
Newsletter
BI dan Pemerintah Beri Jalan, Mampukah IHSG Kembali Hijau?
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
11 July 2018 06:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali melesat dengan penguatan lebih dari 1% pada perdagangan kemarin. Sentimen domestik dan eksternal mendukung penguatan IHSG.
Kemarin, IHSG ditutup naik 1,28%. Nilai transaksi tercatat Rp 7,54 triliun dengan volume 8,45 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 404.629 kali.
Sektor barang konsumsi (+2,12%) menjadi kontributor utama penguatan IHSG. Kenaikan ini didorong oleh rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Juni 2018 yang menggembirakan.
Bank Indonesia (BI) melaporkan IKK periode tersebut sebesar 128,1. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 125,1. Nilai IKK bulan Juni merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.
Kenaikan IKK didorong oleh seluruh komponen pembentuknya, yaitu indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang naik menjadi 120,8 dari 116,1. Sementara itu, Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK) naik menjadi 135,4 dari 134,1.
Kenaikan IKK lantas memberi harapan bahwa konsumsi masyarakat Indonesia akan terus membaik. Sebelumnya, perbaikan konsumsi masyarakat ditunjukkan oleh derasnya impor barang konsumsi periode Mei dan inflasi bulan lalu yang lebih tinggi dari ekspektasi.
Dari sisi eksternal, sentimen perang dagang mulai mereda belum ada perkembangan terbaru. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump belum menambah lagi daftar produk China yang bakal dikenakan bea masuk.
Selain itu, gejolak politik di Inggris juga agak mereda. Sebelumnya, kondisi politik dari Negeri Ratu Elizabeth dibuat gonjang-ganjing oleh mundurnya dua menteri yaitu David Davis (Menteri Urusan Brexit) dan Boris Johshon (Menteri Luar Negeri).
Meski demikian, gerak cepat Perdana Menteri Theresa May berhasil menenangkan pasar. May menunjuk Dominic Rab sebagai pengganti Davis selaku negosiator Brexit. Penunjukkan Rab disinyalir akan tetap mendukung Inggris keluar Uni-Eropa secara 'halus', sesuai harapan dari Ratu Elizabeth.
Kondusifnya sentimen eksternal dan domestik tersebut berhasil mendorong investor asing melakukan beli bersih senilai Rp 133,6 miliar, walaupun sejatinya rupiah melemah 0,24% terhadap dolar AS. Saham-saham yang paling banyak diburu oleh investor asing di antaranya BBCA (Rp 124,1 miliar), TLKM (Rp 99,3 miliar), BBRI (Rp 55,2 miliar), UNVR (Rp 35,7 miliar), dan PTBA (Rp 25,3 miliar).
Situasi eksternal yang kalem juga membuat bursa saham Asia melaju di teritori positif. Indeks Nikkei 225 naik 0,66%, Shanghai Composite menguat 0,44%, Kospi bertambah 0,37%, dan Straits Times melonjak 1,42%.
Dari Wall Street, tiga indeks utama masih melanjutkan reli. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,58%, S&P 500 menguat 0,35%, dan Nasdaq bertambah 0,09%.
Laju Wall Street didukung oleh kinerja emiten yang solid. Pepsi telah melaporkan kinerjanya, dan lebih baik ketimbang proyeksi pasar.
Laba per saham (Earnings Per Share/EPS) Pepsi pada kuartal II-2018 tercatat US$ 1,61 sementara konsensus pasar berada di US$ 1,52. Pendapatan bersih adalah US$ 16,09 miliar, tumbuh 2,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pencapaian ini mendapat apresiasi investor sehingga saham Pepsi melesat 4,76%.
Kinerja Pepsi yang kinclong membuat investor optimistis terhadap konsumsi masyarakat Negeri Paman Sam. Indeks sektor barang konsumsi non siklikal di DJIA pun melonjak dengan penguatan sampai 1,52%.
Selain kinerja emiten, penguatan Wall Street juga didorong kenaikan harga minyak. Kekhawatiran berkurangnya pasokan dari sejumlah negara masih menjadi sentimen yang mendongrak harga si emas hitam.
Di AS, American Petroleum Association (API) melaporkan cadangan minyak Negeri Adidaya turun 6,8 juta barel pada pekan lalu menjadi 410,1 juta barel. Penurunan ini lebih tajam dibandingkan perkiraan pasar yaitu 4,5 juta barel. Penyebabnya masih penurunan pasokan dari fasilitas milik Syncrude di Kanada yang belum bisa beroperasi.
Pasokan minyak dari Norwegia juga berpotensi turun karena mogok pekerja di pengeboran lepas pantai. Shell terpaksa menutup satu lapangannya di Knarr. Para pekerja menuntut kenaikan gaji dan hak-hak pensiun.
Kemudian, instabilitas di Libya juga menyebabkan produksi minyak negara tersebut turun drastis. Dalam lima bulan terakhir, produksi minyak Libya turun 50% menjadi 527.000 barel/hari. Penyebabnya adalah ditutupnya dua pelabuhan utama yaitu Ras Lanuf dan Es Sider yang dikuasai kelompok separatis Libyan National Army (LNA).
Akibat persepsi penurunan pasokan, harga minyak pun terkerek ke atas. Ini menjadi sentimen positif bagi saham-saham migas seperti Exxon ( 0,92) dan Chevron (1,27%).
Untuk perdagangan hari ini, terdapat sejumlah sentimen yang patut dicermati oleh pelaku pasar. Pertama tentu penguatan Wall Street, yang diharapkan bisa menular sampai ke Asia termasuk Indonesia. Biasanya dinamika di Wall Street memang memberi warna kepada perdagangan saham Benua Kuning.
Kedua adalah dinamika perang dagang. Reuters melaporkan bahwa pemerintahan Presiden Trump sedang menyusun daftar baru produk-produk asal China yang akan dikenakan bea masuk. Nilai produk-produk tersebut mencapai US$ 200 miliar.
Beberapa waktu lalu, Trump memang mengatakan sudah menyiapkan daftar panjang produk-produk China yang akan terkena bea masuk. Nilai totalnya mencapai lebih dari US$ 500 miliar.
"Dalam waktu dua pekan ke depan akan ada US$ 16 miliar. Kami juga masih punya daftar produk-produk senilai US$ 200 miliar yang masih didiskusikan dan setelah itu ada US$ 300 miliar lagi. Oke?" tegas Trump akhir pekan lalu, dikutip dari Reuters.
Kabar ini menjadi pertanda bahwa perang dagang masih jauh dari selesai. Jika AS betul-betul kembali mengenakan bea masuk baru, maka China pun kemungkinan besar akan membalas. Kemudian AS mengeluarkan bea masuk lagi, China membalas, begitu seterusnya.
Oleh karena itu, investor masih harus tetap memonitor dan mewaspadai setiap perkembangan isu perang dagang. Sebab, isu ini bisa sangat mempengaruhi mood pasar.
Ketiga adalah nilai tukar dolar AS, yang sepertinya masih melanjutkan penguatan. Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback dibandingkan enam mata uang utama, menguat 0,07% pada pukul 04:03 WIB. Kemarin, dolar AS mampu bangkit dan berjaya terhadap mata uang Asia termasuk rupiah.
Saat ini, penguatan dolar AS disebabkan oleh aksi beli yang dilakukan investor jelang rilis data inflasi AS pada Kamis waktu setempat. Sebagai catatan, inflasi AS pada Mei 2018 mencapai 2,8% secara year-on-year (YoY), tertinggi sejak Oktober 2008.
Bila inflasi di AS terus terakselerasi, maka semakin besar kemungkinan The Federal Reserve/The Fed untuk leboh agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Pasar kini mulai terbiasa dengan perkiraan kenaikan suku bunga empat kali sepanjang 2018, lebih banyak dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali.
Kenaikan suku bunga tentu menjadi kabar gembira bagi dolar AS. Kenaikan suku bunga akan membuat ekspektasi inflasi terjangkar sehingga nilai mata uang naik.
Selain itu, kenaikan suku bunga juga akan memancing arus modal untuk datang karena mengharapkan keuntungan lebih. Arus modal ini bisa menjadi fondasi bagi penguatan nilai tukar.
Sebelum The Fed menaikkan suku bunga, investor sepertinya sudah terlebih dulu memburu dolar AS. Sebab jika suku bunga sudah naik maka harga greenback akan lebih mahal. Akibat aksi borong ini, dolar AS sudah menguat sebelum suku bunga dinaikkan.
Sentimen keempat adalah harga minyak yang masih dalam jalur pendakian. Sudah terbukti kenaikan harga minyak mampu menjadi bensin bagi laju Wall Street.
Bila kenaikan harga minyak bisa bertahan, maka IHSG juga bisa mendapat berkahnya. Emiten migas dan pertambangan akan lebih mendapat apresiasi ketika harga minyak sedang naik.
Kemudian kelima adalah dari dalam negeri yaitu rilis penjualan ritel nasional atau Indeks Penjualan Riil (IPR) periode Mei 2018. Sebagai informasi, IPR bulan sebelumnya mencapai 215,0, atau naik 4,1% YoY.
Penjualan ritel terus membaik seiring berjalannya 2018. Pada Januari, penjualan ritel sempat anjlok dengan mencatatkan kontraksi atau minus 1,8% YoY. Kemudian pada Februari mulai pulih dengan pertumbuhan 1,5% YoY, dan Maret semakin mantap dengan pertumbuhan 2,5% YoY.
Pada Mei 2018, BI memperkirakan penjualan eceran terus meningkat. IPR Mei diperkirakan sebesar 213,6 atau naik 4,4% YoY. Pertumbuhan yang bahkan lebih baik ketimbang April.
Jika prediksi tersebut menjadi kenyataan, maka sentimen membaiknya konsumsi masyarakat akan kembali terkonfirmasi. Hal ini dapat menjadi energi tambahan bagi pergerakan saham sektor konsumsi di bursa saham domestik.
Sentimen keenam adalah kabar baik dari fiskal. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan penerimaan negara tahun ini akan mencapai target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yaitu Rp 1.894,7 triliun. Bukan hanya mencapai, tetapi juga kelebihan Rp 8 triliun.
Kabar ini menjadi salah satu penyebab masuknya aliran modal ke pasar obligasi negara. Pada penutupan perdagangan kemarin, imbal hasl (yield) obligasi negara tenor 10 tahun berada di 7,382%. Turun cukup drastis dibandingkan sehari sebelumnya yaitu 7,499%. Penurunan yield berarti harga obligasi sedang naik akibat tingginya permintaan.
Hasil lelang obligasi syariah (sukuk) pun sukses. Tingginya permintaan membuat pemerintah menyerap Rp 8 triliun, dua kali lipat dari target indikatif.
Investor mungkin menilai pengelolaan fiskal mulai membaik sehingga memberikan apresiasi. Selain itu, dengan penerimaan negara yang sesuai target maka tidak akan ada kebutuhan pemerintah untuk mencari dana lebih di pasar. Pemerintah tidak akan perlu berebut dana dengan swasta di pasar keuangan, sehingga tidak ada crowding out.
Tanpa harus berebut dengan pemerintah, maka investor swasta bisa bernafas lega. Akan ada cukup banyak potensi dana yang bisa digali baik itu melalui penerbitan saham maupun obligasi.
Faktor ini juga bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Perusahaan swasta kini tidak perlu ragu melakukan pengumpulan dana di pasar modal, karena tidak ada persaingan dengan pemerintah. Pasar modal yang semakin semarak akan membuat sistem keuangan Indonesia lebih dalam dan kuat dalam menghadapi gejolak eksternal.
Sentimen domestik sepertinya akan memberi dorongan positif. BI maupun pemerintah sudah memberi jalan bagi penguatan IHSG.
Apakah ini cukup kuat menahan sentimen negatif eksternal seperti perang dagang atau penguatan dolar AS? Kita tunggu saja.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk data-data pasar, CNBC Indonesia kini sudah menyediakannya untuk Anda dengan format terbaru. Silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Welcome Trump 2.0: Perang Tarif Ditunda di Hari Pertama
Kemarin, IHSG ditutup naik 1,28%. Nilai transaksi tercatat Rp 7,54 triliun dengan volume 8,45 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 404.629 kali.
Sektor barang konsumsi (+2,12%) menjadi kontributor utama penguatan IHSG. Kenaikan ini didorong oleh rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Juni 2018 yang menggembirakan.
Bank Indonesia (BI) melaporkan IKK periode tersebut sebesar 128,1. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 125,1. Nilai IKK bulan Juni merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.
Kenaikan IKK didorong oleh seluruh komponen pembentuknya, yaitu indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang naik menjadi 120,8 dari 116,1. Sementara itu, Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK) naik menjadi 135,4 dari 134,1.
Kenaikan IKK lantas memberi harapan bahwa konsumsi masyarakat Indonesia akan terus membaik. Sebelumnya, perbaikan konsumsi masyarakat ditunjukkan oleh derasnya impor barang konsumsi periode Mei dan inflasi bulan lalu yang lebih tinggi dari ekspektasi.
Dari sisi eksternal, sentimen perang dagang mulai mereda belum ada perkembangan terbaru. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump belum menambah lagi daftar produk China yang bakal dikenakan bea masuk.
Selain itu, gejolak politik di Inggris juga agak mereda. Sebelumnya, kondisi politik dari Negeri Ratu Elizabeth dibuat gonjang-ganjing oleh mundurnya dua menteri yaitu David Davis (Menteri Urusan Brexit) dan Boris Johshon (Menteri Luar Negeri).
Meski demikian, gerak cepat Perdana Menteri Theresa May berhasil menenangkan pasar. May menunjuk Dominic Rab sebagai pengganti Davis selaku negosiator Brexit. Penunjukkan Rab disinyalir akan tetap mendukung Inggris keluar Uni-Eropa secara 'halus', sesuai harapan dari Ratu Elizabeth.
Kondusifnya sentimen eksternal dan domestik tersebut berhasil mendorong investor asing melakukan beli bersih senilai Rp 133,6 miliar, walaupun sejatinya rupiah melemah 0,24% terhadap dolar AS. Saham-saham yang paling banyak diburu oleh investor asing di antaranya BBCA (Rp 124,1 miliar), TLKM (Rp 99,3 miliar), BBRI (Rp 55,2 miliar), UNVR (Rp 35,7 miliar), dan PTBA (Rp 25,3 miliar).
Situasi eksternal yang kalem juga membuat bursa saham Asia melaju di teritori positif. Indeks Nikkei 225 naik 0,66%, Shanghai Composite menguat 0,44%, Kospi bertambah 0,37%, dan Straits Times melonjak 1,42%.
Dari Wall Street, tiga indeks utama masih melanjutkan reli. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,58%, S&P 500 menguat 0,35%, dan Nasdaq bertambah 0,09%.
Laju Wall Street didukung oleh kinerja emiten yang solid. Pepsi telah melaporkan kinerjanya, dan lebih baik ketimbang proyeksi pasar.
Laba per saham (Earnings Per Share/EPS) Pepsi pada kuartal II-2018 tercatat US$ 1,61 sementara konsensus pasar berada di US$ 1,52. Pendapatan bersih adalah US$ 16,09 miliar, tumbuh 2,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pencapaian ini mendapat apresiasi investor sehingga saham Pepsi melesat 4,76%.
Kinerja Pepsi yang kinclong membuat investor optimistis terhadap konsumsi masyarakat Negeri Paman Sam. Indeks sektor barang konsumsi non siklikal di DJIA pun melonjak dengan penguatan sampai 1,52%.
Selain kinerja emiten, penguatan Wall Street juga didorong kenaikan harga minyak. Kekhawatiran berkurangnya pasokan dari sejumlah negara masih menjadi sentimen yang mendongrak harga si emas hitam.
Di AS, American Petroleum Association (API) melaporkan cadangan minyak Negeri Adidaya turun 6,8 juta barel pada pekan lalu menjadi 410,1 juta barel. Penurunan ini lebih tajam dibandingkan perkiraan pasar yaitu 4,5 juta barel. Penyebabnya masih penurunan pasokan dari fasilitas milik Syncrude di Kanada yang belum bisa beroperasi.
Pasokan minyak dari Norwegia juga berpotensi turun karena mogok pekerja di pengeboran lepas pantai. Shell terpaksa menutup satu lapangannya di Knarr. Para pekerja menuntut kenaikan gaji dan hak-hak pensiun.
Kemudian, instabilitas di Libya juga menyebabkan produksi minyak negara tersebut turun drastis. Dalam lima bulan terakhir, produksi minyak Libya turun 50% menjadi 527.000 barel/hari. Penyebabnya adalah ditutupnya dua pelabuhan utama yaitu Ras Lanuf dan Es Sider yang dikuasai kelompok separatis Libyan National Army (LNA).
Akibat persepsi penurunan pasokan, harga minyak pun terkerek ke atas. Ini menjadi sentimen positif bagi saham-saham migas seperti Exxon ( 0,92) dan Chevron (1,27%).
Untuk perdagangan hari ini, terdapat sejumlah sentimen yang patut dicermati oleh pelaku pasar. Pertama tentu penguatan Wall Street, yang diharapkan bisa menular sampai ke Asia termasuk Indonesia. Biasanya dinamika di Wall Street memang memberi warna kepada perdagangan saham Benua Kuning.
Kedua adalah dinamika perang dagang. Reuters melaporkan bahwa pemerintahan Presiden Trump sedang menyusun daftar baru produk-produk asal China yang akan dikenakan bea masuk. Nilai produk-produk tersebut mencapai US$ 200 miliar.
Beberapa waktu lalu, Trump memang mengatakan sudah menyiapkan daftar panjang produk-produk China yang akan terkena bea masuk. Nilai totalnya mencapai lebih dari US$ 500 miliar.
"Dalam waktu dua pekan ke depan akan ada US$ 16 miliar. Kami juga masih punya daftar produk-produk senilai US$ 200 miliar yang masih didiskusikan dan setelah itu ada US$ 300 miliar lagi. Oke?" tegas Trump akhir pekan lalu, dikutip dari Reuters.
Kabar ini menjadi pertanda bahwa perang dagang masih jauh dari selesai. Jika AS betul-betul kembali mengenakan bea masuk baru, maka China pun kemungkinan besar akan membalas. Kemudian AS mengeluarkan bea masuk lagi, China membalas, begitu seterusnya.
Oleh karena itu, investor masih harus tetap memonitor dan mewaspadai setiap perkembangan isu perang dagang. Sebab, isu ini bisa sangat mempengaruhi mood pasar.
Ketiga adalah nilai tukar dolar AS, yang sepertinya masih melanjutkan penguatan. Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback dibandingkan enam mata uang utama, menguat 0,07% pada pukul 04:03 WIB. Kemarin, dolar AS mampu bangkit dan berjaya terhadap mata uang Asia termasuk rupiah.
Saat ini, penguatan dolar AS disebabkan oleh aksi beli yang dilakukan investor jelang rilis data inflasi AS pada Kamis waktu setempat. Sebagai catatan, inflasi AS pada Mei 2018 mencapai 2,8% secara year-on-year (YoY), tertinggi sejak Oktober 2008.
Bila inflasi di AS terus terakselerasi, maka semakin besar kemungkinan The Federal Reserve/The Fed untuk leboh agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Pasar kini mulai terbiasa dengan perkiraan kenaikan suku bunga empat kali sepanjang 2018, lebih banyak dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali.
Kenaikan suku bunga tentu menjadi kabar gembira bagi dolar AS. Kenaikan suku bunga akan membuat ekspektasi inflasi terjangkar sehingga nilai mata uang naik.
Selain itu, kenaikan suku bunga juga akan memancing arus modal untuk datang karena mengharapkan keuntungan lebih. Arus modal ini bisa menjadi fondasi bagi penguatan nilai tukar.
Sebelum The Fed menaikkan suku bunga, investor sepertinya sudah terlebih dulu memburu dolar AS. Sebab jika suku bunga sudah naik maka harga greenback akan lebih mahal. Akibat aksi borong ini, dolar AS sudah menguat sebelum suku bunga dinaikkan.
Sentimen keempat adalah harga minyak yang masih dalam jalur pendakian. Sudah terbukti kenaikan harga minyak mampu menjadi bensin bagi laju Wall Street.
Bila kenaikan harga minyak bisa bertahan, maka IHSG juga bisa mendapat berkahnya. Emiten migas dan pertambangan akan lebih mendapat apresiasi ketika harga minyak sedang naik.
Kemudian kelima adalah dari dalam negeri yaitu rilis penjualan ritel nasional atau Indeks Penjualan Riil (IPR) periode Mei 2018. Sebagai informasi, IPR bulan sebelumnya mencapai 215,0, atau naik 4,1% YoY.
Penjualan ritel terus membaik seiring berjalannya 2018. Pada Januari, penjualan ritel sempat anjlok dengan mencatatkan kontraksi atau minus 1,8% YoY. Kemudian pada Februari mulai pulih dengan pertumbuhan 1,5% YoY, dan Maret semakin mantap dengan pertumbuhan 2,5% YoY.
Pada Mei 2018, BI memperkirakan penjualan eceran terus meningkat. IPR Mei diperkirakan sebesar 213,6 atau naik 4,4% YoY. Pertumbuhan yang bahkan lebih baik ketimbang April.
Jika prediksi tersebut menjadi kenyataan, maka sentimen membaiknya konsumsi masyarakat akan kembali terkonfirmasi. Hal ini dapat menjadi energi tambahan bagi pergerakan saham sektor konsumsi di bursa saham domestik.
Sentimen keenam adalah kabar baik dari fiskal. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan penerimaan negara tahun ini akan mencapai target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yaitu Rp 1.894,7 triliun. Bukan hanya mencapai, tetapi juga kelebihan Rp 8 triliun.
Kabar ini menjadi salah satu penyebab masuknya aliran modal ke pasar obligasi negara. Pada penutupan perdagangan kemarin, imbal hasl (yield) obligasi negara tenor 10 tahun berada di 7,382%. Turun cukup drastis dibandingkan sehari sebelumnya yaitu 7,499%. Penurunan yield berarti harga obligasi sedang naik akibat tingginya permintaan.
Hasil lelang obligasi syariah (sukuk) pun sukses. Tingginya permintaan membuat pemerintah menyerap Rp 8 triliun, dua kali lipat dari target indikatif.
Investor mungkin menilai pengelolaan fiskal mulai membaik sehingga memberikan apresiasi. Selain itu, dengan penerimaan negara yang sesuai target maka tidak akan ada kebutuhan pemerintah untuk mencari dana lebih di pasar. Pemerintah tidak akan perlu berebut dana dengan swasta di pasar keuangan, sehingga tidak ada crowding out.
Tanpa harus berebut dengan pemerintah, maka investor swasta bisa bernafas lega. Akan ada cukup banyak potensi dana yang bisa digali baik itu melalui penerbitan saham maupun obligasi.
Faktor ini juga bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Perusahaan swasta kini tidak perlu ragu melakukan pengumpulan dana di pasar modal, karena tidak ada persaingan dengan pemerintah. Pasar modal yang semakin semarak akan membuat sistem keuangan Indonesia lebih dalam dan kuat dalam menghadapi gejolak eksternal.
Sentimen domestik sepertinya akan memberi dorongan positif. BI maupun pemerintah sudah memberi jalan bagi penguatan IHSG.
Apakah ini cukup kuat menahan sentimen negatif eksternal seperti perang dagang atau penguatan dolar AS? Kita tunggu saja.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja menggelar rapat koordinasi membahas evaluasi AS terhadap GSP (09:00 WIB).
- Badan Anggaran DPR mengadakan rapat kerja bersama Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Hukum dan HAM, serta Gubernur BI untuk membahas pandangan awal RAPBN 2019 (10:00 WIB).
- Rilis data penjualan ritel Indonesia periode Mei 2018 (tentatif).
- Pidato Presiden European Central Bank (ECB) Mario Draghi (14:00).
- Rilis data Indeks Harga Produsen AS periode Juni 2018 (19:30).
- Pidato Gubernur Bank of England (BoE) Mark Carney (22:35).
- Pidato Presiden The Fed Atlanta Raphael Bostic (23:30).
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) | RUPS Tahunan | 10:00 |
PT Exploitasi Energi Indonesia Tbk (CNKO) | RUPS Tahunan | 10:00 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY) | 5.06% |
Inflasi (Juni 2018 YoY) | 3.12% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q I-2018) | -2.15% PDB |
Neraca pembayaran (Q I-2018) | -US$ 3.85 miliar |
Cadangan devisa (Juni 2018) | US$ 119.8 miliar |
Untuk data-data pasar, CNBC Indonesia kini sudah menyediakannya untuk Anda dengan format terbaru. Silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Welcome Trump 2.0: Perang Tarif Ditunda di Hari Pertama
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular