Newsletter

Waspada, Dolar AS Masih Perkasa

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 June 2018 05:50
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Untuk perdagangan hari ini, hijaunya Wall Street bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Dinamika di Wall Street biasanya akan memberi warna bagi jalannya bursa Asia, termasuk Indonesia. 

Seperti halnya di Wall Street, kenaikan harga minyak juga bisa menjadi sentimen positif bagi bursa saham Indonesia. Emiten migas dan pertambangan akan lebih diapresiasi saat harga minyak naik. 

Namun, investor perlu waspada karena penguatan dolar AS kemungkinan masih berlanjut. Kemarin, rupiah melemah 0,16% di hadapan greenback

Pada pukul 04:14 WIB pagi ini, Dollar Index (yang mengukur posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama) menguat hingga 0,42%. Bahkan sebelumnya indeks ini sempat naik 0,52% dan mencapai titik tertingginya dalam empat hari terakhir yaitu di 94,764. 

Meski belum benar-benar selesai, setidaknya sentimen perang dagang yang mereda membuat investor mulai berani mengambil risiko. Akibatnya, investor mulai melepas mata uang yen Jepang (yang dinilai sebagai salah satu aset aman/safe haven) untuk kembali ke pelukan dolar AS.

 Apalagi peluang Bank Sentral AS, The Federal Reserve/The Fed, untuk menaikkan suku bunga lebih agresif masih terbuka. Robert Kaplan, Presiden The Fed Dallas, memberi petunjuk bahwa bank sentral masih akan menaikkan suku bunga hingga ke level yang tidak lagi akomodatif. 

Untuk saat ini, Kaplan menilai sikap (stance) kebijakan moneter The Fed masih akomodatif sebab suku bunga yang sekarang masih mampu untuk merangsang tumbuhnya aktivitas ekonomi. Suku bunga acuan AS saat ini adalah 1,75-2%. Menurut Kaplan, suku bunga yang dinilai tidak lagi menjadi stimulus bagi perekonomian ada di 2,5-2,75%. 

"Oleh karena itu, menurut saya The Fed masih akomodatif untuk saat ini," ujarnya, seperti dikutip dari Reuters. 

Pernyataan Kaplan menjadi bensin full tank bagi greenback. Investor membaca The Fed akan cenderung terus menaikkan suku bunga acuan sampai ke level yang disebut Kaplan tidak lagi akomodatif. Kenaikan suku bunga acuan tentu menjadi kabar gembira untuk setiap mata uang, karena kenaikan suku bunga akan menjangkar ekspektasi inflasi sehingga nilai mata uang bisa naik. 

Apalagi saat ini The Fed seakan tanpa lawan, karena bank sentral di negara maju lainnya belum seagresif mereka. Bank Sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) memang akan mengurangi stimulus moneter pada September dan mengakhirinya pada Desember. Namun soal kenaikan suku bunga, investor memperkirakan paling cepat terjadi pada September 2019.

Sementara Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) masih bersabar dan menahan diri menerapkan suku bunga negatif. BoJ menilai perekonomian Negeri Matahari Terbit masih butuh stimulus moneter untuk mendorong konsumsi masyarakat, yang tercermin dari percepatan laju inflasi. 

Sampai saat ini, laju inflasi di Jepang belum menunjukkan tanda-tanda akselerasi yang stabil. Bahkan BoJ menurunkan target inflasi mereka untuk tahun ini dari 1% menjadi 0,5-1%. 

Saat dolar AS menguat, mata uang lainnya tentu akan tertekan termasuk rupiah. Depresiasi rupiah akan membuat berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik karena nilainya turun.  

Tekanan jual, terutama oleh investor asing, bisa marak terjadi kala rupiah terdepresiasi. Ini tentu bukan kabar gembira bagi IHSG. 

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular