
Newsletter
Harinya Bank Sentral
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
19 July 2018 05:58

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah faktor. Pertama tentunya perkembangan di Wall Street yang cenderung positif. Ini bisa menjadi rangsangan bagi bursa saham Asia untuk melanjutkan penguatan, dan diharapkan ikut menular ke Indonesia.
Harga minyak sepertinya juga suportif. Setelah beberapa waktu terkoreksi, harga si emas hitam mulai rebound. Bahkan harga minyak jenis brent naik lebih dari 1%.
Tekanan terhadap minyak yang terjadi beberapa hari terakhir membuat harganya lebih murah. Investor pun mulai memanfaatkan situasi ini dengan melakukan akumulasi beli. Aksi borong akhirnya mampu mengangkat harga minyak.
Dari sisi fundamental, kenaikan harga minyak didukung oleh tumbuhnya permintaan di AS. Data US Energy Information Administration (EIA). Impor minyak mentah AS naik 2,2 juta barel pada pekan lalu. Dalam periode yang sama cadangan bensin AS turun 3,2 juta barel. Sementara cadangan destilat (termasuk bahan bakar diesel dan pemanas) turun 371.000 barel.
Kenaikan permintaan tentunya mengerek harga ke atas. IHSG bisa mendapatkan angin segar dari kenaikan harga minyak. Emiten migas dan pertambangan akan lebih diapresiasi kala harga minyak naik.
Namun, investor perlu memonitor perkembangan dolar AS. Greenback masih dalam jalur pendakian, terlihat dari Dollar Index (yang mengukur posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama) yang menguat 0,13% pada pukul 04:38 WIB.
Dalam paparannya di depan Kongres, Powell mengulangi apa yang disampaikan di hadapan Senat. The Fed masih akan menempuh kebijakan kenaikan suku bunga acuan secara bertahap. Pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi, atau menjadi empat kali sepanjang 2018.
Tidak hanya kenaikan suku bunga acuan, The Fed juga terus melakukan normalisasi neraca. Saat krisis keuangan global, The Fed menggelontorkan likuiditas ke pasar dengan memborong surat-surat berharga. Neraca The Fed pun membengkak.
Kini, The Fed sedang dalam proses untuk merampingkan neraca tersebut. Caranya adalah melepas surat-surat berharga yang dimilikinya, menyedot likuiditas dari pasar.
Powell mengatakan proses normalisasi neraca ini bisa berlangsung selama 3-4 tahun. Dalam periode tersebut, likuiditas dolar AS akan cenderung ketat karena ditarik oleh The Fed.
Persepsi ini semakin menebalkan keyakinan investor bahwa nilai dolar AS akan semakin kuat karena pasokannya kian terbatas. Aksi beli pun terus melanda greenback, sehingga nilainya bertambah naik.
Penguatan dolar AS tentu berdampak pada pelemahan mata uang lain, termasuk rupiah. Kala rupiah terdepresiasi, berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi tidak menguntungkan karena nilainya turun. Apalagi di pasar saham, yang risikonya tinggi. Oleh karena itu, pelemahan rupiah (bila terjadi) bukan kabar baik buat IHSG.
(aji/aji)
Harga minyak sepertinya juga suportif. Setelah beberapa waktu terkoreksi, harga si emas hitam mulai rebound. Bahkan harga minyak jenis brent naik lebih dari 1%.
Tekanan terhadap minyak yang terjadi beberapa hari terakhir membuat harganya lebih murah. Investor pun mulai memanfaatkan situasi ini dengan melakukan akumulasi beli. Aksi borong akhirnya mampu mengangkat harga minyak.
Dari sisi fundamental, kenaikan harga minyak didukung oleh tumbuhnya permintaan di AS. Data US Energy Information Administration (EIA). Impor minyak mentah AS naik 2,2 juta barel pada pekan lalu. Dalam periode yang sama cadangan bensin AS turun 3,2 juta barel. Sementara cadangan destilat (termasuk bahan bakar diesel dan pemanas) turun 371.000 barel.
Kenaikan permintaan tentunya mengerek harga ke atas. IHSG bisa mendapatkan angin segar dari kenaikan harga minyak. Emiten migas dan pertambangan akan lebih diapresiasi kala harga minyak naik.
Namun, investor perlu memonitor perkembangan dolar AS. Greenback masih dalam jalur pendakian, terlihat dari Dollar Index (yang mengukur posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama) yang menguat 0,13% pada pukul 04:38 WIB.
Dalam paparannya di depan Kongres, Powell mengulangi apa yang disampaikan di hadapan Senat. The Fed masih akan menempuh kebijakan kenaikan suku bunga acuan secara bertahap. Pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi, atau menjadi empat kali sepanjang 2018.
Tidak hanya kenaikan suku bunga acuan, The Fed juga terus melakukan normalisasi neraca. Saat krisis keuangan global, The Fed menggelontorkan likuiditas ke pasar dengan memborong surat-surat berharga. Neraca The Fed pun membengkak.
Kini, The Fed sedang dalam proses untuk merampingkan neraca tersebut. Caranya adalah melepas surat-surat berharga yang dimilikinya, menyedot likuiditas dari pasar.
Powell mengatakan proses normalisasi neraca ini bisa berlangsung selama 3-4 tahun. Dalam periode tersebut, likuiditas dolar AS akan cenderung ketat karena ditarik oleh The Fed.
Persepsi ini semakin menebalkan keyakinan investor bahwa nilai dolar AS akan semakin kuat karena pasokannya kian terbatas. Aksi beli pun terus melanda greenback, sehingga nilainya bertambah naik.
Penguatan dolar AS tentu berdampak pada pelemahan mata uang lain, termasuk rupiah. Kala rupiah terdepresiasi, berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi tidak menguntungkan karena nilainya turun. Apalagi di pasar saham, yang risikonya tinggi. Oleh karena itu, pelemahan rupiah (bila terjadi) bukan kabar baik buat IHSG.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular