Newsletter

Harinya Bank Sentral

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
19 July 2018 05:58
Harinya Bank Sentral
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu memutus tren buruk dengan membukukan penguatan pada perdagangan kemarin. Situasi global yang mendukung membuat IHSG dan bursa utama Asia kompak menutup hari di zona hijau. 

Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,5%. Nilai transaksi tercatat Rp 7,59 triliun dengan volume 11,53 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 382.965 kali. 

Secara sektoral, sektor jasa keuangan (+0,64%) menjadi kontributor terbesar bagi penguatan IHSG. Saham-saham sektor jasa keuangan yang diperdagangkan menguat utamanya merupakan saham-saham emiten perbankan seperti BBCA (+2,09%), BMRI (+1,19%), BBTN (+2,46%), BNGA (+3,65%), dan BJBR (+0,97%). 

Aksi beli atas saham-saham sektor jasa keuangan dilakukan lantaran koreksi yang cukup dalam pada perdagangan hari sebelumnya yakni mencapai 1,53%. Koreksi yang cukup dalam tersebut membuka ruang bagi investor untuk melakukan akumulasi.

Terlebih, ada sentimen positif yang datang dari terjalinnya kesepakatan dagang antara Jepang dengan Uni Eropa.
 Jepang dan Uni Eropa menandatangani kesepakatan dagang yang akan mengeleminasi hampir seluruh bea masuk.

Melalui kesepakatan ini, sekitar 99% pos tarif yang sebelumnya dikenakan oleh Uni Eropa terhadap produk-produk impor asal Jepang akan dihilangkan. Sementara bagi Uni Eropa, sebanyak 94% pos tarif ketika mengekspor ke Jepang akan dihilangkan, sebelum nantinya naik menjadi 99% pada tahun-tahun mendatang.
 

Bagi konsumen Jepang, barang-barang asal Uni Eropa seperti wine, daging babi, keju, dan biskuit akan lebih murah. Bagi Uni Eropa, komponen mesin, teh, dan ikan asal Jepang akan menjadi lebih murah. 

Kesepakatan ini tentu merupakan kabar gembira bagi ekonomi dunia. Pasalnya, gabungan dari ekonomi Jepang dan Uni Eropa setara dengan sepertiga ekonomi dunia dan mencakup lebih dari 600 juta orang. 

Perkembangan ini membuat sejumlah bursa utama Asia menguat. Indeks Nikkei 225 naik 0,43%, Straits Times bertambah 0,03%, SET (Thailand) surplus 0,6%, dan KLCI (Malaysia) menguat 0,91%. 

Sisi negatifnya, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 35,8 miliar. Pelemahan rupiah melandasi aksi jual investor asing. Hingga akhir perdagangan, rupiah tercatat melemah hingga 0,24% terhadap dolar AS. Ketika rupiah melemah, berinvestasi dalam instrumen berbasis rupiah menjadi kurang menarik lantaran ada potensi kerugian kurs yang harus ditanggung. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,32%, S&P 500 bertambah 0,22%, tetapi Nasdaq minus tipis 0,19%. 

Musim laporan keuangan (earnings season) menjadi bahan bakar laju Wall Street. Bahkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters menaikkan proyeksi rata-rata pertumbuhan laba emiten pada kuartal II-2018 dari 20,7% menjadi 21,4%. 

Saham Morgan Stanley naik 2,81% setelah laporan kinerja kuartal II-2018. Laba Morgan Stanley melonjak 39% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi US$ 2,4 miliar. Laba per shaam (Earnings per Share/EPS) menjadi US$ 1,25, di atas konsensus pasar yang memperkirakan US$ 1,11. 

"Kita semua melihat reli yang sangat bagus. Penyebabnya adalah kinerja keuangan dan valuasi pasar. Kalau saja tidak adaa apa-apa di bidang perdagangan, pasar akan lebih baik dari ini," ujar Wayne Kaufman, Chief Marke Analyst do Phoenix Finansial Service yang berbasis di New York, seperti dikutip Reuters. 

Perang dagang memang menjadi risiko buat Wall Street. Jerome Powell, Gubernur The Federal Reserve/The Fed, menyinggung soal itu kala berpidato di depan Kongres AS. 

"Jika proses ini menghasilkan perdagangan dunia dengan tarif bea masuk yang lebih tinggi dan itu bertahan dalam waktu cukup lama, maka itu akan buruk bagi ekonomi. Bukan maksud kami mengkritik kebijakan (pemerintah), tetapi buktinya sudah sangat jelas bahwa negara yang membuka perdagangannya akan punya produktivitas yang lebih tinggi. Mereka punya pendapatan yang lebih besar," papar Powell di depan Kongres, seperti dikutip Reuters. 

Powell menambahkan, dunia usaha di Negeri Paman Sam sudah menunjukkan kekhawatiran mengenai perang dagang. Meski dampaknya belum terlihat dari angka-angka, tetapi kegelisahan sudah merebak. 

"Kita belum melihatnya terefleksikan dalam angka-angka, karena AS adalah ekonomi dengan ukuran US$ 20 triliun sehingga perlu waktu untuk itu bisa muncul. Namun kami mendengar banyak cerita mengenai perusahaan yang mulai khawatir dan memutuskan untuk berinvestasi atau tidak berdasarkan isu ini," ungkap Powell. 

Kegalauan dunia usaha itu terekam dalam Beige Book yang dikeluarkan The Fed, hasil kompilasi dari 12 negara bagian. "Pengusaha di seluruh distrik menyatakan kekhawatirannya mengenai bea masuk. Di sebagian besar distrik, dilaporkan ada kenaikan harga dan gangguan pasokan karena kebijakan perdagangan yang baru," sebut laporan The Fed. 


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah faktor. Pertama tentunya perkembangan di Wall Street yang cenderung positif. Ini bisa menjadi rangsangan bagi bursa saham Asia untuk melanjutkan penguatan, dan diharapkan ikut menular ke Indonesia. 

Harga minyak sepertinya juga suportif. Setelah beberapa waktu terkoreksi, harga si emas hitam mulai rebound. Bahkan harga minyak jenis brent naik lebih dari 1%.

Tekanan terhadap minyak yang terjadi beberapa hari terakhir membuat harganya lebih murah. Investor pun mulai memanfaatkan situasi ini dengan melakukan akumulasi beli. Aksi borong akhirnya mampu mengangkat harga minyak. 

Dari sisi fundamental, kenaikan harga minyak didukung oleh tumbuhnya permintaan di AS. Data US Energy Information  Administration (EIA). Impor minyak mentah AS naik 2,2 juta barel pada pekan lalu.  Dalam periode yang sama cadangan bensin AS turun 3,2 juta barel. Sementara cadangan destilat (termasuk bahan bakar diesel dan pemanas) turun 371.000 barel.

Kenaikan permintaan tentunya mengerek harga ke atas. IHSG bisa mendapatkan angin segar dari kenaikan harga minyak. Emiten migas dan pertambangan akan lebih diapresiasi kala harga minyak naik. 

Namun, investor perlu memonitor perkembangan dolar AS. Greenback masih dalam jalur pendakian, terlihat dari Dollar Index (yang mengukur posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama) yang menguat 0,13% pada pukul 04:38 WIB. 

Dalam paparannya di depan Kongres, Powell mengulangi apa yang disampaikan di hadapan Senat. The Fed masih akan menempuh kebijakan kenaikan suku bunga acuan secara bertahap. Pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi, atau menjadi empat kali sepanjang 2018. 

Tidak hanya kenaikan suku bunga acuan, The Fed juga terus melakukan normalisasi neraca. Saat krisis keuangan global, The Fed menggelontorkan likuiditas ke pasar dengan memborong surat-surat berharga. Neraca The Fed pun membengkak. 

Kini, The Fed sedang dalam proses untuk merampingkan neraca tersebut. Caranya adalah melepas surat-surat berharga yang dimilikinya, menyedot likuiditas dari pasar.

Powell mengatakan proses normalisasi neraca ini bisa berlangsung selama 3-4 tahun. Dalam periode tersebut, likuiditas dolar AS akan cenderung ketat karena ditarik oleh The Fed.

Persepsi ini semakin menebalkan keyakinan investor bahwa nilai dolar AS akan semakin kuat karena pasokannya kian terbatas. Aksi beli pun terus melanda greenback, sehingga nilainya bertambah naik. 

Penguatan dolar AS tentu berdampak pada pelemahan mata uang lain, termasuk rupiah. Kala rupiah terdepresiasi, berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi tidak menguntungkan karena nilainya turun. Apalagi di pasar saham, yang risikonya tinggi. Oleh karena itu, pelemahan rupiah (bila terjadi) bukan kabar baik buat IHSG. 


Sementara dari dalam negeri, pelaku pasar perlu menyimak keputusan suku bunga acuan. Hari ini, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan edisi Juli 2018 untuk memutuskan suku bunga acuan 7 day reverse repo rate. 

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Bank Indonesia (BI) masih akan menahan suku bunga acuan 7 day reverse repo rate di 5,25%. Dari 12 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, 10 di antaranya memperkirakan 'hold'. Hanya dua yang memperkirakan ada kenaikan 25 basis poin menjadi 5,5%. Median konsensus ada di 5,25%.

Meski mayoritas suara pasar memperkirakan suku bunga ditahan, bukan berarti tidak ada kemungkinan untuk dinaikkan. Sebab, pelemahan rupiah yang sudah mencapai 5,6% sejak awal tahun bisa saja memaksa BI untuk kembali menaikkan suku bunga acuan. 


Jika sampai ada kejutan dari BI (misalnya dengan kenaikan suku bunga), maka rupiah akan mendapatkan dorongan yang signifikan. Kenaikan suku bunga akan memancing arus modal asing untuk masuk ke Indonesia, dan ini bisa menjadi fondasi penguatan rupiah yang kemudian berdampak positif bagi IHSG. 

Namun bila masih ditahan pun tetap sesuai dengan ekspektasi pasar. Artinya tidak ada dampak negatif yang tercipta, karena sudah diperhitungkan.  

Apalagi BI sudah menaikkan suku bunga acuan cukup agresif, 100 basis poin dalam 3 bulan terakhir. Tentu pasar memaklumi bila BI membutuhkan jeda untuk kenaikan berikutnya, kalau memang ada. 

Tidak hanya The Fed, investor pun wajib memusatkan pandangan ke BI. Hari ini memang harinya bank sentral. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate (standby 14:00 WIB).
  • Rilis data neraca perdagangan AS periode Juni 2018 (06:50 WIB WIB).
  • Rilis data penciptaan lapangan kerja Australia periode Juni 2018 (08:30 WIB).
  • Rilis data tingkat pengangguran Australia periode Juni 2018 (08:30 WIB).
  • Rilis data penjualan ritel Inggris periode Juni 2018 (15:30 WIB).
  • Indeks Manufaktur versi The Fed Philadelphia (19:30 WIB).
  • Rilis data klaim pengangguran AS dalam sepekan hingga 13 Juli 2018.
Investor juga perlu mencermati aksi perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI)Rilis Laporan Keuangan Semester 1 2018Setelah Penutupan Perdagangan

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
 
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY)5.06%
Inflasi (Juni 2018 YoY)3.12%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2018)-2.15% PDB
Neraca pembayaran (Q I-2018)-US$ 3.85 miliar
Cadangan devisa (Juni 2018)US$ 119.8 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular