Newsletter

Ada Angin Surga dari Amerika, Rupiah Bisa Berjaya?

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
27 August 2018 05:54
Ada Angin Surga dari Amerika, Rupiah Bisa Berjaya?
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu, pasar keuangan Indonesia bergerak variatif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat tajam, tetapi nilai tukar rupiah melemah meski relatif terbatas. 

Sepanjang perdagangan seminggu kemarin, IHSG membukukan penguatan 3,2%. IHSG bisa dibilang menjadi yang terbaik di Asia. Indeks Nikkei 225 menguat 0,77%, Hang Seng naik 1,68%, Shanghai Composite melejit 2,27%, Kospi lompat 2,05%, dan Straits Time bertambah 0,82%. 

Pada awal pekan lalu, bursa regional mendapatkan suntikan energi positif dari optimisme investor terhadap pertemuan Amerika Serikat (AS) dan China di Washington. Meski banyak pihak (termasuk Presiden AS Donald Trump) menyangsikan pertemuan ini akan menghasilkan sesuatu yang signifikan, namun pelaku pasar berharap hal ini menjadi awal bagi dialog yang lebih konstruktif.  

Perang dagang AS vs China yang memanas sejak awal tahun ini adalah sebuah isu besar yang menjadi perhatian pasar. Sebab, perang dagang berisiko menghambat arus perdagangan dan membuat pertumbuhan ekonomi global mengkerut.  

Kajian Bank Dunia menyebutkan, perang dagang akan menggerus perekonomian AS, China, dan Uni Eropa sekitar 1%. Sementara negara-negara berkembang akan merasakan dampak yang sedikit lebih besar, yaitu penurunan sekitar 1,1%. 

Kemudian, pasar keuangan Benua Kuning juga mendapat berkah akibat kritik Trump kepada The Federal Reserve/The Fed. Dalam wawancara dengan Reuters, Trump mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan keputusan the Federal Reserve yang dinilai terlampau agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.  

"Saya tidak terkejut The Fed menaikkan suku bunga. Namun seharusnya The Fed bekerja untuk kebaikan negara. The Fed seharusnya membantu saya, negara-negara lain masih akomodatif (dalam kebijakan moneter)," tuturnya. 

Komentar Trump membuat pasar cemas, karena bisa mengarah ke intervensi terhadap kebijakan moneter. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan marwah independensi bank sentral yang sangat dijunjung tinggi. Pasar pun dibuat cemas bahwa kenaikan suku bunga acuan tak akan mencapai empat kali tahun ini.   

Kekecewaan investor dilampiaskan dengan melepas dolar AS dan aset-aset berbasis mata uang ini. Dana-dana yang keluar dari AS hinggap ke pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.  

Selain itu, dari dalam negeri, investor merespons positif kencangnya penjualan mobil. Angka penjualan wholesale (grosir) kendaraan roda empat tercatat 107.431 unit sepanjang Juli 2018, rekor tertinggi sepanjang sejarah. Secara kumulatif, penjualan periode Januari-Juli 2018 mencapai 661.093 unit, naik 6,82% dari periode yang sama tahun lalu.  

Sebagai tambahan, kencangnya penyaluran kredit juga membawa angin segar bagi IHSG. Sepanjang Juni 2018, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penyaluran kredit bank umum kepada pihak ketiga tumbuh sebesar 10,8% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh mengalahkan capaian periode yang sama tahun 2017 yang hanya sebesar 7,7% YoY. Capaian tersebut juga mengalahkan angka bulan Mei yang sebesar 10,3% YoY. 

Namun di sisi lain, nilai tukar rupiah melemah tipis 0,22% di hadapan dolar AS sepanjang pekan lalu. Pada dua hari perdagangan awal pekan, rupiah sempat menguat mengikuti IHSG. Akan tetapi, rupiah berbalik arah saat pasar dibuka kembali setelah libur Hari Raya Idul Adha. 

Penyebabnya adalah dolar AS kembali mendapatkan kekuatannya dari rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Fed edisi Agustus 2018. Dalam rapat tersebut, Jerome Powell dan sejawat memberi petunjuk yang lebih jelas mengenai kenaikan suku bunga, yang disebut akan dilakukan segera.   

"Para peserta rapat menyatakan bahwa jika data-data ke depan mendukung proyeksi ekonomi, maka sudah saatnya menempuh langkah lanjutan untuk menghilangkan kebijakan yang akomodatif," sebut notulensi itu.  

The Fed melihat perekonomian AS, baik dari sisi pengusaha maupun rumah tangga, sedang dalam momentum yang baik. Oleh karena itu, ekonomi akan tumbuh dan menciptakan dampak inflasi. Melihat hal tersebut, The Fed tidak akan lagi menyebut kebijakan moneter sebagai instrumen untuk mendorong perekonomian.  

Merespons rilis tersebut, investor semakin yakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan bulan depan. Mengutip CME Fedwatch per 26 Agustus 2018, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 2-2,5% pada bulan September 2018 mencapai 96%. 

Dengan kenaikan suku bunga, maka berinvestasi di aset-aset berbasis greenback menjadi lebih menguntungkan karena imbalannya naik. Hal ini lantas membuat dolar AS perkasa di hadapan mata uang dunia, termasuk di Asia.  

Dari Wall Street, tiga indeks utama mencatatkan penguatan sepanjang pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,47%, S&P 500 menguat 0,87%, dan Nasdaq Composite melesat 1,66%.  

Sementara pada perdagangan akhir pekan lalu, tiga indeks ini juga mampu membukukan kenaikan. DJIA naik 0,52%, S&P 500 menguat 0,62%, dan Nasdaq bertambah 0,97%. 

Penyebab laju penguatan bursa saham New York akhir pekan lalu adalah pidato Jerome Powell di pertemuan tahunan The Fed di Jackson Hole, Wyoming. Dalam pidato tersebut, Powell menyebutkan kenaikan suku bunga acuan merupakan langkah terbaik untuk melindungi pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam. 

"Ekonomi kita kuat. Inflasi mendekati target 2%, dan banyak orang sudah mendapatkan pekerjaan. Jika pertumbuhan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja ini terus terjadi, maka kenaikan suku bunga acuan secara bertahap memang sudah selayaknya dilakukan," sebut Powell, mengutip Reuters. 

Pernyataan Powell itu dibaca oleh pelaku pasar seolah menjadi penegasan bahwa The Fed tidak bisa diintervensi oleh siapa pun, termasuk Presiden Trump. Pekan lalu, Trump terang-terangan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan The Fed yang terus menaikkan suku bunga acuan. 

"Dengan angka pengangguran yang rendah, mengapa kami mengetatkan kebijakan moneter? Dengan problem inflasi yang belum kelihatan, mengapa kami mengetatkan kebijakan moneter yang bisa menghambat penciptaan lapangan kerja dan ekspansi ekonomi? Kami hanya ingin bergerak hati-hati. Kenaikan suku bunga secara gradual adalah langkah kami untuk mengatasi risiko tersebut (inflasi dan ekspansi ekonomi yang terlalu kencang)," ungkap Powell. 

Pelaku pasar merespons positif pernyataan-pernyataan Powell. Apa yang disebutkan Powell menjadi konfirmasi atas keyakinan pasar, bahwa ekonomi AS memang terus membaik. Salah satunya tercermin dari data terbaru yaitu pemesanan barang modal buatan AS.

Pada Juli, pemesanan barang modal made in USA naik 1,4% secara YoY. Lebih baik dibandingkan Juni yang tumbuh 0,9% YoY. 

"Apa yang dikatakan Powell adalah sesuatu yang ingin didengarkan oleh pasar. Data-data ekonomi yang kuat menjadi perhatian, dan Powell tahu itu," kata Oliver Pursche, Chief Market Strategist di Bruderman Aset Management yang berbasis di New York, dikutip dari Reuters. 

Meski positif bagi Wall Street, pidato Powell tersebut ternyata menjadi sentimen negatif bagi dolar AS. Pasalnya, Powell tidak memberikan petunjuk yang jelas mengenai kenaikan suku bunga acuan dua kali lagi sampai akhir tahun, atau empat kali sepanjang 2018. Pidato Powell seolah minim faktor kejutan yang bisa menjadi pendongkrak bagi greenback

Selain itu, Powell juga menyebut bahwa sejauh ini AS belum mengalami masalah inflasi. Artinya, justru ada kemungkinan The Fed tidak terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Dengan inflasi yang masih sesuai harapan, maka sepertinya belum ada kebutuhan bagi The Fed untuk lebih agresif dalam pengetatan kebijakan moneter. 

Akibatnya, Dollar Index (yang mengukur dolar AS secara relatif terhadap enam mata uang utama) sempat melemah 0,25% pada akhir pekan lalu. Ini bukan kabar baik bagi dolar AS menyambut pekan yang baru. 


Pada perdagangan hari ini, investor patut mencermati beberapa sentimen. Pertama tentu catatan manis Wall Street pada perdagangan akhir pekan lalu. Diharapkan kinerja Wall Street yang positif menjadi penyemangat bursa saham Benua Kuning, termasuk IHSG. 

Kedua adalah ada potensi rupiah berbalik menguat, dengan syarat pelemahan dolar AS berlanjut. Jika komentar Powell masih menjadi pemberat bagi greenback, maka rupiah berpeluang untuk kembali ke teritori positif. 

Apalagi dolar AS juga mendapat sentimen negatif akibat langkah Bank Sentral China (PBoC) yang akan mengubah metodologi penentuan nilai tengah mata uang yuan. Selama ini, PBoC memang mematok nilai tengah harian yuan terhadap dolar AS, dengan hanya mengizinkan yuan melemah atau menguat maksimal 2% dari nilai tengah tersebut. 

"Akibat Dollar Index yang kuat dan friksi dagang, tercipta sebuah aktivitas pro-cyclical di pasar valas. Sentimen pro-cyclical ini membuat PBoC menetapkan pendekatan counter-cyclical untuk penentuan nilai tengah harian yuan," sebut pernyataan PBoC, dikutip dari Reuters. 

Dengan faktor ini, ada kemungkinan yuan akan menguat sehingga menekan Dollar Index karena yuan adalah salah satu mata uang utama pembentuk indeks tersebut. Jika Dollar Index semakin lemah, maka peluang penguatan rupiah pun kian terbuka.

Namun, ada juga faktor yang bisa membuat greenback kembali perkasa. Mengutip Reuters, posisi jangka panjang (net long position) investor terhadap dolar AS naik menjadi US$ 23,67 miliar pada pekan yang berakhir 21 Agustus dibandingkan pekan sebelumnya yang sebesar US$ 23,17 miliar.  

Artinya, dalam jangka panjang investor masih lebih percaya memegang dolar AS. Pelaku pasar meyakini nilai greenback masih bisa menguat lagi. Ini bisa menjadi angin segar bagi dolar AS, dan mungkin saja mendorong penguatan mata uang Negeri Adidaya. 


Sentimen ketiga adalah dari dalam negeri, yaitu menunggu dampak aturan kewajiban pencampuran bahan bakar nabati sebesar 20% untuk minyak diesel/solar. Aturan yang dikenal dengan istilah B20 ini digadang-gadang mampu menekan impor secara signifikan sehingga mengurangi devisa yang 'terbang' ke luar negeri.  

Akhir pekan lalu, sebenarnya B20 mulai mendapat respons positif, setidaknya di pasar saham. Di tengah koreksi IHSG akhir pekan lalu, indeks sektor agrikultur mampu menguat bahkan nyaris 1%. Saham-saham produsen minyak sawit mentah (CPO) seperti SIMP, LSIP, dan AALI mencatatkan penguatan yang cukup meyakinkan. 

Pencapaian itu sedikit banyak disebabkan oleh kebijakan B20, yang bisa mendongrak penjualan emiten-emiten produsen CPO. Bila sentimen positif B20 berlanjut, maka bisa kembali menjadi pendorong IHSG hari ini. 

Namun, B20 justru belum dirasakan oleh rupiah. Akhir pekan lalu, rupiah ditutup melemah 0,08% di hadapan dolar AS. Tidak hanya di hadapan greenback, rupiah pun melemah terhadap berbagai mata uang di Asia dan Eropa.


Padahal, tujuan utama kebijakan ini adalah untuk menyelamatkan rupiah dari tekanan akibat impor Bahan Bakar Minyak (BBM). Pemerintah meyakini kebijakan ini mampu mengurangi defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Hasilnya, rupiah akan lebih memiliki pijakan untuk menguat karena pijakan devisa yang memadai.  

Bahkan pemerintah menyiapkan sanksi bagi badan usaha yang tidak mematuhi aturan ini, yaitu denda Rp 6.000/liter, yang akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). Artinya pemerintah serius dalam upaya menjaga arus devisa agar tidak mudah mengalir ke luar negeri.  

Apakah B20 mampu menjadi salah satu kontributor bagi penguatan rupiah hari ini? Hanya waktu yang akan memberi jawabnya. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja menggelar rapat koordinasi membahas isu perberasan (09:00 WIB).
  • Rilis data iklim bisnis Jerman versi Ifo Institute for Economic Research periode Agustus 2018 (15:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Juli 2018 YoY)3.18%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Juli 2018)US$ 118.3 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.  

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article The Fed Beri Sinyal Pangkas Suku Bunga, IHSG & Rupiah Pesta Pora

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular