Newsletter

Investor Sudah Moved On dari Perang Dagang?

Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 September 2018 06:14
Investor Sudah Moved On dari Perang Dagang?
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,98% pada perdagangan kemarin. IHSG bergerak senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditutup di zona hijau.  


Bursa regional masih mampu bergerak di zona hijau di tengah berkecamuknya perang dagang Amerika Serikat (AS)-China. Baru-baru ini, China telah resmi mengumumkan balasan terhadap kebijakan pengenaan bea masuk baru oleh AS. China memutuskan untuk membalas dengan membebankan bea masuk 10% untuk importasi produk buatan AS senilai US$ 60 miliar, berlaku mulai 24 September.  

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk mengenakan bea masuk baru senilai 10% terhadap berbagai produk China senilai US$ 200 miliar per 24 September 2018. Bea masuk tersebut kemudian akan naik menjadi 25% pada akhir tahun ini. 

Sikap Trump yang tak langsung mengenakan bea masuk senilai 25% memberikan persepsi bahwa AS terus mencoba untuk membuka ruang negosiasi dengan China. AS pada minggu lalu telah mengirimkan surat kepada pihak China guna mencoba merencanakan sebuah negosiasi dagang. 

Kemudian, besaran bea masuk yang dikenakan China juga hanya sebesar 10%, lebih rendah dari 20% yang digaungkan sebelumnya. Dampak perang dagang yang nampaknya lebih ringan dari perkiraan sebelumnya ini lantas mampu membangkitkan semangat investor untuk masuk ke bursa Asia.

Tidak hanya itu, pelaku pasar juga menangkap nada positif dari pidato Perdana Menteri China Li Keqiang di World Economic Forum di Tianjin. Li mengakui bahwa China tengah dikonfrontasi oleh berbagai tantangan, dan kini menghadapi kesulitan yang lebih besar dalam menjaga kestabilan ekonomi Negeri Tirai Bambu.  

Meski demikian, Li menegaskan bahwa China nyaman dengan situasi ekonomi saat ini, sembari menambahkan bahwa Beijing telah menyiapkan kebijakan yang memadai untuk memperkuat ketahanan negara dalam mengatasi berbagai macam tantangan yang ada. Lebih lanjut, Li juga menyampaikan bahwa China tidak akan mengambil langkah mendevaluasi Yuan China di tengah kisruh dagang yang ada. 

Sentimen positif lainnya datang dari aura perdamaian di Semenanjung Korea. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan bahwa negosiasi denuklirisasi dengan Korea Utara akan selesai pada Januari 2021. Tenggat waktu itu mencerminkan komitmen dari Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.  

Pernyataan itu dibuat sehari setelah Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Kim bertemu di Pyongyang untuk membahas langkah lanjutan dalam proses perdamaian. Sepertinya damai di Semenanjung Korea semakin nyata dan denuklirisasi kian dekat. 

Dari dalam negeri, sentimen positif datang dari penguatan rupiah. Hingga akhir perdagangan, rupiah menguat 0,2% di pasar spot. Rupiah bahkan menjadi mata uang dengan performa terbaik di Asia pada perdagangan kemarin. 


Rupiah dan sebagian mata uang utama Asia mampu memanfaatkan tekanan yang dialami dolar AS. Sempat hampir bangkit, greenback lesu lagi seolah kehilangan tenaga. 

Ternyata sentimen negatif dari perang dagang AS vs China lebih dominan dan menjadi pemberat laju dolar AS. Biasanya, pelaku pasar merespons isu perang dagang dengan memasang mode risk-on, ogah mengambil risiko. Maklum, perang dagang antar dua raksasa ekonomi dunia itu dapat mempengaruhi arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia.  

Perilaku ini menyebabkan flight to quality, yaitu perpindahan dana ke aset-aset yang dinilai lebih aman dan menjanjikan. Dolar AS adalah salah satunya. Oleh karena itu, perang dagang awalnya menjadi momentum bagi laju dolar AS karena tingginya permintaan terhadap mata uang ini.  

Namun sekarang situasinya berbeda. Pelaku pasar justru khawatir perang dagang bakal melukai ekonomi AS sendiri. Sebab, bagaimanapun AS masih butuh barang impor dari China, baik itu bahan baku, barang modal, sampai barang konsumsi.  

Jika impor produk China menjadi mahal karena bea masuk, maka akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Hasilnya bisa berupa inflasi, penurunan produksi manufaktur, sampai perlambatan investasi dan pertumbuhan ekonomi.  

Selain itu, dolar AS juga dinilai sudah menguat terlalu lama. Dalam 6 bulan terakhir, Dollar Index masih menguat tajam di kisaran 5%. Dolar AS yang terlalu kuat bisa menjadi senjata makan tuan. Ekspor AS menjadi kurang kompetitif karena barang-barang made in USA lebih mahal di pasar dunia.  

Oleh karena itu, sekarang dolar AS justru 'dihukum' saat perang dagang bergelora. Tekanan terhadap dolar AS mampu dimanfaatkan dengan baik oleh rupiah dan mampu menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama mampu membukukan penguatan. Dow Jones Indusrial Average (DJIA) naik 0,99%, S&P 500 bertambah 0,78%, dan Nasdaq Composite melesat 1,05%.  

Bahkan DJIA dan S&P 500 menyentuh titik tertinggi sepanjang masa. Sepertinya investor di bursa saham New York sudah moved on dari isu perang dagang AS vs China. 

Bintang di Wall Street tetap saham-saham teknologi, yang membuat Nasdaq menguat di kisaran 1%. Saham Intel melejit 2,28%, Microsoft lompat 1,67%, Facebook tedongrak 1,82%, Apple naik 0,76%, Amazon menguat 0,93%, Google melesat 1,47%, dan Twitter melonjak 1,12%. 

Sedangkan yang menjadi pemberat Wall Street adalah saham-saham perusahaan pertahanan. Northrop Grumman anjlok 3,47%, Lochheed Martin turun 1,82%, dan Raytheon jauh 2,12%.

Penyebabnya adalah perdamaian dan denuklirisasi di Semenanjung Korea yang semakin terasa. Tidak ada konflik berarti menurunkan laba perusahaan pembuat senjata dan investor tidak suka itu, seperti saat Tony Stark memutuskan Stark Industries tidak lagi membuat senjata. 

Euforia memang tengah melanda Wall Street. Namun  perlu diingat bahwa tantangan ke depan masih berat sehingga investor perlu berhati-hati. 

"Pasar saham seperti orang yang mabuk di puncak gunung. Orang ini bergoyang-goyang, dan namanya orang mabuk pasti akan jatuh. Kita hanya tidak tahu kapan dia jatuh dan seberapa parah," tutur Bernard Baumohl, Chief Global Economist di Economic Outlook Group yang berbasis di New Jersey, seperti dikutip Reuters. 


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang oke. Diharapkan performa Wall Street bisa menular ke bursa saham Asia, termasuk Indonesia. 

Sentimen kedua adalah perang dagang AS vs China. Walau baranya sudah mendingin, tetapi pelaku pasar sebaiknya jangan menganggap remeh. Sebab sejauh ini belum ada jaminan pasti kedua negara akan berdamai.

Bumbu-bumbu ketegangan juga masih ada. Kemarin, Ma Yun alias Jack Ma (pendiri raksasa ritel Alibaba) menyatakan bahwa perusahaannya tidak lagi memiliki niatan untuk membawa 1 juta lapangan pekerjaan ke AS. Hal ini menyusul berkecamuknya perang dagang Washington-Beijing. 

"Janji yang kita buat berdasarkan premis hubungan AS-China yang bersahabat serta hubungan dagang yang rasional. Premis itu tidak lagi eksis pada hari ini, sehingga janji kita tidak bisa dipenuhi," tegas Ma, dikutip dari kantor berita Xinhua. 

Kemudian, Menteri Perdagangan China juga menyatakan bahwa negaranya berharap AS memperbaiki perilakunya. Padahal selama ini justru AS yang selalu menuduh China melakukan kecurangan dalam berbisnis. Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow malah sempat menyebutkan bahwa reformasi ekonomi China beranjak ke arah yang keliru. 

Kedua pihak yang sama-sama keras kepala ini tampaknya mengindikasikan bahwa kisruh dagang akan memakan waktu lebih panjang hingga benar-benar selesai. Selama itu pula pelaku pasar harus tetap waspada. 

Sentimen ketiga adalah harga minyak, yang terkoreksi setelah menguat 3 hari beruntun. Salah satu faktor yang membuat harga si emas hitam mundur teratur adalah pernyataan Presiden Trump. 

"Kami melindungi negara-negara Timur Tengah, mereka tidak akan aman selama ini tanpa kami. Namun mereka terus mendorong harga minyak untuk naik! Kami akan mengingat ini. OPEC (Organisasi Negara-negara Ekspor Minyak) harus menurunkan harga sekarang!" tegas Trump melalui cuitan di Twitter. 

Sebelumnya, seorang sumber mengatakan kepada Reuters bahwa belum ada rencana darurat dari OPEC untuk menambal pasokan Iran dan Venezuela. Akhir pekan ini menteri energi negara-negara OPEC dan produsen non-OPEC dijadwalkan bertemu untuk mendiskusikan kepatuhan terhadap pemangkasan produksi. 

Sejumlah negara-negara produsen minyak itu dikabarkan masih akan mendiskusikan lebih lanjut bagaimana pembagian porsi peningkatan produksi sesuai dengan kerangka kuota masing-masing. Namun belum ada langkah yang tergesa-gesa dari OPEC. 

Saat harga minyak melemah, tentunya akan menyuntikkan energi negatif bagi saham-saham emiten migas dan pertambangan. Dikhawatirkan sentimen negatif ini akan menjadi pemberat bagi IHSG secara keseluruhan. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data pembacaan awal indeks PMI manufaktur dan jasa zona Eropa periode September 2018 (15:00 WIB).
  • Rilis data pembacaan awal indeks PMI manufaktur dan jasa AS periode September 2018 (14:15 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Asia Pacific Investama Tbk (MYTX)RUPS Tahunan09:30
PT Gading Development Tbk (GAMA)RUPSLB10:00
PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA)RUPSLB14:00
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Agustus 2018 YoY)3.20%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Agustus 2018)US$ 117.9 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular