Newsletter

IHSG di Antara Perang Dagang, Harga Minyak, dan Rupiah

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 July 2018 05:34
IHSG di Antara Perang Dagang, Harga Minyak, dan Rupiah
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali amblas pada perdagangan kemarin. Isu perang dagang kembali menyeret IHSG dan bursa regional ke zona merah. 

Kemarin, IHSG anjlok 1,96%. Nilai transaksi tercatat Rp 7,21 triliun dengan volume 8,16 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 391.759 kali. 

Sentimen domestik dan eksternal sama-sama berkontribusi bagi anjloknya IHSG. Dari dalam negeri, proyeksi defisit transaksi berjalan dari Bank Indonesia (BI) membuat pelaku pasar panik dan meninggalkan aset-aset berisiko seperti saham. 

Bank sentral memperkirakan defisit transaksi berjalan pada kuartal-II 2018 bisa berada di atas 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Melebar dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 2,15% PDB maupun periode yang sama pada 2017 yang sebesar 1,96% PDB. 

"Kuartal II memang ada akselerasi impor. Kami melihat transaksi berjalan di kuartal kedua bisa di atas 2,5% dan di bawah 3%," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara. 


Saat lubang di transaksi berjalan makin menganga sementara pos transaksi modal dan finansial tertekan karena seretnya hot money di pasar keuangan, maka Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) praktis tidak tertolong. Pada kuartal I-2018, NPI sudah membukukan defisit sebesar US$ 3,85 miliar yang merupakan defisit pertama sejak kuartal III-2011. 

NPI merupakan salah satu fundamental yang menjadi pijakan penguatan nilai tukar. Oleh karena itu, pernyataan BI jelas menjadi sentimen negatif bagi pelaku pasar karena menyangkut nasib rupiah. Tanpa pijakan yang kuat, rupiah niscaya akan mudah tertekan dan sulit menguat. 

Investor lantas melepas kepemilikannya atas rupiah di pasar valas maupun aset-aset berbasis mata uang tersebut. Di pasar saham, nilai jual bersih investor asing mencapai Rp 538,34 miliar. 

Oleh karena kekhawatiran investor tertuju kepada nilai tukar, maka saham-saham perbankan menjadi korban. Saham-saham perbankan yang melemah cukup dalam akibat aksi jual yang masif adalah BBCA (-3,96%), BMRI (-3,07%), BBNI (-1,42%), BBRI (-0,7%), dan BNGA (-0,53%). 

Ketika rupiah melemah, sektor perbankan memang menjadi sangat rentan seiring dengan naiknya risiko gagal bayar oleh kreditur yang akan berujung pada kenaikan rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL). Masih hangat di ingatan kita bagaimana profitabilitas dari emiten-emiten bank BUKU IV terhantam pada 2015 ketika rupiah terdepresiasi hingga melebihi level Rp 14.600/US$. 

Sementara dari sisi eksternal, risiko perang dagang kian kental. Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah komando Presiden Donald Trump kini berupaya untuk memblokir China Mobile untuk masuk ke pasar Negeri Paman Sam. China Mobile merupakan perusahaan penyedia jasa telekomunikasi terbesar di dunia yang dimiliki oleh pemerintah China. 

Pemerintah AS menggunakan alasan keamanan nasional sebagai dasar dari pemblokiran tersebut. Dalam pernyataan resminya, National Telecommunications and Information Administration (NTIA) mengharapkan Federal Communications Commission (FCC) menolak permintaan China Mobile untuk menawarkan jasa telekomunikasi antara AS dengan negara-negara lainnya. 

"Setelah diskusi yang signifikan dengan China Mobile, kekhawatiran mengenai meningkatnya risiko bagi penegakan hukum dan keamanan nasional tidak dapat diselesaikan," tulis NTIA mengutip David Redl, Asisten Menteri Bidang Komunikasi dan Informasi Kementerian Perdagangan AS. 

China Mobile menjadi perusahaan kedua yang terjerat dalam jaring perselisihan dagang dua raksasa ekonomi dunia tersebut. Sebelumnya, ZTE, produsen ponsel pintar dan peralatan jaringan, menghentikan operasi utamanya setelah Kementerian Perdagangan melarang perusahaan itu membeli barang-barang dari AS di bulan April. Larangan itu dikeluarkan karena perusahaan melanggar kesepakatan dengan menyalahi sanksi AS terhadap Iran dan Korea Utara. 

Saat ini, ZTE masih dalam proses untuk melepaskan diri dari sanksi AS, dan baru saja memperkenalkan dewan direksi baru. Namun proses ini dikabarkan masih buntu akibat negosiasi yang alot dengan sejumlah anggota parlemen AS. 

Tindakan AS terhadap China Mobile tentu memperparah kekhawatiran terhadap isu perang dagang. Pada 6 Juli mendatang bea masuk baru senilai US$34 miliar untuk produk asal China akan mulai diberlakukan oleh AS. Negeri Panda pun sudah menyiapkan tarif balasan bagi produk-produk asal AS dengan nilai yang sama dan juga akan mulai berlaku pada 6 Juli. 

Sentimen perang dagang menyebabkan investor cenderung bermain aman dan meninggalkan instrumen berisiko seperti saham. Bursa saham Asia pun terseret arus koreksi. Indeks Nikkei 225 turun 0,12%, Hang Seng anjlok 1,41%, KLCI (Malaysia) melemah 0,28%, dan Straits Times minus 0,09%. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama terpeleset ke jalur merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) terkoreksi 0,54%, S&P 500 berkurang 0,49%, dan Nasdaq terpangkas 1,17%.  

Setelah kemarin menjadi penyelamat, hari ini saham-saham teknologi justru menjadi biang kerok koreksi di Wall Street. Saham Facebook amblas 2,35% sementara Apple melemah 1,74%. 

Washington Post melaporkan penyelidikan perihal kebocoran data Facebook akan diperluas dan melibatkan lebih banyak instansi pemerintah. Kini tidak Kementerian Kehakiman, tetapi Biro Penyelidik Federal (Federal Bureau of Investigation/FBI), otoritas pengawas pasar modal (Securities and Exchange Commission/SEC), dan Komisi Perdagangan Federal (Federal Trade Commission/FTC) 'mengeroyok' Facebook. Perkembangan ini membuat investor cemas dan melepas saham perusahaan yang dipimpin Mark Zuckerberg tersebut. 

Sementara saham Apple terimbas dampak China Mobile. Apple telah bermitra dengan China Mobile sejak 2013. Status China Mobile yang di ujung tanduk tentu mengancam penjualan Apple di Negeri Tirai Bambu. 

Selain itu, cerita Asia juga terulang di Wall Street yaitu kekhawatiran terhadap perang dagang. Isu ini sangat dinamis dan setiap perkembangannya sukses membuat pelaku pasar grogi. 

"Dalam jangka pendek, sebenarnya fundamental perusahaan cukup solid dan perekonomian juga bagus. Namun perang dagang masih menyelimuti dan banyak ketidakpastian. Sampai ada kejelasan, sulit membuat investor untuk kembali masuk ke pasar saham," tutur Brant Houston, Direktur Pelaksana CIBC Private Health Managemen, seperti dikutip Reuters. 

Ditambah lagi hari ini Wall Street hanya buka setengah hari karena AS bersiap untuk menyambut perayaan Hari Kemerdekaan. Transaksi menjadi terbatas dan investor cenderung wait and see.  

Salah satu yang dinantikan investor adalah rilis data ketenagakerjaan AS periode Juni 2018 dijadwalkan keluar akhir pekan ini. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan angka pengangguran sebesar 3,8%, tidak berubah dibandingkan posisi Mei. 

Data ketenagakerjaan ini akan menjadi salah satu pertimbangan bagi The Federal Reserve/The Fed untuk menentukan arah kebijakan moneter. Bila pasar tenaga kerja membaik, maka investor akan semakin yakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan secara lebih agresif. 


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya koreksi di Wall Street yang bisa menjadi pemberat langkah awal bursa saham Asia.  

Ketika Wall Street merah, maka biasanya akan muncul kekhawatiran di Benua Kuning sehingga investor tertular panik. Ini bisa menjadi risiko bagi bursa saham Asia, termasuk di Bursa Efek Indonesia (BEI). 

Kedua, perang dagang juga masih menjadi isu yang pelu dimonitor. Gesekan antara Trump dengan pabrikan sepeda motor Harley-Davidson berlanjut.

Awal friksi ini adalah perusahaan pembuat moge (motor gede) ini berniat memindahkan sebagian fasilitas produksinya ke luar AS. Hal ini ditempuh untuk menghindari bea masuk yang dikenakan Uni Eropa atas berbagai produk Negeri Paman Sam, salah satunya adalah moge Harley-Davidson. 

Trump terbakar emosi mendengar keputusan Harley-Davidson tersebut. Pekan lalu, Trump mengancam Harley-Davidson akan dikenakan pajak yang besar jika sampai berani hengkang dari tanah AS. 


Kini, Trump kembali menyindir Harley-Davidson. Mengetahui bahwa Harley-Davidson tidak punya pilihan selain memindahkan fasilitas produksi ke luar AS, Trump pun mengundang produsen sepeda motor lainnya untuk masuk ke Negeri Adidaya. 

"Sekarang karena Harley-Davidson sudah memindahkan sebagian operasionalnya ke luar AS, pemerintah sedang menjalin kerja sama dengan perusahaan sepeda motor lainnya yang ingin pindah ke AS. AS adalah tempat untuk beraksi!" tulis Trump dalam cuitan di Twitter. 

Perkembangan isu perang dagang ini perlu terus dipantau karena sangat bisa mempengaruhi mood pelaku pasar. Bila kekhawatiran perang dagang masih tinggi, maka bersiaplah melihat arus modal keluar di pasar saham, dan Indonesia tidak imun terhadap risiko tersebut. 


Namun ada harapan bagi IHSG untuk bisa rebound. Pertama adalah harga minyak yang naik disokong oleh data terbaru cadangan di AS. 

American Petroleum Institute (API) melaporkan cadangan minyak pada pekan yang berakhir 29 Juni sebesar 416,9 juta barel atau turun 4,5 juta barel dibandingkan pekan sebelumnya. Penurunan ini lebih tajam dibandingkan konsensus pasar yaitu 3,5 juta barel. 

Salah satu penyebab merosotnya cadangan minyak AS adalah pasokan dari Kanada. Fasilitas minyak milik Syncrude mengalami kerusakan dan harus diperbaiki sehingga menurunkan pasokan sebanyak 350.000 barel/hari. Fasilitas ini diperkirakan baru mulai beroperasi kembali selepas Juli. 

Selain itu, harga minyak juga terkerek ke atas setelah hadirnya ancaman dari Iran. Presiden Hassan Rouhani menegaskan Negeri Persia tidak segan untuk menganggu pengiriman minyak dari negara-negara tetangganya. Ancaman ini menyusul rencana AS untuk mengajak berbagai negara berhenti membeli minyak dari Iran. 

"AS mengklaim mereka akan menghentikan ekspor minyak Iran. Tidak mungkin Iran tidak bisa mengekspor sementara negara lain di kawasan ini tetap bisa mengekspor. Mengasumsikan Iran menjadi satu-satunya produsen minyak yang tidak bisa mengekspor adalah sebuah kesalahan. AS tidak akan bisa menghambat pendapatan Iran dari minyak," papar Rouhani dalam sebuah video di situs kepresidenan seperti dikutip Reuters.

Sejumlah pejabat teras di Iran sebelumnya mengancam akan memblokade Selat Hormuz jika AS masih bertindak semena-mena. Selat Hormuz merupakan salah satu rute pengiriman utama. 

Dua perkembangan ini memicu persepsi bahwa pasokan minyak dunia akan seret. Ketika pasokan berkurang, maka lumrah jika harga naik. 

Kenaikan harga minyak bisa berdampak positif bagi IHSG. Sebab, emiten migas dan pertambangan akan lebih diapresiasi investor saat hanya minyak naik. 

Harapan berikutnya adalah perkembangan nilai tukar dolar AS. Setelah sempat garang, greenback mulai limbung jelang penutupan perdagangan kemarin akibat diterpa aksi ambil untung (profit taking). 

Saat ini, tekanan terhadap dolar AS masih berlanjut. Pada pukul 04:44 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama) terkoreksi cukup dalam yaitu 0,47% ke 94,584. 

Profit taking terhadap dolar AS sepertinya masih terjadi. Maklum, Dollar Index sudah menguat 4,86% dalam tiga bulan terakhir. Reli penguatan dolar AS suatu saat pasti terhenti karena investor ingin mencairkan keuntungannya, dan itu sepertinya sedang berlangsung. 

Bila dolar AS masih tertekan, maka ada harapan bagi mata uang Asia untuk membalikkan keadaan, termasuk rupiah. Ada kemungkinan rupiah kembali menguat saat dolar AS sedang konsolidasi, sehingga membuat berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah menjadi menguntungkan karena nilainya naik. IHSG pun bisa menerima berkahnya. 

Namun dari dalam negeri, ada risiko besar yang menghantui rupiah. Risiko tersebut berasal dari kebijakan pemerintah yang akan menaikkan subsidi bahan bakar solar dari Rp 500/liter menjadi Rp 1.500.2.000/liter. 


Kala subsidi naik, maka harga tidak akan naik bahkan ada kemungkinan turun. Ini membuat konsumsi solar meningkat sehingga impor pun membengkak. 

Sebagai informasi, neraca perdagangan migas Indonesia periode Januari-Mei 2018 mencatat defisit yang besar yaitu US$ 5,03 miliar. Jika impor migas naik, maka defisit ini akan semakin dalam.

Tingginya kebutuhan impor migas tentu akan mempengaruhi arus devisa dalam negeri. Akan semakin banyak devisa yang melayang ke luar negeri untuk mengimpor migas sehingga pasokannya di dalam negeri menjadi terkuras. Hasilnya tentu adalah rupiah akan semakin rentan terhadap depresiasi. 

Potensi depresiasi rupiah akibat pembengkakan impor migas bisa menjadi salah satu risiko bagi pasar keuangan Indonesia, termasuk di bursa saham. Oleh karena itu, investor tetap perlu waspada dan mencermati pergerakan nilai tukar rupiah. 

Sementara dari eksternal, ada pula potensi dolar AS kembali menguat. Sentimen positif bagi greenback bisa datang dari rilis data terbaru di Negeri Adidaya. 

Pemesanan untuk barang-barang buatan AS naik 0,4% secara bulanan, melebihi ekspektasi pasar yaitu 0,1%. Sementara secara tahunan, pertumbuhannya mencapai 8,7%. 

Data ini menunjukkan bahwa perekonomian AS terus membaik. Artinya, persepsi bahwa The Fed akan semakin agresif dalam menaikkan suku bunga acuan bisa datang lagi. Persepsi ini seringkali menjadi obat kuat yang cespleng bagi dolar AS sehingga menekan berbagai mata uang, termasuk rupiah. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim berkunjung ke Indonesia, bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri Kabinet Kerja di Istana Bogor (09:00 WIB).
  • Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja menggelar rapat koordinasi membahas peningkatan ekspor dan investasi (16:00 WIB).
  • Rilis data penjualan ritel Australia periode Mei 2018 (08:30).
  • Rilis data neraca perdagangan Australia periode Mei 2018 (08:30).
  • Rlis data indeks PMI Caixin sektor jasa China periode Juni 2018 (08:45).
  • Rilis data indeks PMI sektor jasa Inggris periode Juni 2018 (15:30).

Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama:

Indeks

Close

% Change

% YtD

 

IHSG

5,633.94

(1.96)

(11.36)

LQ45

882.84

(2.13)

(18.21)

DJIA

24,174.82

(0.54)

(2.20)

CSI300

3,408.86

0.03

(15.43)

Hang Seng

28,545.57

(1.41)

(4.59)

Nikkei 225

21,785.54

(0.12)

(4.30)

Straits Times

3,235.90

(0.09)

(4.91)


Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:

Mata Uang

 Close

% Change

 % YoY

USD/IDR

14,375

0.00

7.58

EUR/USD

1.16

0.18

2.81

GBP/USD

1.32

0.40

2.14

USD/CHF

0.99

(0.11)

2.80

USD/CAD

1.31

(0.32)

1.59

USD/JPY

110.56

(0.30)

(2.38)

AUD/USD

0.74

0.65

(2.81)


Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:  

Komoditas

 Close

 % Change

 % YoY

Minyak Light Sweet (US$/barel)

74.39

0.82

61.80

Minyak Brent (US$/barel)

77.82

0.66

56.96

Emas (US$/troy ons)

1,253.32

0.92

2.41

CPO (MYR/ton)

2,287.00

(0.69)

(13.70)

Batu bara (US$/ton)

112.65

0.37

40.87

Tembaga (US$/pound)

2.91

(0.75)

9.55

Nikel (US$/ton)

14,823.00

0.00

62.16

Timah (US$/ton)

19,825.00

0.77

(1.00)

Karet (JPY/kg)

164.20

(1.44)

(15.92)

Kakao (US$/ton)

2,389.00

(3.08)

21.04


Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara: 

Tenor

 Yield (%)

 5Y

7.64

10Y

7.79

15Y

8.24

20Y

8.14

30Y

8.49

 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY)

5.06%

Inflasi (Juni 2018 YoY)

3.12%

Defisit anggaran (APBN 2018)

-2.19% PDB

Transaksi berjalan (Q I-2018)

-2.15% PDB

Neraca pembayaran (Q I-2018)

-US$ 3.85 miliar

Cadangan devisa (Mei 2018)

US$ 122.9


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Perang Dagang Tinggal Tunggu Waktu, Sanggupkah IHSG-Rupiah Bertahan?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular