
Newsletter
Rupiah Adalah Kunci
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 July 2018 04:55

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah dampak dari pengumuman data perdagangan internasional yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin.
BPS mengumumkan ekspor pada Juni 2018 tumbuh 11,47% YoY sementara impor tumbuh 12,66% YoY. Ini menyebabkan neraca perdagangan mencatat surplus yang cukup besar yaitu US$ 1,74 miliar.
Pencapaian ini jauh lebih baik dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor tumbuh 16,38% YoY sementara impor tumbuh 30,17% YoY. Neraca perdagangan diperkirakan surplus US$ 579,5 juta.
Surplus neraca perdagangan memberikan sentimen perbaikan kinerja transaksi berjalan (current account). Sebagai informasi, transaksi berjalan pada kuartal I-2018 sudah mencatat defisit US$ 5,5 miliar atau 2,15% dari PDB, melebar lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada tiga bulan awal tahun ini adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
Memang neraca perdagangan April-Juni 2018 masih membukukan defisit sebesar US$ 1,34 miliar secara kumulatif. Namun, setidaknya kini muncul harapan bahwa defisit transaksi berjalan tidak terlalu parah.
Semakin lunak defisit transaksi berjalan maka semakin kecil juga risiko memburuknya Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal II-2018. Seperti diketahui, NPI merupakan salah satu fundamental yang menjadi pijakan penguatan nilai tukar.
Oleh karena itu, data neraca perdagangan dan prospek perbaikan transaksi berjalan bisa menjadi amunisi bagi berlanjutnya penguatan nilai tukar rupiah. Kemarin, rupiah menguat tipis 0,03% terhadap dolar AS.
Penguatan rupiah, bila terjadi, bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Aset-aset berbasis rupiah menjadi menarik bagi investor (terutama asing) karena nilainya naik.
Saat rupiah menguat kemarin, investor asing membukukan beli bersih Rp 75,99 miliar. Aksi beli investor asing bisa menjadi salah satu faktor pendorong IHSG kembali ke zona hijau.
Rupiah juga bisa memanfaatkan faktor eksternal yaitu kecenderungan melemahnya dolar AS. Pada pukul 04:17 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) melemah 0,26%.
Dolar AS berada dalam posisi defensif karena investor menantikan pemaparan Jerome Powell, Gubenur The Federal Reserve/The Fed, di hadapan Komite Perbankan Senat AS pada Selasa waktu setempat. Setelah itu, Powell akan melaporkan situasi ekonomi terkini di depan Komite Jasa Keuangan Kongres AS pada Rabu waktu setempat.
Berdasarkan naskah laporan Powell yang diperoleh Reuters, tidak ada kejutan. Powell diperkirakan masih mengulangi kalimat bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan secara gradual.
"Powell adalah orang yang sangat patuh kepada naskah. Jadi saya rasa dia akan memberikan hal yang konsisten dalam dua hari ini, tidak ada petunjuk-petunjuk baru, kejutan, atau semacamnya," kata John Doyle, Wakil Presiden Tempus Consulting yang berbasis di Washington DC, mengutip Reuters.
Tidak adanya gebrakan dari Powell membuat dolar AS kehabisan bensin untuk menguat. Sebab, dolar AS sangat mengandalkan kebijakan moneter, utamanya kenaikan suku bunga yang agresif, agar bisa terapresiasi.
Meski demikian, masih ada potensi dolar AS bisa bangkit. Pendorongnya adalah data penjualan ritel yang meningkat 0,5% secara MtM pada Juni 2018, sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun Reuters. Sementara itu, data penjualan ritel periode Mei 2018 direvisi meningkat sebesar 1,3% MtM dari sebelumnya dibacakan sebesar 0,8% MtM.
Secara tahunan, data penjualan ritel AS Juni 2018 tercatat meningkat 6,6%. Pertumbuhan tahunan sebesar itu merupakan yang tertinggi sejak lebih dari 6 tahun yang lalu.
Kemudian, data pertumbuhan penjualan ritel inti (mengeluarkan komponen penjualan kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, bahan bangunan, dan jasa makanan) tidak mengalami perubahan pada Juni 2018. Penjualan ritel inti Mei 2018 direvisi tumbuh 0,8% MtM dari sebelumnya 0,5% MtM. Penjualan ritel inti berkorelasi paling dekat dengan komponen pengeluaran konsumen di PDB AS.
Data ini kembali menegaskan bahwa pengeluaran konsumen AS akan terakselerasi lebih cepat di kuartal II-2018. Persepsi pertumbuhan ekonomi yang membaik ini lantas kembali memberikan sentimen bahwa The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan secara lebih agresif masih terbuka lebar.
Saat pertumbuhan ekonomi melaju kencang, maka semakin kuat alasan bagi The Fed untuk lebih memperketat kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga. Sebab, kenaikan suku bunga akan efektif menjangkar ekspektasi inflasi.
Jika peluang pengetatan moneter yang lebih agresif semakin besar, maka itu akan menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Kenaikan suku bunga akan membuat investor semakin tertarik dengan instrumen berbasis dolar AS karena menjanjikan keuntungan lebih.
Greenback pun akan mendapat pijakan untuk menguat. Sebaliknya hal ini mampu menjadi ancaman bagi mata uang global, termasuk rupiah.
Selain faktor nilai tukar, investor juga perlu mewaspadai perkembangan harga minyak. Pada pukul 04:31 WIB, harga minyak baik brent maupun light sweet masih terkoreksi di kisaran 4%.
Koreksi harga minyak bukan kabar baik bagi IHSG. Ini sudah terbukti mampu membebani laju Wall Street. Saham-saham migas dan pertambangan biasanya kurang diapresiasi saat harga minyak turun, sehingga bisa mempengaruhi IHSG secara keseluruhan.
Namun sepertinya pergerakan rupiah akan lebih menentukan nasib pasar hari ini. Di tengah minimnya sentimen global dan domestik, gerak rupiah diharapkan mampu menjadi perangsang aktivitas di pasar.
(aji/aji)
BPS mengumumkan ekspor pada Juni 2018 tumbuh 11,47% YoY sementara impor tumbuh 12,66% YoY. Ini menyebabkan neraca perdagangan mencatat surplus yang cukup besar yaitu US$ 1,74 miliar.
Pencapaian ini jauh lebih baik dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor tumbuh 16,38% YoY sementara impor tumbuh 30,17% YoY. Neraca perdagangan diperkirakan surplus US$ 579,5 juta.
Surplus neraca perdagangan memberikan sentimen perbaikan kinerja transaksi berjalan (current account). Sebagai informasi, transaksi berjalan pada kuartal I-2018 sudah mencatat defisit US$ 5,5 miliar atau 2,15% dari PDB, melebar lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada tiga bulan awal tahun ini adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
Memang neraca perdagangan April-Juni 2018 masih membukukan defisit sebesar US$ 1,34 miliar secara kumulatif. Namun, setidaknya kini muncul harapan bahwa defisit transaksi berjalan tidak terlalu parah.
Semakin lunak defisit transaksi berjalan maka semakin kecil juga risiko memburuknya Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal II-2018. Seperti diketahui, NPI merupakan salah satu fundamental yang menjadi pijakan penguatan nilai tukar.
Oleh karena itu, data neraca perdagangan dan prospek perbaikan transaksi berjalan bisa menjadi amunisi bagi berlanjutnya penguatan nilai tukar rupiah. Kemarin, rupiah menguat tipis 0,03% terhadap dolar AS.
Penguatan rupiah, bila terjadi, bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Aset-aset berbasis rupiah menjadi menarik bagi investor (terutama asing) karena nilainya naik.
Saat rupiah menguat kemarin, investor asing membukukan beli bersih Rp 75,99 miliar. Aksi beli investor asing bisa menjadi salah satu faktor pendorong IHSG kembali ke zona hijau.
Rupiah juga bisa memanfaatkan faktor eksternal yaitu kecenderungan melemahnya dolar AS. Pada pukul 04:17 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) melemah 0,26%.
Dolar AS berada dalam posisi defensif karena investor menantikan pemaparan Jerome Powell, Gubenur The Federal Reserve/The Fed, di hadapan Komite Perbankan Senat AS pada Selasa waktu setempat. Setelah itu, Powell akan melaporkan situasi ekonomi terkini di depan Komite Jasa Keuangan Kongres AS pada Rabu waktu setempat.
Berdasarkan naskah laporan Powell yang diperoleh Reuters, tidak ada kejutan. Powell diperkirakan masih mengulangi kalimat bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan secara gradual.
"Powell adalah orang yang sangat patuh kepada naskah. Jadi saya rasa dia akan memberikan hal yang konsisten dalam dua hari ini, tidak ada petunjuk-petunjuk baru, kejutan, atau semacamnya," kata John Doyle, Wakil Presiden Tempus Consulting yang berbasis di Washington DC, mengutip Reuters.
Tidak adanya gebrakan dari Powell membuat dolar AS kehabisan bensin untuk menguat. Sebab, dolar AS sangat mengandalkan kebijakan moneter, utamanya kenaikan suku bunga yang agresif, agar bisa terapresiasi.
Meski demikian, masih ada potensi dolar AS bisa bangkit. Pendorongnya adalah data penjualan ritel yang meningkat 0,5% secara MtM pada Juni 2018, sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun Reuters. Sementara itu, data penjualan ritel periode Mei 2018 direvisi meningkat sebesar 1,3% MtM dari sebelumnya dibacakan sebesar 0,8% MtM.
Secara tahunan, data penjualan ritel AS Juni 2018 tercatat meningkat 6,6%. Pertumbuhan tahunan sebesar itu merupakan yang tertinggi sejak lebih dari 6 tahun yang lalu.
Kemudian, data pertumbuhan penjualan ritel inti (mengeluarkan komponen penjualan kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, bahan bangunan, dan jasa makanan) tidak mengalami perubahan pada Juni 2018. Penjualan ritel inti Mei 2018 direvisi tumbuh 0,8% MtM dari sebelumnya 0,5% MtM. Penjualan ritel inti berkorelasi paling dekat dengan komponen pengeluaran konsumen di PDB AS.
Data ini kembali menegaskan bahwa pengeluaran konsumen AS akan terakselerasi lebih cepat di kuartal II-2018. Persepsi pertumbuhan ekonomi yang membaik ini lantas kembali memberikan sentimen bahwa The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan secara lebih agresif masih terbuka lebar.
Saat pertumbuhan ekonomi melaju kencang, maka semakin kuat alasan bagi The Fed untuk lebih memperketat kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga. Sebab, kenaikan suku bunga akan efektif menjangkar ekspektasi inflasi.
Jika peluang pengetatan moneter yang lebih agresif semakin besar, maka itu akan menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Kenaikan suku bunga akan membuat investor semakin tertarik dengan instrumen berbasis dolar AS karena menjanjikan keuntungan lebih.
Greenback pun akan mendapat pijakan untuk menguat. Sebaliknya hal ini mampu menjadi ancaman bagi mata uang global, termasuk rupiah.
Selain faktor nilai tukar, investor juga perlu mewaspadai perkembangan harga minyak. Pada pukul 04:31 WIB, harga minyak baik brent maupun light sweet masih terkoreksi di kisaran 4%.
Koreksi harga minyak bukan kabar baik bagi IHSG. Ini sudah terbukti mampu membebani laju Wall Street. Saham-saham migas dan pertambangan biasanya kurang diapresiasi saat harga minyak turun, sehingga bisa mempengaruhi IHSG secara keseluruhan.
Namun sepertinya pergerakan rupiah akan lebih menentukan nasib pasar hari ini. Di tengah minimnya sentimen global dan domestik, gerak rupiah diharapkan mampu menjadi perangsang aktivitas di pasar.
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular