
Newsletter
Mampukah IHSG Rebound?
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
31 May 2018 05:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi lumayan dalam pada perdagangan kemarin. Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 day reverse repo rate tidak mampu meredam sentimen negatif eksternal, yaitu kisruh politik Italia dan dinamika perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China.
Kemarin, IHSG berkurang 0,94%. Nilai transaksi tercatat Rp 10,4 triliun dengan volume 11,2 miliar saham. Frekuensi perdagangan adalah 530.754 kali.
Dari dalam negeri, IHSG yang sudah menguat lima hari berturut-turut agak menggoda investor untuk merealisasikan keuntungan. Termasuk investor asing, yang dalam beberapa hari terakhir melakukan akumulasi beli, kemarin mencatatkan jual bersih Rp 212,7 miliar.
BI memutuskan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) tambahan kemarin. Namun, lagi-lagi kenaikan suku bunga acuan kurang nendang untuk mendongkrak IHSG.
Padahal pasar telah menantikan kenaikan suku bunga. Berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, 13 dari 14 ekonom dan analis memperkirakan kenaikan BI 7 day reverse repo rate sebesar 25 basis poin.
Dengan kenaikan ini, maka BI akan lebih ahead the curve dalam menyongsong pertemuan The Federal Reserve/The Fed pada 13 Juni mendatang. Dalam pertemuan tersebut, The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 1,75-2%. Probabilitasnya adalah 91,3%, menurut CME Federal Funds Futures.
Akan tetapi setelah kenaikan BI 7 day reverse repo rate dieksekusi, ternyata hasilnya tidak memuaskan. IHSG justru terkoreksi cukup dalam, investor asing membukukan jual bersih, dan nilai tukar rupiah stagnan saja terhadap dolar AS. Mungkin pasar sudah mengantisipasi dan menghitung (priced in) kebijakan ini sehingga efeknya menjadi minimal.
Selain itu, seperti kenaikan suku bunga sebelumnya yang terjadi 17 Mei, sentimen ini tenggelam oleh isu dari luar negeri. Kali ini, perhatian investor dunia tengah tertuju pada perkembangan di Italia.
Negeri PIzza diperkirakan menggelar pemilu ulang karena pemilu yang lalu gagal membentuk kekuatan mayoritas di parlemen. Presiden Sergio Mattarella menunjuk mantan pejabat Dana Moneter Internasional (IMF) Carlo Cottarelli sebagai Perdana Menteri sementara. Cottarelli bertugas untuk merencanakan pemilu dan anggaran negara.
Pemimpin Liga, Matteo Slavini, menyuarakan keinginannya agar pemilu ulang diadakan secepat mungkin. "Semakin cepat kita melakukan pemungutan suara, akan semakin baik. Ini adalah cara terbaik untuk keluar dari kondisi dan kebingungan ini," kata Salvini, seperti dikutip dari CNBC International.
Jika kekuatan populis semakin solid dan kemungkinan Italia bercerai dengan Uni Eropa kian besar, maka dampaknya adalah guncangan terhadap pasar keuangan global. Masih hangat di ingatan bagaimana keluarnya Inggris dari Uni Eropa memberikan tekanan yang begitu besar bagi pasar keuangan dunia. Kini, negara dengan perekonomian terbesar ke-3 di Zona Euro berpotensi mengikuti jejak Inggris.
Sentimen negatif kedua adalah perkembangan perang dagang AS-China. Gedung Putih berencana mengenakan bea masuk baru senilai US$ 50 miliar bagi produk asal China. Pemerintahan Presiden Donald Trump juga akan memperketat investasi yang berasal dari Negeri Tirai Bambu. Detil dari tarif bea masuk akan diumumkan pada 15 Juni, sementara kebijakan kontrol terhadap investasi asal China akan dirilis pada 30 Juni.
Kebijakan AS ini tentu semakin menyulitkan kedua negara untuk mencapai titik temu. Investor was-was babak baru perang dagang akan terjadi yang kemudian mengancam perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global.
Merespons dua sentimen tersebut, investor cenderung kembali menghindari aset-aset berisiko dan mengamankan dananya di instrumen safe haven. Pasar saham pun ditinggalkan sehingga lautan merah terlihat di bursa Asia. Indeks Nikkei 225 terkoreksi 1,52%, Kospi terpangkas 1,96%, Straits Times anjlok 2,12%, Shanghai Composite amblas 2,53%, dan Hang Seng berkurang 1,4%.
Kemarin, IHSG berkurang 0,94%. Nilai transaksi tercatat Rp 10,4 triliun dengan volume 11,2 miliar saham. Frekuensi perdagangan adalah 530.754 kali.
Dari dalam negeri, IHSG yang sudah menguat lima hari berturut-turut agak menggoda investor untuk merealisasikan keuntungan. Termasuk investor asing, yang dalam beberapa hari terakhir melakukan akumulasi beli, kemarin mencatatkan jual bersih Rp 212,7 miliar.
BI memutuskan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) tambahan kemarin. Namun, lagi-lagi kenaikan suku bunga acuan kurang nendang untuk mendongkrak IHSG.
Padahal pasar telah menantikan kenaikan suku bunga. Berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, 13 dari 14 ekonom dan analis memperkirakan kenaikan BI 7 day reverse repo rate sebesar 25 basis poin.
Dengan kenaikan ini, maka BI akan lebih ahead the curve dalam menyongsong pertemuan The Federal Reserve/The Fed pada 13 Juni mendatang. Dalam pertemuan tersebut, The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 1,75-2%. Probabilitasnya adalah 91,3%, menurut CME Federal Funds Futures.
Akan tetapi setelah kenaikan BI 7 day reverse repo rate dieksekusi, ternyata hasilnya tidak memuaskan. IHSG justru terkoreksi cukup dalam, investor asing membukukan jual bersih, dan nilai tukar rupiah stagnan saja terhadap dolar AS. Mungkin pasar sudah mengantisipasi dan menghitung (priced in) kebijakan ini sehingga efeknya menjadi minimal.
Selain itu, seperti kenaikan suku bunga sebelumnya yang terjadi 17 Mei, sentimen ini tenggelam oleh isu dari luar negeri. Kali ini, perhatian investor dunia tengah tertuju pada perkembangan di Italia.
Negeri PIzza diperkirakan menggelar pemilu ulang karena pemilu yang lalu gagal membentuk kekuatan mayoritas di parlemen. Presiden Sergio Mattarella menunjuk mantan pejabat Dana Moneter Internasional (IMF) Carlo Cottarelli sebagai Perdana Menteri sementara. Cottarelli bertugas untuk merencanakan pemilu dan anggaran negara.
Pemimpin Liga, Matteo Slavini, menyuarakan keinginannya agar pemilu ulang diadakan secepat mungkin. "Semakin cepat kita melakukan pemungutan suara, akan semakin baik. Ini adalah cara terbaik untuk keluar dari kondisi dan kebingungan ini," kata Salvini, seperti dikutip dari CNBC International.
Jika kekuatan populis semakin solid dan kemungkinan Italia bercerai dengan Uni Eropa kian besar, maka dampaknya adalah guncangan terhadap pasar keuangan global. Masih hangat di ingatan bagaimana keluarnya Inggris dari Uni Eropa memberikan tekanan yang begitu besar bagi pasar keuangan dunia. Kini, negara dengan perekonomian terbesar ke-3 di Zona Euro berpotensi mengikuti jejak Inggris.
Sentimen negatif kedua adalah perkembangan perang dagang AS-China. Gedung Putih berencana mengenakan bea masuk baru senilai US$ 50 miliar bagi produk asal China. Pemerintahan Presiden Donald Trump juga akan memperketat investasi yang berasal dari Negeri Tirai Bambu. Detil dari tarif bea masuk akan diumumkan pada 15 Juni, sementara kebijakan kontrol terhadap investasi asal China akan dirilis pada 30 Juni.
Kebijakan AS ini tentu semakin menyulitkan kedua negara untuk mencapai titik temu. Investor was-was babak baru perang dagang akan terjadi yang kemudian mengancam perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global.
Merespons dua sentimen tersebut, investor cenderung kembali menghindari aset-aset berisiko dan mengamankan dananya di instrumen safe haven. Pasar saham pun ditinggalkan sehingga lautan merah terlihat di bursa Asia. Indeks Nikkei 225 terkoreksi 1,52%, Kospi terpangkas 1,96%, Straits Times anjlok 2,12%, Shanghai Composite amblas 2,53%, dan Hang Seng berkurang 1,4%.
Next Page
Tensi Itaiia Turun, Wall Street Melaju
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular