
Update Polling CNBC Indonesia
Konsensus Pasar: Kuartal II, Ekonomi RI Diramal Tumbuh 5,125%
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 August 2018 13:22

- Menambah pandangan dari LPEM FEB UI di halaman 2.
Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 pada awal pekan depan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 sebesar 5,125% year-on-year (YoY). Lebih cepat dibandingkan kuartal I-2018 yang sebesar 5,06% maupun kuartal II-2017 yaitu 5,01%.
Sementara pertumbuhan ekonomi secara kuartalan (quarter-to-quarter/QtQ) diperkirakan 4,1%. Untuk keseluruhan 2018, ekonomi diperkirakan tumbuh 5,16% YoY.
Insitusi | Pertumbuhan Ekonomi QtQ (%) | Pertumbuhan Ekonomi YoY (%) | Pertumbuhan Ekonomi 2018 YoY (%) |
Maybank Indonesia | 4.14 | 5.19 | 5.21 |
ING | 4.1 | 5.2 | - |
BTN | 3.9 | 4.95 | 5.19 |
Bank Danamon | 4.05 | 5.1 | 5.14 |
CIMB Niaga | 4.05 | 5.1 | 5 |
Danareksa | 4.11 | 5.16 | 5.18 |
Bank Permata | 4.1 | 5.15 | 5.14 |
Moody's Analytics | - | 5 | - |
BCA | 4.07 | 5.12 | - |
ANZ | 4.1 | 5.1 | - |
UOB | - | 5.2 | - |
Trimegah | 4.08 | 5.13 | 5.12 |
Standard Chartered | 4.03 | 5.09 | - |
Bahana Sekuritas | - | 5.2 | 5.3 |
MEDIAN | 4.1 | 5.125 | 5.16 |
Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 di kisaran 5,17-5,2%. Sedikit lebih optimistis dibandingkan ekspektasi pasar.
"Kita harapkan (pertumbuhan ekonomi) tetap terjaga. Momentumnya ada Idul Fitri dan libur yang cukup panjang. Aktivitas perusahaan memang agak menurun, tetapi household meningkat. Rumah tangga itu cukup besar dalam PDB (Produk Domestik Bruto) kita dan diharapkan menimbulkan sumbangan ke pertumbuhan ekonomi kuartal II," papar Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, belum lama ini.
Momentum Ramadan-Idul Fitri jatuh pada pertengahan Mei hingga pertengahan Juni. Periode tersebut merupakan puncak dari konsumsi masyarakat Indonesia, dan sangat berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi.
Sampai saat ini, konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor terbesar dalam pembentukan PDB nasional. Sepanjang 2017, konsumsi rumah tangga menyumbang 56,13% dan pada kuartal I-2018 sumbangsihnya naik menjadi 56,8%. Oleh karena itu, pertumbuhan kelompok ini akan sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
"Pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 juga didorong oleh pelaksanaan Pilkada serentak. Selain itu, juga ada persiapan Asian Games yang digelar Agustus ini," sebut Enrico Tanuwidjaja, Ekonom UOB.
Bahana Sekuritas dalam risetnya menyebutkan pencairan Tunjangan Hari Raya (THR) sangat membantu konsumsi rumah tangga. Selain itu, msa panen raya yang bergeser dari kuartal I ke kuartal II juga memberikan dorongan terhadap konsumsi.
"Angka kuartal II akan sangat penting karena pada kuartal III dan kuartal IV akan sulit mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi seiring konsumsi dan investasi yang mungkin tidak tumbuh secepat sebelumnya. Apalagi pada bulan-bulan ke depan bisa saja dampak kenaikan suku bunga acuan sudah mulai dirasakan," sebut riset Bahana.
Meski demikian, pelaku pasar memperingatkan bahwa Indonesia tidak boleh terlena. Pasalnya, masih ada risiko yang bisa menjadi pemberat bagi laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Katrina Ell, Ekonom Moody's Analytics, menilai pengetatan moneter oleh Bank Indonesia (BI) akan menjadi faktor yang membebani konsumsi rumah tangga. Sejak pertengahan Mei, BI telah menaikkan suku bunga acuan cukup agresif, sampai 100 basis poin.
"Pengetatan moneter yang agresif oleh BI bisa menjadi penghambat konsumsi rumah tangga yang sebenarnya belum pulih benar. Kami memperkirakan konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2018 masih tumbuh di bawah 5% yaitu di 4,7%," kata Ell.
Oleh karena itu, Ell menilai target pertumbuhan ekonomi 5,4% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 cukup jauh dari jangkauan. Saat konsumsi rumah tangga terkendala, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan terhambat.
Hal yang sama pun disoroti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI). Untuk kuartal II-2018, LPEM FEB UI memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5,1-5,1% sementara pertumbuhan keseluruhan 2018 di kisaran 5,2-5,3%.
"Namun pertumbuhan konsumsi yang rendah, yakni masih di bawah 5%, menggambarkan kewaspadaan rumah tangga terhadap fluktuasi pendapatan dan risiko eksternal meskipun inflasi masih sangat rendah dan terkendali. Pemerintah dan bank sentral sebenarnya ingin mendorong pertumbuhan dengan melonggarkan kebijakan moneter dan menambah konsumsi pemerintah. Namun, kondisi fiskal, neraca transaksi berjalan, dan arus modal saat ini tidak mendukung kebijakan yang bersifat ekspansif. Hal ini terlihat dari keputusan bank sentral sudah meningkatkan suku bunga acuan sebesar 100 bps dan janji pemerintah untuk menunda beberapa proyek infrastruktur demi menahan defisit transaksi berjalan," papar kajian LPEM FEB UI.
Risiko bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, lanjut riset LPEM FEB UI, paling besar berasal dari faktor eksternal yaitu perang dagang dan pengetatan kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS). Perang dagang dapat menimbulan risiko turunnya pertumbuhan ekonomi kedua negara-negara mitra dagang Indonesia, yang dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan memperburuk defisit transaksi berjalan.
"Kemudian, kenaikan Federal Funds rate yang lebih cepat telah menciptakan ketidakpastian di pasar negara berkembang, meskipun dalam beberapa minggu terakhir fluktuasi di pasar sudah dapat diredam dan arus modal sudah kembali masuk ke negara berkembang," sebut riset LPEM FEB UI.
Sementara itu, Ekonom Danareksa Research Institute Damhuri Nasution menyoroti belanja pemerintah yang belum optimal. Hingga semester I-2018, belanja negara baru terserap 38,39%. Meski secara nominal ada kenaikan, tetapi persentasenya turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu di mana belanja negara sudah mencapai 42,9%.
"Konsumsi rumah tangga diperkirakan sedikit membaik. Namun di sisi lain, konsumsi pemerintah tampaknya belum mengalami perbaikan yang signifikan," tutur Damhuri.
Belanja negara tahun ini sepertinya memang sulit diharapkan. Pasalnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menginstruksikan penundaan proyek-proyek non-strategis.
Langkah ini dilakukan untuk mengurangi impor sehingga tidak banyak devisa yang 'terbang' ke luar negeri. Dengan begitu, depresiasi nilai tukar rupiah bisa dibendung.
"Saya juga minta dievaluasi lagi secara detil. Impor ini harus detil, barang yang tidak bersifat strategis kita setop dulu atau kurangi atau diturunkan," tegas Jokowi dalam rapat di Istana Bogor beberapa waktu lalu.
Sepertinya pertumbuhan ekonomi memang harus sedikit mengalah tahun ini. Pasalnya, prioritas BI dan pemerintah adalah menjaga stabilitas nilai tukar.
Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 5,9% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Di antara mata uang utama Asia, hanya rupee India yang pelemahannya lebih dalam dibandingkan rupiah.
Oleh karena itu, BI dan pemerintah menerapkan skema all out attack demi menyelematkan rupiah. BI telah menaikkan suku bunga acuan dengan agresif, sementara pemerintah mengendalikan impor.
Kedua kebijakan ini memang mengerem pertumbuhan ekonomi, tetapi diharapkan bisa mengurangi tekanan terhadap rupiah. Semoga rupiah segera bangkit, karena pertumbuhan ekonomi tidak bisa mengalah terlalu lama...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed) Next Article Konsensus: Neraca Perdagangan Maret Defisit US$ 69,5 Juta
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular