Newsletter

Suku Bunga Acuan vs Kisruh Italia, Mana yang Lebih Kuat?

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 May 2018 06:16
Krisis Politik Italia dan Perang Dagang Jatuhkan Wall Street
Foto: REUTERS/Stephen Yang
Dari Wall Street, tiga indeks utama jatuh pada perdagangan pertama pekan ini setelah libur peringatan Memorial Day. Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 1,58%, S&P 500 turun 1,16%, dan Nasdaq berkurang 0,5%. Ada dua faktor utama penyebab kejatuhan Wall Street.

Pertama adalah krisis politik di Italia. Negeri Pizza dihadapkan pada pemilu dadakan (snap election) karena Presiden Sergio Mattarella menolak pencalonan Paolo Savona sebagai Menteri Ekonomi yang diajukan oleh koalisi Liga dan Gerakan Bintang Lima. Savona ditolak karena sempat mengancam akan membawa Italia keluar dari Uni Eropa.

Mattarella pun menunjuk mantan pejabat Dana Moneter International (IMF) Carlo Cottarelli sebagai Perdana Menteri sementara. Ia ditugaskan untuk merencakan pemilu dan meloloskan anggaran negara. 

Situasi ini membuat politik Italia menjadi penuh ketidakpastian. Bukan tidak mungkin aura populisme yang merebak di Italia bisa membawa negara ini keluar dari Uni Eropa.  

Investor pun teringat pada momentum jajak pendapat di Inggris yang menghasilkan perceraian dengan Uni Eropa, yang akrab disebut Brexit. Kini, negara dengan perekonomian terbesar ke-3 di Zona Eropa berpotensi mengikuti jejak Inggris. 

Kedua adalah aroma perang dagang AS-China yang kembali semerbak. Pernyataan dari Gedung Putih menyebutkan bahwa Washington tetap berencana mengenakan bea masuk terhadap produk-produk China yang nilainya mencapai US$ 50 miliar. Selain itu, pemerintahan Presiden Trump juga akan memperketat investasi yang berasal dari Negeri Tirai Bambu. Detil dari tarif bea masuk akan diumumkan pada 15 Juni, sementara kebijakan kontrol terhadap investasi asal China akan dirilis pada 30 Juni. 

Tidak hanya itu, AS juga akan tetap melaporkan China ke WTO atas tuduhan pencurian ide dan teknologi. Duta Besar AS untuk WTO Dennis Shea mengatakan bahwa transfer teknologi secara paksa seringkali terjadi kala perusahaan asing mencoba untuk berinvestasi di China, terutama ketika bermitra dengan perusahaan milik atau yang dikendalikan oleh negara. 

"Ini bukan hukum. China melalui regulasinya menghalalkan pemaksaan ini," tegas Shea, seperti dikutip dari Reuters. 

Sementara Duta Besar China untuk WTO Zhang Xiangchen menyampaikan sanggahan bahwa transfer teknologi secara paksa itu tidak ada. Bahkan dia menyebut langkah AS sebagai bentuk praduga bersalah. 

"Tidak ada pemaksaan dalam alih teknologi di China. Faktanya adalah, tidak ada regulasi yang mengharuskan alih teknologi oleh perusahaan asing," tutur Zhang. 

Perkembangan ini membuat isu perang dagang kembali mengemuka. Padahal, AS dan China sedang dalam proses negosiasi perdagangan untuk menyelesaikan friksi perdagangan di antara mereka. 

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular