan pernyataan-pernyataan bernada optimistis. Dalam pidatonya di Boston, Gubernur The Fed Jerome Powell mengatakan prospek perekonomian Negeri Paman Sam sangat positif. 

Angka pengangguran AS saat ini di bawah 4% dan bisa bertahan rendah setidaknya dalam 2 tahun ke depan. Laju inflasi pun terakselerasi secara moderat, artinya ada geliat konsumsi tetapi tidak sampai menggerogoti pendapatan secara berlebihan. Inflasi masih sehat bagi perekonomian. 

"Ini adalah pertanda bahwa kita sedang menjalani saat-saat yang luar biasa. Rumah tangga membaik, dan dunia usaha tidak perlu lagi mengkhawatirkan inflasi yang tinggi," tutur Powell, mengutip Reuters. 

Pernyataan Powell semakin mempertegas arah kebijakan The Fed, yaitu bias ketat. Kenaikan suku bunga acuan pada akhir tahun ini sepertinya semakin tidak terhindarkan.  
Tanpa kenaikan suku bunga acuan, ekonomi AS akan bergerak liar. Permintaan akan tumbuh tanpa batas sehingga sulit dipenuhi penawaran. Hasilnya adalah inflasi tinggi yang tidak perlu, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. 

Meski tujuannya adalah mengerem permintaan agar perekonomian tidak overheating, kenaikan suku bunga acuan membuat berinvestasi di AS menjadi semakin menarik. Imbalan investasi akan ikut terkerek sehingga arus modal akan terus bergerombol masuk ke Negeri Adidaya. Hasilnya jelas, dolar AS akan terus menguat. 

Sentimen ketiga adalah harga minyak, yang terkoreksi setelah menjalani reli berhari-hari. Pada pukul 05:55 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,4% sementara light sweet terkoreksi 0,07%. 

Kenaikan harga minyak yang terjadi selama nyaris sepekan terakhir membuat investor mulai ngiler untuk mencairkan keuntungan. Aksi ambil untung terjadi, dan membuat harga minyak turun dari level tertingginya sejak 2014. 

Selain itu, pelaku pasar memperkirakan cadangan minyak AS akan naik sehingga bisa menstabilkan pasokan dan kemudian harga. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan cadangan minyak AS pekan lalu naik 2 juta barel. 

Namun koreksi harga minyak relatif terbatas, karena masih ada kekhawatiran mengenai sanksi AS terhadap Iran. Waktu jatuhnya sanksi semakin dekat yaitu 4 November. Ketika sanksi ini berlaku, maka Iran akan kesulitan mengekspor minyaknya ke pasar global sehingga pasokan bakal seret. 

Data Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) menyebutkan bahwa produksi Iran mencapai 3,87 juta barel/hari, dan ekspornya adalah 2,12 juta barel/hari. Jumlah itu bisa hilang saat Teheran terkena sanksi. 

Survei yang dilakukan Reuters menyebutkan produksi minyak anggota OPEC sebesar 32,85 juta barel/hari pada September. Hanya naik 90 juta barel/hari dibandingkan bulan sebelumnya. Pasokan minyak Iran yang mulai terbatas dan bisa sirna pada November nanti membuat produksi OPEC ikut melambat. 

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular