
Newsletter
Awas Bahaya Laten Perang Dagang!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 June 2018 05:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat setelah sempat terkoreksi akibat rilis data perdagangan internasional. IHSG juga bisa mengakhiri hari di zona hijau kala bursa utama Asia kebanyakan ditutup di teritori negatif.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,64%. Nilai transaksi tercatat Rp 7,46 triliun dengan volume 9,14 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 408.629 kali.
IHSG sempat merah kala Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data realisasi perdagangan internasional periode Mei 2018. BPS melaporkan ekspor Indonesia sepanjang bulan lalu tumbuh 12,47% secara year-on-year (YoY), sementara impor melonjak hingga 28,12% YoY. Ini menghasilkan neraca perdagangan yang defisit cukup dalam yaitu US$ 1,52 miliar.
Defisit perdagangan tersebut memberi kesan bahwa aliran devisa dari sektor perdagangan seret. Artinya, sokongan devisa untuk menopang fondasi rupiah menjadi rapuh. Benar saja, pada perdagangan kemarin rupiah melemah sampai 0,53% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
IHSG sempat terjebak di zona merah setelah rilis data ini. Namun, pasar kemudian mencerna data BPS dan menemukan harapan.
Tingginya impor pada Mei salah satunya dipicu oleh barang konsumsi, yang tercatat sebesar US$ 1,73 miliar. Melonjak hingga 14,88% secara month-to-month (MtM) atau sekitar 34% secara YoY. Secara bulanan, peningkatan impor barang konsumsi bahkan lebih besar dibandingkan dengan kenaikan impor bahan baku dan barang modal (masing-masing sebesar 9,02% MtM dan 6,63% MtM).
Hal ini nampaknya ditangkap investor sebagai indikasi pemulihan daya beli masyarakat, yang akan berujung pada membaiknya komponen konsumsi rumah tangga dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Oleh karena itu, ada harapan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2018 akan lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya.
Saat Ramadan dan Idul Fitri tahun lalu, impor barang konsumsi Indonesia malah anjlok sebesar 12,49% secara MtM atau 1,23% YoY. Tahun 2017 memang merupakan masa yang suram bagi daya beli masyarakat, seiring dicabutnya subsidi listrik golongan 900 VA pada awal hingga pertengahan tahun lalu.
Investor pun memburu saham-saham emiten barang konsumsi, yang dicerminkan dengan indeks sektor barang konsumsi ditutup menguat 2,94%. Tertinggi dibandingkan sembilan sektor saham lainnya. Saham-saham emiten barang konsumsi yang membukukan penguatan di antaranya GGRM (+7,85%), HMSP (+5%), ICBP (+4,17%), UNVR (+1,81%), dan INDF (+1,15%).
IHSG beruntung karena bursa-bursa utama Asia tidak mampu menutup hari di teritori positif. Indeks Nikkei 225 turun 0,79%, Shanghai Composite anjlok 1,04%, Hang Seng amblas 1,29%, dan Straits Times minus 0,81%.
Isu perang dagang menjadi pemberat laju bursa saham Benua Kuning. Diawali dengan kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengenakan bea masuk 25% terhadap lebih dari 800 produk China mulai 6 Juli. Kebijakan ini kemudian memantik balas dendam Beijing, yang juga akan memberlakukan bea masuk 25% kepada lebih dari 600 produk AS mulai 6 Juli.
Beberapa hari kemudian, giliran Uni Eropa yang akan memberlakukan bea masuk 25% bagi berbagai produk AS, karena Trump telah mengenakan kebijakan serupa untuk baja dan aluminium dari Benua Biru. Trump malah balik menggertak Uni Eropa dengan ancaman bea masuk 20% untuk mobil.
Tidak cukup sampai situ, mantan pembawa acara The Apprentice itu berencana membatasi aktivitas perusahaan China di Negeri Paman Sam. Perusahaan yang punya kepemilikan minimal 25% oleh pihak China akan dilarang untuk berinvestasi di perusahaan-perusahaan teknologi strategis di AS.
Dewan Keamanan Nasional AS dan Kementerian Perdagangan AS juga tengah merancang peraturan untuk mengontrol ekspor AS ke China untuk menghindari produk-produk berteknologi strategis dikirim ke Negeri Tirai Bambu. Langkah-langkah ini dimaksudkan untuk menghalangi pencurian hak kekayaan intelektual dan teknologi strategis oleh China.
Situasi ini membuat investor tidak nyaman. Kini perang dagang sudah melebar ke perang investasi. Pertumbuhan ekonomi dunia sedang dipertaruhkan.
Akhirnya bursa saham pun ditinggalkan, dan pelaku pasar memilih bermain aman dengan memegang aset-aset safe haven. Yen Jepang, salah satu aset safe haven, menguat sampai lebih dari 0,5% terhadap greenback pada perdagangan kemarin karena tingginya minat investor.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,64%. Nilai transaksi tercatat Rp 7,46 triliun dengan volume 9,14 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 408.629 kali.
IHSG sempat merah kala Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data realisasi perdagangan internasional periode Mei 2018. BPS melaporkan ekspor Indonesia sepanjang bulan lalu tumbuh 12,47% secara year-on-year (YoY), sementara impor melonjak hingga 28,12% YoY. Ini menghasilkan neraca perdagangan yang defisit cukup dalam yaitu US$ 1,52 miliar.
Defisit perdagangan tersebut memberi kesan bahwa aliran devisa dari sektor perdagangan seret. Artinya, sokongan devisa untuk menopang fondasi rupiah menjadi rapuh. Benar saja, pada perdagangan kemarin rupiah melemah sampai 0,53% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
IHSG sempat terjebak di zona merah setelah rilis data ini. Namun, pasar kemudian mencerna data BPS dan menemukan harapan.
Tingginya impor pada Mei salah satunya dipicu oleh barang konsumsi, yang tercatat sebesar US$ 1,73 miliar. Melonjak hingga 14,88% secara month-to-month (MtM) atau sekitar 34% secara YoY. Secara bulanan, peningkatan impor barang konsumsi bahkan lebih besar dibandingkan dengan kenaikan impor bahan baku dan barang modal (masing-masing sebesar 9,02% MtM dan 6,63% MtM).
Hal ini nampaknya ditangkap investor sebagai indikasi pemulihan daya beli masyarakat, yang akan berujung pada membaiknya komponen konsumsi rumah tangga dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Oleh karena itu, ada harapan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2018 akan lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya.
Saat Ramadan dan Idul Fitri tahun lalu, impor barang konsumsi Indonesia malah anjlok sebesar 12,49% secara MtM atau 1,23% YoY. Tahun 2017 memang merupakan masa yang suram bagi daya beli masyarakat, seiring dicabutnya subsidi listrik golongan 900 VA pada awal hingga pertengahan tahun lalu.
Investor pun memburu saham-saham emiten barang konsumsi, yang dicerminkan dengan indeks sektor barang konsumsi ditutup menguat 2,94%. Tertinggi dibandingkan sembilan sektor saham lainnya. Saham-saham emiten barang konsumsi yang membukukan penguatan di antaranya GGRM (+7,85%), HMSP (+5%), ICBP (+4,17%), UNVR (+1,81%), dan INDF (+1,15%).
IHSG beruntung karena bursa-bursa utama Asia tidak mampu menutup hari di teritori positif. Indeks Nikkei 225 turun 0,79%, Shanghai Composite anjlok 1,04%, Hang Seng amblas 1,29%, dan Straits Times minus 0,81%.
Isu perang dagang menjadi pemberat laju bursa saham Benua Kuning. Diawali dengan kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengenakan bea masuk 25% terhadap lebih dari 800 produk China mulai 6 Juli. Kebijakan ini kemudian memantik balas dendam Beijing, yang juga akan memberlakukan bea masuk 25% kepada lebih dari 600 produk AS mulai 6 Juli.
Beberapa hari kemudian, giliran Uni Eropa yang akan memberlakukan bea masuk 25% bagi berbagai produk AS, karena Trump telah mengenakan kebijakan serupa untuk baja dan aluminium dari Benua Biru. Trump malah balik menggertak Uni Eropa dengan ancaman bea masuk 20% untuk mobil.
Tidak cukup sampai situ, mantan pembawa acara The Apprentice itu berencana membatasi aktivitas perusahaan China di Negeri Paman Sam. Perusahaan yang punya kepemilikan minimal 25% oleh pihak China akan dilarang untuk berinvestasi di perusahaan-perusahaan teknologi strategis di AS.
Dewan Keamanan Nasional AS dan Kementerian Perdagangan AS juga tengah merancang peraturan untuk mengontrol ekspor AS ke China untuk menghindari produk-produk berteknologi strategis dikirim ke Negeri Tirai Bambu. Langkah-langkah ini dimaksudkan untuk menghalangi pencurian hak kekayaan intelektual dan teknologi strategis oleh China.
Situasi ini membuat investor tidak nyaman. Kini perang dagang sudah melebar ke perang investasi. Pertumbuhan ekonomi dunia sedang dipertaruhkan.
Akhirnya bursa saham pun ditinggalkan, dan pelaku pasar memilih bermain aman dengan memegang aset-aset safe haven. Yen Jepang, salah satu aset safe haven, menguat sampai lebih dari 0,5% terhadap greenback pada perdagangan kemarin karena tingginya minat investor.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular