
Newsletter
IHSG Sepertinya Masih Diuji Onak dan Duri
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 June 2018 05:57

Untuk perdagangan hari ini, ada sejumlah hal yang perlu dicermati oleh pelaku pasar. Pertama tentu koreksi di Wall Street. Bisa jadi merahnya Wall Street menular ke bursa saham Asia sehingga menyebabkan tekanan lebih lanjut. Indonesia tentu tidak imun akan risiko tersebut.
Perang dagang dan kini merembet ke investasi juga perlu diwaspadai. Investor patut untuk khawatir, sebab apa yang dilakukan AS dengan memproteksi sektor perdagangan dan investasi bisa menjadi preseden bagi negara lain.
Kalau negara lain ikut menerapkannya atas nama perlindungan kepentingan nasional, maka perekonomian dunia akan menjadi tertutup. Pertumbuhan ekonomi global pun di ujung tanduk.
Investor juga masih perlu menyimak perkembangan nilai tukar dolar AS, apalagi hari ini pasar valas Indonesia sudah kembali dibuka. Pasalnya, greenback tengah menguat gila-gilaan.
Pada pukul 04.40 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama) menguat sampai 0,67% ke 95.291. Ini merupakan titik tertinggi sejak pertengahan Juli 2017, hampir setahun.
Ekspektasi pasar terhadap kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif oleh The Federal Reserve/The Fed masih ampuh untuk mendorong penguatan greenback. The Fed kini bisa dibilang satu-satunya bank sentral di negara maju yang sudah terang-terangan bicara kenaikan bunga dan normalisasi kebijakan moneter. Sementara bank sentral lain seperti European Central Bank (ECB) sepertinya baru menaikkan suku bunga acuan pada kuartal III-2019.
Apalagi Bank of England (BoE) juga tengah terpecah konsentrasinya jelang pertemuan lanjutan untuk membahas keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit Meeting). BoE tengah memastikan bahwa sektor keuangan Inggris siap untuk menghadapi Brexit. Oleh karena itu, pasar pun menyangsikan apakah BoE akan mengeksekusi kenaikan suku bunga acuan pada Agustus mendatang.
Dolar AS semakin melaju kala Bank Sentral China, People's Bank of China (PBoC), bergerak melemahkan nilai tukar yuan. Dalam beberapa waktu terakhir, PBoC menurunkan nilai tengah yuan dengan tujuan memperlemah mata uang ini.
Langkah ini ditempuh untuk menjaga agar ekspor China tetap kompetitif di tengah perang dagang yang tengah berkecamuk. Pelaku pasar memperkirakan PBoC tidak akan mengendurkan cengkeramannya sebelum situasi membaik.
Penguatan greenback bisa menekan mata uang lain, termasuk rupiah. Saat rupiah melemah, berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik karena nilainya turun. Investor, terutama asing, bisa melanjutkan aksi jual dan ini tentu bukan kabar gembira bagi IHSG.
Namun, ada pula sentimen positif untuk IHSG yaitu kenaikan harga minyak dunia. Biasanya investor lebih mengapresiasi emiten migas dan pertambangan kala harga minyak naik, dan ini bisa mempengaruhi IHSG secara keseluruhan.
Kenaikan harga si emas hitam disebabkan oleh kekhawatiran penurunan pasokan dari Kanada dan Libya. Di Kanada, ada gangguan di fasilitas produksi di Alberta yang bisa mengancam sekitar 10% dari total pasokan minyak Negeri Daun Maple. Gangguan produksi ini diperkirakan berlangsung hingga Juli dan bisa mempengaruhi produksi sebanyak 350.000 barel/hari.
Penurunan pasokan dari Kanada membuat cadangan minyak AS di Cushing, Oklahoma, turun 2,71 juta barel pekan lalu. Penurunan ini yang membuat harga minyak terkerek ke atas.
Sementara dari Libya, ada ketidakjelasan pihak mana yang tengah mengendalikan ekspor minyak. Apakah pemerintah atau pemberontak? Seiring dengan pemerintahan Libya yang pecah kongsi, perusahaan minyak negara pun terpecah dua tetapi sama-sama memakai nama National Oil Company (NOC). Bedanya, satu NOC resmi milik pemerintah berbasis di Tripoli dan yang lain adalah NOC milik pemberontak di Benghazi.
Pasukan pemberontak mengklaim mereka telah menguasai pelabuhan Hariga dan Zueitina dan menyerahkannya kepada NOC Benghazi. Dua pelabuhan ini merupakan objek vital dan menentukan ekspor minyak Libya.
Kisruh Libya menyebabkan pasokan minyak dari negara tersebut turun sekitar 450.000 barel/hari. Ini hampir separuh dari total produksi minyak di sana yaitu 1 juta barel/hari.
Situasi di Kanada dan Libya ini membuat harga minyak bergerak naik. Sesuai hukum ekonomi, penurunan pasokan tentu menyebabkan kenaikan harga.
Sementara dari dalam negeri, hari ini adalah hari pertama pelaksanaan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI. Besok, BI akan mengumumkan suku bunga acuan.
Potensi suku bunga acuan BI 7 day repo rate untuk kembali naik cukup besar. Perry Warjiyo, Gubernur BI, pekan lalu sudah memberi sinyal mengenai hal ini.
Jika benar BI menaikkan suku bunga, maka dalam jangka pendek bisa berdampak positif. Kenaikan suku bunga akan membuat berinvestasi di Indonesia menjadi menarik karena memberikan keuntungan lebih. Masuknya aliran modal asing ini bisa menjadi penopang bagi penguatan nilai tukar rupiah.
Namun dalam jangka menengah-panjang, kenaikan suku bunga bisa berdampak negatif. Biaya dana perbankan akan naik sehingga menekan profitabilitas mereka.
Bank juga mungkin harus menaikkan suku bunga kredit merespons kenaikan suku bunga simpanan. Ini tentu membuat pertumbuhan kredit, aktivitas bisnis, konsumsi masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi akan tertekan.
Oleh karena itu, sepertinya pasar akan cenderung menunggu keputusan BI sebelum beraktivitas lebih lanjut. Sikap pasar yang wait and see bisa menjadi salah satu faktor pemberat IHSG hari ini.
Sepertinya cukup banyak sentimen negatif yang akan membebani IHSG hari ini. Oleh karena itu, kemungkinan IHSG masih akan menjalani masa penuh cobaan dan ujian.
(aji/aji)
Perang dagang dan kini merembet ke investasi juga perlu diwaspadai. Investor patut untuk khawatir, sebab apa yang dilakukan AS dengan memproteksi sektor perdagangan dan investasi bisa menjadi preseden bagi negara lain.
Kalau negara lain ikut menerapkannya atas nama perlindungan kepentingan nasional, maka perekonomian dunia akan menjadi tertutup. Pertumbuhan ekonomi global pun di ujung tanduk.
Investor juga masih perlu menyimak perkembangan nilai tukar dolar AS, apalagi hari ini pasar valas Indonesia sudah kembali dibuka. Pasalnya, greenback tengah menguat gila-gilaan.
Pada pukul 04.40 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama) menguat sampai 0,67% ke 95.291. Ini merupakan titik tertinggi sejak pertengahan Juli 2017, hampir setahun.
Ekspektasi pasar terhadap kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif oleh The Federal Reserve/The Fed masih ampuh untuk mendorong penguatan greenback. The Fed kini bisa dibilang satu-satunya bank sentral di negara maju yang sudah terang-terangan bicara kenaikan bunga dan normalisasi kebijakan moneter. Sementara bank sentral lain seperti European Central Bank (ECB) sepertinya baru menaikkan suku bunga acuan pada kuartal III-2019.
Apalagi Bank of England (BoE) juga tengah terpecah konsentrasinya jelang pertemuan lanjutan untuk membahas keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit Meeting). BoE tengah memastikan bahwa sektor keuangan Inggris siap untuk menghadapi Brexit. Oleh karena itu, pasar pun menyangsikan apakah BoE akan mengeksekusi kenaikan suku bunga acuan pada Agustus mendatang.
Dolar AS semakin melaju kala Bank Sentral China, People's Bank of China (PBoC), bergerak melemahkan nilai tukar yuan. Dalam beberapa waktu terakhir, PBoC menurunkan nilai tengah yuan dengan tujuan memperlemah mata uang ini.
Langkah ini ditempuh untuk menjaga agar ekspor China tetap kompetitif di tengah perang dagang yang tengah berkecamuk. Pelaku pasar memperkirakan PBoC tidak akan mengendurkan cengkeramannya sebelum situasi membaik.
Penguatan greenback bisa menekan mata uang lain, termasuk rupiah. Saat rupiah melemah, berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik karena nilainya turun. Investor, terutama asing, bisa melanjutkan aksi jual dan ini tentu bukan kabar gembira bagi IHSG.
Namun, ada pula sentimen positif untuk IHSG yaitu kenaikan harga minyak dunia. Biasanya investor lebih mengapresiasi emiten migas dan pertambangan kala harga minyak naik, dan ini bisa mempengaruhi IHSG secara keseluruhan.
Kenaikan harga si emas hitam disebabkan oleh kekhawatiran penurunan pasokan dari Kanada dan Libya. Di Kanada, ada gangguan di fasilitas produksi di Alberta yang bisa mengancam sekitar 10% dari total pasokan minyak Negeri Daun Maple. Gangguan produksi ini diperkirakan berlangsung hingga Juli dan bisa mempengaruhi produksi sebanyak 350.000 barel/hari.
Penurunan pasokan dari Kanada membuat cadangan minyak AS di Cushing, Oklahoma, turun 2,71 juta barel pekan lalu. Penurunan ini yang membuat harga minyak terkerek ke atas.
Sementara dari Libya, ada ketidakjelasan pihak mana yang tengah mengendalikan ekspor minyak. Apakah pemerintah atau pemberontak? Seiring dengan pemerintahan Libya yang pecah kongsi, perusahaan minyak negara pun terpecah dua tetapi sama-sama memakai nama National Oil Company (NOC). Bedanya, satu NOC resmi milik pemerintah berbasis di Tripoli dan yang lain adalah NOC milik pemberontak di Benghazi.
Pasukan pemberontak mengklaim mereka telah menguasai pelabuhan Hariga dan Zueitina dan menyerahkannya kepada NOC Benghazi. Dua pelabuhan ini merupakan objek vital dan menentukan ekspor minyak Libya.
Kisruh Libya menyebabkan pasokan minyak dari negara tersebut turun sekitar 450.000 barel/hari. Ini hampir separuh dari total produksi minyak di sana yaitu 1 juta barel/hari.
Situasi di Kanada dan Libya ini membuat harga minyak bergerak naik. Sesuai hukum ekonomi, penurunan pasokan tentu menyebabkan kenaikan harga.
Sementara dari dalam negeri, hari ini adalah hari pertama pelaksanaan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI. Besok, BI akan mengumumkan suku bunga acuan.
Potensi suku bunga acuan BI 7 day repo rate untuk kembali naik cukup besar. Perry Warjiyo, Gubernur BI, pekan lalu sudah memberi sinyal mengenai hal ini.
Jika benar BI menaikkan suku bunga, maka dalam jangka pendek bisa berdampak positif. Kenaikan suku bunga akan membuat berinvestasi di Indonesia menjadi menarik karena memberikan keuntungan lebih. Masuknya aliran modal asing ini bisa menjadi penopang bagi penguatan nilai tukar rupiah.
Namun dalam jangka menengah-panjang, kenaikan suku bunga bisa berdampak negatif. Biaya dana perbankan akan naik sehingga menekan profitabilitas mereka.
Bank juga mungkin harus menaikkan suku bunga kredit merespons kenaikan suku bunga simpanan. Ini tentu membuat pertumbuhan kredit, aktivitas bisnis, konsumsi masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi akan tertekan.
Oleh karena itu, sepertinya pasar akan cenderung menunggu keputusan BI sebelum beraktivitas lebih lanjut. Sikap pasar yang wait and see bisa menjadi salah satu faktor pemberat IHSG hari ini.
Sepertinya cukup banyak sentimen negatif yang akan membebani IHSG hari ini. Oleh karena itu, kemungkinan IHSG masih akan menjalani masa penuh cobaan dan ujian.
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular