
Newsletter
AS-China Siap Damai Dagang, Tapi Donald Trump Masih Songong
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 September 2018 06:00

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat dengan penguatan signifikan sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 1,04%. IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang juga mengakhiri hari di teritori positif. Indeks Nikkei 225 naik 0,96%, Hang Seng melompat 2,54%, Shanghai Composite melejit 1,15%, Kospi naik 0,14%, dan Straits Time bertambah 0,23%.
Faktor utama pendorong kinerja bursa saham Benua Kuning adalah kabar rencana perundingan dagang AS-China. Mengutip Wall Street Journal, Washington telah mengontak Beijing untuk membahas rencana dialog perdagangan.
Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin diberitakan telah mengirim undangan kepada sejumlah pejabat di China, termasuk Perdana Menteri Liu He, untuk berbicara soal isu-isu perdagangan. Sumber di lingkaran Gedung Putih mengungkapkan, waktu dan tempat pertemuan belum jelas, tetapi kemungkinan terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Jika perundingan jadi dilakukan, maka pelaku pasar berharap bahwa bea masuk baru bagi produk impor asal China senilai US$ 200 miliar yang sudah melewati tahap dengar pendapat tidak jadi diterapkan oleh AS. Pasalnya, besarnya nilai barang yang disasar pasti mempengaruhi laju perekonomian kedua negara.
Perkembangan ini menciptakan euforia di kalangan pelaku pasar Asia. Pertemuan AS-China diharapkan mampu menelurkan hasil positif yang bisa menghapuskan friksi dagang di antara mereka.
Perang dagang AS-China adalah sebuah isu besar yang dampaknya bukan hanya dirasakan kedua negara, tetapi bisa mengglobal. Sebab, AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di dunia sehingga saat mereka saling hambat maka arus perdagangan dunia akan macet dan ini tentu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Kini, ada harapan risiko besar itu tidak terjadi. Maka tidak heran pelaku pasar hanyut dalam optimisme sehingga berani mengambil aset-aset berisiko di negara berkembang Asia.
Namun rupiah tidak seberuntung IHSG. Pada perdagangan kemarin, rupiah melemah 0,1% di hadapan dolar AS. Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Asia pun berguguran, hanya menyisakan yuan China, rupee India, dan baht Thailand yang bisa menguat.
Sentimen damai dagang AS-China ternyata tidak cukup untuk membuat dolar AS memperlambat lajunya. Setidaknya ada dua alasan penguatan dolar AS.
Pertama, investor memburu dolar AS karena harganya sudah murah. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,4% dan selama sebulan ke belakang koreksinya mencapai 1,62%.
Pelemahan ini membuat harga dolar AS menjadi semakin terjangkau. Ini tentu menarik minat investor, sehingga permintaan terhadap mata uang ini meningkat. Permintaan yang naik tentu membuat harga mata uang ini naik alias menguat.
Kedua, investor merapat ke dolar AS sembari menanti keputusan suku bunga acuan di tiga bank sentral yaitu Bank Sentral Uni Eropa (ECB), Bank Sentral Inggris (BoE), dan Bank Sentral Turki (TCMB). Kecenderungan ini membuat laju dolar AS tidak tertahankan dan kembali menjadi raja mata uang dunia.
Dari Wall Street, tiga indeks utama mampu mencatatkan penguatan. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,57%, S&P 500 bertambah 0,53%, dan Nasdaq Composite surplus 0,98%.
Dari penguatan Nasdaq yang paling tinggi di antara indeks lainnya terlihat bahwa saham-saham teknologi menjadi pendorong laju Wall Street. Itu memang benar. Bursa saham New York terdongkrak akibat lesatan saham-saham teknologi, terutama Apple.
Setelah anjlok karena di-bully akibat rilis iPhone seri terbaru yang minim terobosan, hari ini investor kembali memborong saham Apple. Akibatnya, harga saham emiten dengan kapitalisasi pasar US$ 1,09 triliun (Rp 16.068 triliun dengan kurs saat ini) ini melonjak 2,41%.
Kenaikan harga saham Apple memicu reaksi berantai ke emiten teknologi lainnya. Saham Alphabet (induk usaha Google) naik 0,89%, Twitter meroket 2,15%, Microsoft melaju 1,07%, dan Intel melompat 1,42%.
Selain itu, aura damai dagang AS-China juga menjadi tema penguatan Wall Street. Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengonfirmasi bahwa AS memang mengundang China untuk berdialog mengenai perdagangan.
"Ada diskusi dan informasi bahwa pemerintah China ingin mengadakan pembicaraan. Jadi, Menkeu Mnuchin selaku pimpinan delegasi mengirimkan undangan," ungkap Kudlow, mengutip Reuters.
Sementara Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, juga mengungkapkan telah menerima dengan baik undangan dari AS dan kedua negara sedang merumuskan detil-detil soal pertemuan tersebut.
"China selalu berpandangan bahwa eskalasi konflik perdagangan tidak akan menguntungkan siapa pun. Bahkan, dalam pembicaraan awal bulan lalu di Washington, kedua negara telah membahas berbagai bentuk kontak," kata Geng, dikutip dari Reuters.
Reuters memberitakan, mengutip dua orang sumber di lingkaran pemerintahan AS, Mnuchin terlah mengirimkan undangan ke sejumlah pejabat tinggi China termasuk Wakil Perdana Menteri Liu He. Pertemuan akan digelar dalam beberapa pekan ke depan, di lokasi yang masih akan dibahas.
Aura damai dagang AS-China yang semakin nyata membuat investor tidak lagi bermain aman. Kini, pelaku pasar sudah berani mengoleksi aset-aset berisiko seperti saham karena ada kemungkinan salah satu risiko besar yaitu perang dagang AS-China bisa diselesaikan.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang ciamik. Hijaunya Wall Street diharapkan menular hingga ke Asia, termasuk IHSG.
Kedua adalah prospek damai dagang AS-China, yang sejak kemarin membuat pasar saham Asia bergairah dan berhasil melesatkan Wall Street. Hari ini, hawa damai dagang itu kian nyata dengan konfirmasi dari Washington dan Beijing.
Namun, pelaku pasar juga perlu waspada karena Presiden AS Donald Trump punya gengsi selangit. Egonya bisa menghancurkan harapan hubungan AS-China yang sedang mengarah ke tahap harmonis.
"Kami tidak ada tekanan untuk membuat kesepakatan dengan China, merekalah yang harus membuat kesepakatan dengan kami. Pasar kami melaju, pasar mereka anjlok. Kami juga akan segera menerapkan bea masuk dan membuat produk di dalam negeri. Kalau kami bertemu, ya bertemu saja," cuit Trump di Twitter.
Bukan hanya Trump yang bisa menghancurkan suasana, Kudlow pun tidak bisa menjanjikan bahwa pertemuan AS-China nantinya bakal menelurkan hasil signifikan. Walau ada pertemuan di level kabinet antar dua negara, Kudlow tidak bisa memastikan akan ada gebrakan penting.
"Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa," ujarnya, dikutip dari Reuters.
Sikap AS yang songong itu membuat China tidak ingin terlalu terbuai. Bahkan China juga lebih hati-hati dalam menyikapi rencana pertemuan ini, karena bisa saja tidak menghasilkan apapun.
"Sikap Washington masih keras, mereka tetap menjalan strategi bicara dan berkelahi. Dengan begitu, mereka bisa memuaskan warganya dan membuat China mengurungkan niat baiknya. China tidak perlu banyak berharap, mungkin ini bukan saatnya kedua negara mencapai kesepakatan," tulis tajuk Global Times, harian yang dikelola Partai Komunis China.
Oleh karena itu, pelaku pasar pun sebaiknya tidak terlampau larut dalam euforia. Masih ada berbagai risiko yang menyelimuti rencana pertemuan AS-China. Investor harus mencermati perkembangan dari risiko-risiko tersebut.
Sentimen ketiga adalah perkembangan nilai tukar dolar AS. Pada pukul 05:10 WIB, Dollar Index melemah 0,27%. Ini bisa menjadi peluang bagi rupiah dan mata uang Asia untuk kembali menguat.
Tekanan dolar AS terjadi karena rencana damai dagang AS-China. Walau masih ada risiko, tetapi perkembangan yang ada sudah cukup membuat investor memasang mode risk off, tidak peduli dengan risiko. Aset-aset aman seperti dolar AS ditinggalkan, dan investor mencari cuan yang lebih besar di negara-negara lainnya.
Selain itu, faktor domestik AS juga ikut membebani langkah greenback. Kementerian Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi laju inflasi domestik sebesar 0,2% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada Agustus. Lebih lambat dari konsensus Reuters yaitu 0,3%.
Secara tahunan (year-on-year/YoY), inflasi tercatat sebesar 2,7% di bulan lalu. Pencapaian ini melambat dibandingkan Juli yang sebesar 2,9%.
Inflasi inti (mengeluarkan komponen makanan bergejolak dan energi) tercatat 0,1% MtM, juga lebih lambat dari ekspektasi pasar sebesar 0,2%. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, inflasi inti adalah 2,2% YoY, melambat dari bulan sebelumnya yaitu 2,4%.
Perkembangan ini memunculkan persepsi bahwa pemulihan ekonomi AS belum secepat yang diperkirakan. Laju kenaikan harga ternyata masih terhambat, belum terakselerasi secara konsisten.
Ada kemungkinan, walau sangat tipis, The Federal Reserve/The Fed berpikir ulang untuk menerapkan kebijakan moneter ekstra ketat. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan pada rapat The Fed bulan ini memang masih sangat tinggi yaitu 95%. Namun sebenarnya angka ini menipis, karena beberapa waktu lalu sempat mencapai kisaran 98-99%.
Dibayangi penurunan potensi kenaikan suku bunga acuan, dolar AS kehilangan kekuatan untuk melanjutkan penguatan. Akibatnya, dolar AS pun tertekan.
Namun, investor juga perlu waspada karena dolar AS masih menyimpan energi untuk menguat. Energi itu berasal dari keputusan suku bunga acuan di Eropa yang sesuai ekspektasi, tidak ada kejutan yang berarti.
ECB tetap mempertahankan suku bunga acuan di 0%. Stimulus berupa pembelian surat-surat berharga akan dikurangi setengah menjadi 15 miliar euro mulai bulan depan, seperti yang sudah diperkirakan. Biasanya ECB membeli surat-surat berharga senilai 30 miliar euro, tetapi bulan depan akan mulai berkurang separuhnya untuk diakhiri pada Desember.
Soal suku bunga acuan, ECB juga masih pada posisinya yaitu tetap di posisi sekarang sampai setidaknya pertengahan tahun depan. Horizon yang agak jangka panjang ini di luar kebiasaan bank sentral pada umumnya.
"Dewan memperkirakan suku bunga acuan tetap di besaran saat ini setidaknya sampai musim panas 2019. Bahkan selama mungkin jika diperlukan," sebut pernyataan ECB.
BoE juga tidak mengubah suku bunga di 0,75% karena memang baru dinaikkan bulan lalu. Bahkan BoE memberikan nuansa yang lebih suram pada rapat kali ini.
"Sejak rapat sebelumnya, ada indikasi, utamanya di pasar keuangan, ketidakpastian yang lebih besar tentang proses pengunduran diri Inggris dari Uni Eropa (Brexit)," sebut pernyataan BoE.
Turki memang menaikkan suku bunga acuan dari 17,75% menjadi 24% atau melonjak 625 basis poin (bps). Lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yaitu naik menjadi 22%. Namun sebenarnya angka 24% masih masuk hitungan, karena pasar memperkirakan suku bunga naik dalam kisaran 225-725 bps.
Dinamika rapat bank sentral di Eropa yang relatif minim kejutan bisa membuat dolar AS lagi-lagi menjadi pilihan utama pelaku pasar, seperti yang terjadi kemarin. Jika ini terulang, maka dolar AS lagi-lagi seng ada lawan dan menjadi raja mata uang dunia. Oleh karena itu, rupiah dan kolega di Asia harus tetap waspada.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Kemarin, IHSG ditutup menguat 1,04%. IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang juga mengakhiri hari di teritori positif. Indeks Nikkei 225 naik 0,96%, Hang Seng melompat 2,54%, Shanghai Composite melejit 1,15%, Kospi naik 0,14%, dan Straits Time bertambah 0,23%.
Faktor utama pendorong kinerja bursa saham Benua Kuning adalah kabar rencana perundingan dagang AS-China. Mengutip Wall Street Journal, Washington telah mengontak Beijing untuk membahas rencana dialog perdagangan.
Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin diberitakan telah mengirim undangan kepada sejumlah pejabat di China, termasuk Perdana Menteri Liu He, untuk berbicara soal isu-isu perdagangan. Sumber di lingkaran Gedung Putih mengungkapkan, waktu dan tempat pertemuan belum jelas, tetapi kemungkinan terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Jika perundingan jadi dilakukan, maka pelaku pasar berharap bahwa bea masuk baru bagi produk impor asal China senilai US$ 200 miliar yang sudah melewati tahap dengar pendapat tidak jadi diterapkan oleh AS. Pasalnya, besarnya nilai barang yang disasar pasti mempengaruhi laju perekonomian kedua negara.
Perkembangan ini menciptakan euforia di kalangan pelaku pasar Asia. Pertemuan AS-China diharapkan mampu menelurkan hasil positif yang bisa menghapuskan friksi dagang di antara mereka.
Perang dagang AS-China adalah sebuah isu besar yang dampaknya bukan hanya dirasakan kedua negara, tetapi bisa mengglobal. Sebab, AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di dunia sehingga saat mereka saling hambat maka arus perdagangan dunia akan macet dan ini tentu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Kini, ada harapan risiko besar itu tidak terjadi. Maka tidak heran pelaku pasar hanyut dalam optimisme sehingga berani mengambil aset-aset berisiko di negara berkembang Asia.
Namun rupiah tidak seberuntung IHSG. Pada perdagangan kemarin, rupiah melemah 0,1% di hadapan dolar AS. Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Asia pun berguguran, hanya menyisakan yuan China, rupee India, dan baht Thailand yang bisa menguat.
Sentimen damai dagang AS-China ternyata tidak cukup untuk membuat dolar AS memperlambat lajunya. Setidaknya ada dua alasan penguatan dolar AS.
Pertama, investor memburu dolar AS karena harganya sudah murah. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,4% dan selama sebulan ke belakang koreksinya mencapai 1,62%.
Pelemahan ini membuat harga dolar AS menjadi semakin terjangkau. Ini tentu menarik minat investor, sehingga permintaan terhadap mata uang ini meningkat. Permintaan yang naik tentu membuat harga mata uang ini naik alias menguat.
Kedua, investor merapat ke dolar AS sembari menanti keputusan suku bunga acuan di tiga bank sentral yaitu Bank Sentral Uni Eropa (ECB), Bank Sentral Inggris (BoE), dan Bank Sentral Turki (TCMB). Kecenderungan ini membuat laju dolar AS tidak tertahankan dan kembali menjadi raja mata uang dunia.
Dari Wall Street, tiga indeks utama mampu mencatatkan penguatan. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,57%, S&P 500 bertambah 0,53%, dan Nasdaq Composite surplus 0,98%.
Dari penguatan Nasdaq yang paling tinggi di antara indeks lainnya terlihat bahwa saham-saham teknologi menjadi pendorong laju Wall Street. Itu memang benar. Bursa saham New York terdongkrak akibat lesatan saham-saham teknologi, terutama Apple.
Setelah anjlok karena di-bully akibat rilis iPhone seri terbaru yang minim terobosan, hari ini investor kembali memborong saham Apple. Akibatnya, harga saham emiten dengan kapitalisasi pasar US$ 1,09 triliun (Rp 16.068 triliun dengan kurs saat ini) ini melonjak 2,41%.
Kenaikan harga saham Apple memicu reaksi berantai ke emiten teknologi lainnya. Saham Alphabet (induk usaha Google) naik 0,89%, Twitter meroket 2,15%, Microsoft melaju 1,07%, dan Intel melompat 1,42%.
Selain itu, aura damai dagang AS-China juga menjadi tema penguatan Wall Street. Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengonfirmasi bahwa AS memang mengundang China untuk berdialog mengenai perdagangan.
"Ada diskusi dan informasi bahwa pemerintah China ingin mengadakan pembicaraan. Jadi, Menkeu Mnuchin selaku pimpinan delegasi mengirimkan undangan," ungkap Kudlow, mengutip Reuters.
Sementara Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, juga mengungkapkan telah menerima dengan baik undangan dari AS dan kedua negara sedang merumuskan detil-detil soal pertemuan tersebut.
"China selalu berpandangan bahwa eskalasi konflik perdagangan tidak akan menguntungkan siapa pun. Bahkan, dalam pembicaraan awal bulan lalu di Washington, kedua negara telah membahas berbagai bentuk kontak," kata Geng, dikutip dari Reuters.
Reuters memberitakan, mengutip dua orang sumber di lingkaran pemerintahan AS, Mnuchin terlah mengirimkan undangan ke sejumlah pejabat tinggi China termasuk Wakil Perdana Menteri Liu He. Pertemuan akan digelar dalam beberapa pekan ke depan, di lokasi yang masih akan dibahas.
Aura damai dagang AS-China yang semakin nyata membuat investor tidak lagi bermain aman. Kini, pelaku pasar sudah berani mengoleksi aset-aset berisiko seperti saham karena ada kemungkinan salah satu risiko besar yaitu perang dagang AS-China bisa diselesaikan.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang ciamik. Hijaunya Wall Street diharapkan menular hingga ke Asia, termasuk IHSG.
Kedua adalah prospek damai dagang AS-China, yang sejak kemarin membuat pasar saham Asia bergairah dan berhasil melesatkan Wall Street. Hari ini, hawa damai dagang itu kian nyata dengan konfirmasi dari Washington dan Beijing.
Namun, pelaku pasar juga perlu waspada karena Presiden AS Donald Trump punya gengsi selangit. Egonya bisa menghancurkan harapan hubungan AS-China yang sedang mengarah ke tahap harmonis.
"Kami tidak ada tekanan untuk membuat kesepakatan dengan China, merekalah yang harus membuat kesepakatan dengan kami. Pasar kami melaju, pasar mereka anjlok. Kami juga akan segera menerapkan bea masuk dan membuat produk di dalam negeri. Kalau kami bertemu, ya bertemu saja," cuit Trump di Twitter.
Bukan hanya Trump yang bisa menghancurkan suasana, Kudlow pun tidak bisa menjanjikan bahwa pertemuan AS-China nantinya bakal menelurkan hasil signifikan. Walau ada pertemuan di level kabinet antar dua negara, Kudlow tidak bisa memastikan akan ada gebrakan penting.
"Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa," ujarnya, dikutip dari Reuters.
Sikap AS yang songong itu membuat China tidak ingin terlalu terbuai. Bahkan China juga lebih hati-hati dalam menyikapi rencana pertemuan ini, karena bisa saja tidak menghasilkan apapun.
"Sikap Washington masih keras, mereka tetap menjalan strategi bicara dan berkelahi. Dengan begitu, mereka bisa memuaskan warganya dan membuat China mengurungkan niat baiknya. China tidak perlu banyak berharap, mungkin ini bukan saatnya kedua negara mencapai kesepakatan," tulis tajuk Global Times, harian yang dikelola Partai Komunis China.
Oleh karena itu, pelaku pasar pun sebaiknya tidak terlampau larut dalam euforia. Masih ada berbagai risiko yang menyelimuti rencana pertemuan AS-China. Investor harus mencermati perkembangan dari risiko-risiko tersebut.
Sentimen ketiga adalah perkembangan nilai tukar dolar AS. Pada pukul 05:10 WIB, Dollar Index melemah 0,27%. Ini bisa menjadi peluang bagi rupiah dan mata uang Asia untuk kembali menguat.
Tekanan dolar AS terjadi karena rencana damai dagang AS-China. Walau masih ada risiko, tetapi perkembangan yang ada sudah cukup membuat investor memasang mode risk off, tidak peduli dengan risiko. Aset-aset aman seperti dolar AS ditinggalkan, dan investor mencari cuan yang lebih besar di negara-negara lainnya.
Selain itu, faktor domestik AS juga ikut membebani langkah greenback. Kementerian Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi laju inflasi domestik sebesar 0,2% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada Agustus. Lebih lambat dari konsensus Reuters yaitu 0,3%.
Secara tahunan (year-on-year/YoY), inflasi tercatat sebesar 2,7% di bulan lalu. Pencapaian ini melambat dibandingkan Juli yang sebesar 2,9%.
Inflasi inti (mengeluarkan komponen makanan bergejolak dan energi) tercatat 0,1% MtM, juga lebih lambat dari ekspektasi pasar sebesar 0,2%. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, inflasi inti adalah 2,2% YoY, melambat dari bulan sebelumnya yaitu 2,4%.
Perkembangan ini memunculkan persepsi bahwa pemulihan ekonomi AS belum secepat yang diperkirakan. Laju kenaikan harga ternyata masih terhambat, belum terakselerasi secara konsisten.
Ada kemungkinan, walau sangat tipis, The Federal Reserve/The Fed berpikir ulang untuk menerapkan kebijakan moneter ekstra ketat. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan pada rapat The Fed bulan ini memang masih sangat tinggi yaitu 95%. Namun sebenarnya angka ini menipis, karena beberapa waktu lalu sempat mencapai kisaran 98-99%.
Dibayangi penurunan potensi kenaikan suku bunga acuan, dolar AS kehilangan kekuatan untuk melanjutkan penguatan. Akibatnya, dolar AS pun tertekan.
Namun, investor juga perlu waspada karena dolar AS masih menyimpan energi untuk menguat. Energi itu berasal dari keputusan suku bunga acuan di Eropa yang sesuai ekspektasi, tidak ada kejutan yang berarti.
ECB tetap mempertahankan suku bunga acuan di 0%. Stimulus berupa pembelian surat-surat berharga akan dikurangi setengah menjadi 15 miliar euro mulai bulan depan, seperti yang sudah diperkirakan. Biasanya ECB membeli surat-surat berharga senilai 30 miliar euro, tetapi bulan depan akan mulai berkurang separuhnya untuk diakhiri pada Desember.
Soal suku bunga acuan, ECB juga masih pada posisinya yaitu tetap di posisi sekarang sampai setidaknya pertengahan tahun depan. Horizon yang agak jangka panjang ini di luar kebiasaan bank sentral pada umumnya.
"Dewan memperkirakan suku bunga acuan tetap di besaran saat ini setidaknya sampai musim panas 2019. Bahkan selama mungkin jika diperlukan," sebut pernyataan ECB.
BoE juga tidak mengubah suku bunga di 0,75% karena memang baru dinaikkan bulan lalu. Bahkan BoE memberikan nuansa yang lebih suram pada rapat kali ini.
"Sejak rapat sebelumnya, ada indikasi, utamanya di pasar keuangan, ketidakpastian yang lebih besar tentang proses pengunduran diri Inggris dari Uni Eropa (Brexit)," sebut pernyataan BoE.
Turki memang menaikkan suku bunga acuan dari 17,75% menjadi 24% atau melonjak 625 basis poin (bps). Lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yaitu naik menjadi 22%. Namun sebenarnya angka 24% masih masuk hitungan, karena pasar memperkirakan suku bunga naik dalam kisaran 225-725 bps.
Dinamika rapat bank sentral di Eropa yang relatif minim kejutan bisa membuat dolar AS lagi-lagi menjadi pilihan utama pelaku pasar, seperti yang terjadi kemarin. Jika ini terulang, maka dolar AS lagi-lagi seng ada lawan dan menjadi raja mata uang dunia. Oleh karena itu, rupiah dan kolega di Asia harus tetap waspada.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data Investasi Aset Tetap China periode Agustus 2018 (09:00 WIB).
- Rilis data produksi industri China periode Agustus 2018 (09:00 WIB).
- Pidato Gubernur Bank of England Mark Carney di Whitaker Lecture (17:00 WIB).
- Rilis data penjualan ritel AS periode Agustus 2018 (19:30 WIB).
- Rilis data pendahuluan sentimen konsumen AS versi University of Michigan periode September 2018 (21:00 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) | RUPSLB | 09:30 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY) | 5.27% |
Inflasi (Agustus 2018 YoY) | 3.20% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q II-2018) | -3.04% PDB |
Neraca pembayaran (Q II-2018) | -US$ 4.31 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2018) | US$ 117.9 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Most Popular