
Newsletter
Ombak Belum Reda, Investor Masih Harus Waspada
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
22 June 2018 05:59

Untuk perdagangan hari ini, berbagai sentimen negatif masih menyelimuti IHSG. Dari eksternal, kejatuhan Wall Street menjadi faktor pertama yang dicermati investor. Biasanya dinamika di Wall Street akan memberi warna terhadap bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
Hawa perang dagang yang masih terasa juga perlu diwaspadai. Korban perang dagang sudah mulai angkat bicara, seperti perusahaan otomotif asal Jerman, Daimler, yang memangkas proyeksi laba. Bea masuk yang diterapkan China terhadap produk-produk AS akan menekan penjualan Mercedes-Benz sehingga menurunkan pos laba sebelum bunga dan pajak (EBIT).
Tidak hanya Daimler, sesama perusahaan otomotif asal Jerman yaitu BMW juga sudah mengeluh. BMW banyak mengekspor kendaraan jenis Sport Utility Vehicle (SUV) dari AS ke China.
"Disebabkan perkembangan mengenai perdagangan dan bea masuk akhir-akhir ini, perusahaan tengah mengevaluasi berbagai skenario dan opsi strategis yang dimungkinkan," sebut BMW dalam pernyataannya, dikutip dari Reuters.
Perang dagang tidak hanya mengancam arus perdagangan, tetapi juga pertumbuhan ekonomi dunia. Investor tentu tidak nyaman dengan situasi ini, dan bisa dipaksa untuk bermain aman. Kala investor enggan mengambil risiko, IHSG lagi-lagi akan tertekan.
Sentimen negatif lainnya adalah harga minyak yang masih turun. Dalam rapat konsultasi sebelum pertemuan inti dari Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC), keputusan untuk mengurangi kadar pemotongan produksi hampir mencapai kesepakatan. Meski Iran masih belum satu suara, tetapi sepertinya tidak menghalangi niat Rusia dan Arab Saudi untuk melakukan hal tersebut.
Menurut pihak Rusia dan Arab Saudi, kenaikan produksi 1 juta barel/hari atau sekitar 1% dari pasokan minyak dunia hampir disepakati. Hanya Iran yang absen. "Saya rasa kami tidak akan mencapai kesepakatan," tegas Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh, dikutip dari Reuters.
Sejak awal 2017, OPEC dan negara produsen minyak non-OPEC sepakat untuk menurunkan produksi demi mengangkat harga minyak yang sempat terpuruk hingga di level US$ 30/barel. Langkah itu terbukti sukses mengatrol harga minyak. Oleh karena itu, beberapa negara mengajukan proposal untuk mengurangi pemotongan produksi secara bertahap karena pasar dinilai sudah relatif stabil.
Kenaikan pasokan minyak membuat harga terkoreksi. Penurunan harga minyak bukan berita baik buat IHSG, karena emiten migas dan pertambangan menjadi kurang mendapat apresiasi.
Sepertinya ombak belum reda. IHSG masih harus waspada terhadap potensi koreksi lanjutan.
Namun, ada satu sentimen positif yang mungkin bisa membantu IHSG. Setelah terus menguat sejak pertengahan pekan lalu, dolar AS kini mulai kehabisan bensin. Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) turun 0,2% pada pukul 04.40 WIB.
Reli dolar AS yang cukup panjang menggoda investor untuk melakukan ambil untung. Dalam sepekan terakhir, Dolar Index sudah menguat 0,1% dan dalam sebulan penguatannya mencapai 1,34%.
Pemicu ambil untung ini adalah data yang kurang menggembirakan. The Fed Philadelphia merilis indeks aktivitas bisnis wilayah Mid-Atlantik, yang pada Juni tercatat 19,9. Turun drastis dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 34,4. Penurunan ini terjadi saat perang dagang AS-China memanas.
Selain itu, investor juga mengapresiasi perkembangan di Inggris. Bank Sentral Inggris, Bank of England (BoE), memang masih menahan suku bunga acuan di 0,5% dalam rapat yang berakhir dini hari tadi waktu Indonesia. Namun peluang untuk kenaikan pada Agustus dirasa semakin besar.
Penyebabnya adalah Andy Haldane, Kepala Ekonom BoE, yang duduk sebagai salah satu anggota komite voting. Haldane dikenal sebagai sosok yang hawkish sehingga kemungkinan suku bunga acuan naik menjadi 0,75% pada Agustus menjadi kian terbuka.
Pada pertemuan kemarin, tiga dari sembilan anggota komite voting memilih menaikkan suku bunga. Anggota yang memilih kenaikan suku bunga bertambah satu orang dari rapat bulan lalu. Artinya kenaikan suku bunga acuan di Negeri Ratu Elizabeth sudah semakin dekat.
Dua sentimen itu menjadi pelatuk yang membuat investor memilih untuk merealisasikan keuntungan. Akibatnya, dolar AS pun mulai limbung.
Tekanan terhadap greenback bisa dimanfaatkan oleh rupiah untuk berbalik menguat. Apabila rupiah mampu menguat, maka berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi menguntungkan. IHSG pun akan menerima berkahnya.
(aji/aji)
Hawa perang dagang yang masih terasa juga perlu diwaspadai. Korban perang dagang sudah mulai angkat bicara, seperti perusahaan otomotif asal Jerman, Daimler, yang memangkas proyeksi laba. Bea masuk yang diterapkan China terhadap produk-produk AS akan menekan penjualan Mercedes-Benz sehingga menurunkan pos laba sebelum bunga dan pajak (EBIT).
Tidak hanya Daimler, sesama perusahaan otomotif asal Jerman yaitu BMW juga sudah mengeluh. BMW banyak mengekspor kendaraan jenis Sport Utility Vehicle (SUV) dari AS ke China.
"Disebabkan perkembangan mengenai perdagangan dan bea masuk akhir-akhir ini, perusahaan tengah mengevaluasi berbagai skenario dan opsi strategis yang dimungkinkan," sebut BMW dalam pernyataannya, dikutip dari Reuters.
Perang dagang tidak hanya mengancam arus perdagangan, tetapi juga pertumbuhan ekonomi dunia. Investor tentu tidak nyaman dengan situasi ini, dan bisa dipaksa untuk bermain aman. Kala investor enggan mengambil risiko, IHSG lagi-lagi akan tertekan.
Sentimen negatif lainnya adalah harga minyak yang masih turun. Dalam rapat konsultasi sebelum pertemuan inti dari Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC), keputusan untuk mengurangi kadar pemotongan produksi hampir mencapai kesepakatan. Meski Iran masih belum satu suara, tetapi sepertinya tidak menghalangi niat Rusia dan Arab Saudi untuk melakukan hal tersebut.
Menurut pihak Rusia dan Arab Saudi, kenaikan produksi 1 juta barel/hari atau sekitar 1% dari pasokan minyak dunia hampir disepakati. Hanya Iran yang absen. "Saya rasa kami tidak akan mencapai kesepakatan," tegas Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh, dikutip dari Reuters.
Sejak awal 2017, OPEC dan negara produsen minyak non-OPEC sepakat untuk menurunkan produksi demi mengangkat harga minyak yang sempat terpuruk hingga di level US$ 30/barel. Langkah itu terbukti sukses mengatrol harga minyak. Oleh karena itu, beberapa negara mengajukan proposal untuk mengurangi pemotongan produksi secara bertahap karena pasar dinilai sudah relatif stabil.
Kenaikan pasokan minyak membuat harga terkoreksi. Penurunan harga minyak bukan berita baik buat IHSG, karena emiten migas dan pertambangan menjadi kurang mendapat apresiasi.
Sepertinya ombak belum reda. IHSG masih harus waspada terhadap potensi koreksi lanjutan.
Namun, ada satu sentimen positif yang mungkin bisa membantu IHSG. Setelah terus menguat sejak pertengahan pekan lalu, dolar AS kini mulai kehabisan bensin. Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) turun 0,2% pada pukul 04.40 WIB.
Reli dolar AS yang cukup panjang menggoda investor untuk melakukan ambil untung. Dalam sepekan terakhir, Dolar Index sudah menguat 0,1% dan dalam sebulan penguatannya mencapai 1,34%.
Pemicu ambil untung ini adalah data yang kurang menggembirakan. The Fed Philadelphia merilis indeks aktivitas bisnis wilayah Mid-Atlantik, yang pada Juni tercatat 19,9. Turun drastis dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 34,4. Penurunan ini terjadi saat perang dagang AS-China memanas.
Selain itu, investor juga mengapresiasi perkembangan di Inggris. Bank Sentral Inggris, Bank of England (BoE), memang masih menahan suku bunga acuan di 0,5% dalam rapat yang berakhir dini hari tadi waktu Indonesia. Namun peluang untuk kenaikan pada Agustus dirasa semakin besar.
Penyebabnya adalah Andy Haldane, Kepala Ekonom BoE, yang duduk sebagai salah satu anggota komite voting. Haldane dikenal sebagai sosok yang hawkish sehingga kemungkinan suku bunga acuan naik menjadi 0,75% pada Agustus menjadi kian terbuka.
Pada pertemuan kemarin, tiga dari sembilan anggota komite voting memilih menaikkan suku bunga. Anggota yang memilih kenaikan suku bunga bertambah satu orang dari rapat bulan lalu. Artinya kenaikan suku bunga acuan di Negeri Ratu Elizabeth sudah semakin dekat.
Dua sentimen itu menjadi pelatuk yang membuat investor memilih untuk merealisasikan keuntungan. Akibatnya, dolar AS pun mulai limbung.
Tekanan terhadap greenback bisa dimanfaatkan oleh rupiah untuk berbalik menguat. Apabila rupiah mampu menguat, maka berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi menguntungkan. IHSG pun akan menerima berkahnya.
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular