
Newsletter
Menguji Dampak Kenaikan Suku Bunga Acuan
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
18 May 2018 05:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi pada perdagangan kemarin, setelah seharian berada di zona hijau. Pelaku pasar nampak grogi menantikan keputusan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI).
Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup berkurang 0,44%. Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 8,3 triliun dengan volume 8,3 miliar saham dan frekuensi perdagangan 485.152 kali.
IHSG sebenarnya bergerak menguat sepanjang hari. Namun pada menit-menit akhir perdagangan, IHSG turun ke zona merah seiring derasnya jual bersih investor asing.
Kemarin, investor asing melakukan jual bersih senilai Rp 642,7 miliar. Saham-saham yang paling banyak dilepas oleh investor asing di antaranya BBRI (Rp 284,8 miliar), BBCA (Rp 151,6 miliar), BBNI (Rp 114,9 miliar), ASII (Rp 82,6 miliar), dan UNVR (Rp 82,3 miliar).
Pelaku pasar sepertinya gugup menunggu pengumuman suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate. Selain itu, investor juga nampak masih mencerna kenaikan imbal hasil (yield) obligasi Amerika Serikat (AS) tenor 10 tahun yang menembus level 3,12%.
Kenaikan yield merupakan pertanda bahwa ekspektasi inflasi sedang meningkat. Hal ini terjadi karena data-data ekonomi Negeri Paman Sam belum berhenti mengabarkan berita baik.
Ekonomi yang semakin membaik tentu berakibat pada percepatan laju inflasi. Ketika ekspektasi inflasi naik, cara untuk menjangkarnya adalah menaikkan suku bunga acuan. Persepsi kenaikan suku bunga acuan AS yang lebih agresif di tahun ini pun kembali muncul ke permukaan.
Dari perkembangan perang dagang, sentimen juga kurang kondusif bagi IHSG. Jika beberapa waktu ke belakang isu perang dagang AS dengan China seringkali membebani bursa saham, kali ini giliran Jepang yang mulai terlibat.
Jepang mempertimbangkan pengenaan tarif bagi US$ 409 juta (Rp 5,7 triliun) barang-barang asal AS sebagai balasan terhadap bea masuk baja dan aluminium yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump. Sebagai catatan, Jepang merupakan satu-satunya sekutu AS yang tidak menerima pengecualian dari keputusan bea masuk baja dan aluminium.
Perkembangan ini membuat pasar saham Asia bergerak variatif. Indeks Nikkei 225 naik 0,53%, Straits Times menguat 0,11%, SSEC turun 0,48%, Hang Seng melemah 0,54%, dan Kospi berkurang turun 0,46%.
Dari Wall Street, tiga indeks utama mengakhiri hari di zona merah. Dow Jones Industrial Average melemah 0,22%, S&P 500 terkoreksi 0,09%, dan Nasdaq berkurang 0,21%.
Investor mencemaskan perkembangan negosiasi perdagangan AS-China yang sepertinya tidak akan mulus. Bahkan Pesiden Trump sendiri meragukan pembicaraan ini akan menghasilkan solusi yang memuaskan.
"Apakah ini (pembicaraan dagang dengan China) akan sukses? Saya cenderung ragu. Alasannya adalah China sudah terlalu manja karena mereka selalu mendapatkan 100% keinginannya. Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi lagi," tegas Trump, seperti dikutip dari Reuters.
AS meminta China mengurangi surplus perdagangan mereka sebesar US$ 200 miliar, penghapusan kewajiban kerjasama dengan mitra lokal untuk investasi teknologi AS di China, dan penghapusan subsidi bagi industri di China. Sementara China meminta AS mencabut sanksi bagi ZTE, yang dilarang menjual produknya di tanah Negeri Adidaya selama 7 tahun.
"Sekarang begini. Kami akan baik-baik saja dengan China. Semoga China bahagia, dan sepertinya kami juga bahagia," ujar Trump dalam sebuah kalimat bernada nyinyir.
Alotnya negosiasi ini membuat investor khawatir. Jika perang dagang AS-China memanas lagi, maka dikhawatirkan akan mempengaruhi arus perdagangan global mengingat kedua negara ini adalah perekonomian terbesar di dunia. Ini tentu bukan kabar baik untuk sektor keuangan.
Selain perang dagag, investor juga mengkhawatirkan kenaikan harga minyak yang mencapai titik tertinggi sejak 2014. Harga minyak jenis brent sempat menembus level US$ 80/barel. Penyebab kenaikan harga minyak adalah penurunan pasokan di Venezuela akibat krisis sosial-politik-ekonomi serta kekhawatiran berkurangnya minyak dari Iran jika sanksi terhadap Negeri Persia diterapkan.
Kenaikan harga minyak akan menimbulkan inflasi karena biaya energi bertambah. Tekanan inflasi ini kemudian perlu dikontrol melalui kenaikan suku bunga acuan. Inilah yang menjadi kecemasan pelaku pasar, bahwa The Federal Reserve/The Fed akan menaikkan suku bunga acuan lebih dari tiga kali sepanjang 2018.
Dua sentimen negatif itu semakin membebani Wall Street kala kinerja emiten pun tidak terlampau solid. Harga saham Wall Mart turun 1,9% setelah peritel raksasa itu menyatakan marjin keuntungan pada kuartal I-2018 masih tertekan akibat tingginya biaya logistik dan paksaan untuk menurunkan harga di tengah persaingan ketat dengan pebisnis ritel online.
Untuk perdagangan hari ini, kabar dari BI tentu akan sangat mewarnai pergerakan pasar. Sesuai janji, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4,5%. Kebijakan ini ditempuh untuk menjaga stabilitas perekonomian, khususnya mencegah depresiasi nilai tukar rupiah lebih lanjut.
Pelaku pasar sudah berekspektasi akan ada kenaikan suku bunga acuan, dan ekspektasi itu terwujud. Oleh karena itu, kenaikan ini bisa menjadi bahan bakar bagi IHSG maupun rupiah untuk menguat. Meski seberapa signifikan dampak kenaikan suku bunga terhadap apresiasi nilai tukar masih harus diuji.
Selain itu, BI juga menyatakan siap menempuh langkah-langkah yang lebih kuat guna memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi. Salah satu langkah yang lebih kuat tersebut adalah kembali menaikkan suku bunga bila memang dibutuhkan.
"Kalau seandainya kita keluarkan bauran kebijakan seperti sekarang ini (kenaikan suku bunga), kalau kondisi mengharuskan untuk kami kembali melakukan penyesuaian, maka kami tidak ragu," tegas Gubernur BI Agus Martowardoyo.
"Kondisi global memang sudah semakin kuat, tumbuh lebih baik dari perkiraan. Pertumbuhan ekonomi akan naik ke 3,9% dari 3,8% untuk tahun ini. Itu didorong perbaikan ekonomi AS sehingga kemungkinan Federal Funds Rate naik. Ada risiko bahwa akan terjadi kenaikan tiga kali pada 2018 menjadi empat kali, dan 2019 menjadi dua kali. Negara maju sudah mengarah kepada normalisasi kebijakan moneter sehingga era bunga tinggi terealisasi secara bertahap. BI akan terus mewaspadai itu," tambah Agus.
Walaupun bisa mengangkat kinerja rupiah dan IHSG dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka yang lebih panjang kebijakan ini sesungguhnya membebani pasar saham. Kenaikan suku bunga acuan akan mengerek naik suku bunga kredit dan imbal hasil obligasi yang pada akhirnya membuat biaya dana (cost of fund) dari emiten-emiten yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) ikut naik.
Jika emiten kemudian menaikkan harga jual produknya guna menjaga tingkat profitabilitas, maka konsumsi masyarakat bisa semakin tertekan. Padahal, ekonomi Indonesia saat ini membutuhkan suntikan energi guna tumbuh lebih kencang.
Pada kuartal-I 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,06%, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY. Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit.
Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%. Padahal, perbaikan konsumsi diharapkan mampu menopang laju ekonomi domestik pada tahun ini.
Ketika kini suku bunga acuan dinaikkan, maka target pertumbuhan ekonomi nan ambisius yang dipatok oleh pemerintah di angka 5,4% kian sulit untuk dicapai. Mungkin Indonesia akan akrab dengan pertumbuhan ekonomi yang mepet-mepet di 5% saja.
Dari luar negeri, pelaku pasar patut mencemati perkembangan isu perdagangan. Delegasi dari China saat ini sedang berada di Washington dalam rangka negosiasi soal perdagangan. Pertemuan ini merupakan ronde ke-2, setelah sebelumnya dilaksanakan di Beijing pada awal bulan ini.
Selain China, dinamika Jepang yang juga ikut meramaikan perang dagang juga patut disimak. Jika Jepang serius dengan rencana mereka mengenakan bea masuk terhadap produk-produk AS, maka situasi menjadi semakin runyam karena perang dagang sudah melibat tiga perekonomian terbesar di planet ini.
Kemudian, pelaku pasar juga perlu mencermati perkembangan yield obligasi negara AS yang terus menanjak. Kini, yield untuk obligasi AS tenor 10 tahun sudah mencapai 3,1149%, tertinggi sejak pertengahan 2011.
Suatu saat, investor akan melihat yield AS yang semakin tinggi ini menjadi menarik. Obligasi AS menjadi instrumen yang seksi karena menawarkan keuntungan lebih.
Ketika ini terjadi, maka aliran dana akan tersedot ke AS sehingga tidak banyak yang tersisa bagi negara berkembang, termasuk Indonesia. IHSG pun rentan terkoreksi.
Kemudian, kenaikan yield juga menjadi pertanda bahwa sedang terjadi peningkatan ekspektasi inflasi. Wajar saja, karena perekonomian Negeri Paman Sam masih dalam jalur pemulihan dan setiap peningkatan aktivitas ekonomi akan melahirkan tekanan inflasi.
Data terbaru dari The Fed Philadelphia menunjukkan indes manufaktur meningkat drastis dari 23,2 pada April menjadi 34,4 pada Mei. Jauh di atas proyeksi yang hanya 21. Peningkatan indeks ini didorong oleh peningkatan pemesanan, pengiriman, dan tambahan penyerapan tenaga kerja.
Semakin membaiknya perekonomian AS tentu mendorong The Fed untuk turun tangan agar tidak terjadi overheating. Dikhawatirkan The Fed bisa menaikkan suku bunga sampai empat kali pada 2018, lebih dari perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.
Setiap kabar mengenai kenaikan suku bunga (apalagi secara agresif) akan menjadi landasan bagi dolar AS untuk terapresiasi. Penguatan greenback bisa membuat rupiah melemah, dan itu adalah kabar buruk bagi IHSG. Saat rupiah melemah, memegang aset-aset dalam mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama:
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau Trump Saja Bisa Kena Covid, Apa Kabar Kita-kita?
Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup berkurang 0,44%. Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 8,3 triliun dengan volume 8,3 miliar saham dan frekuensi perdagangan 485.152 kali.
IHSG sebenarnya bergerak menguat sepanjang hari. Namun pada menit-menit akhir perdagangan, IHSG turun ke zona merah seiring derasnya jual bersih investor asing.
Kemarin, investor asing melakukan jual bersih senilai Rp 642,7 miliar. Saham-saham yang paling banyak dilepas oleh investor asing di antaranya BBRI (Rp 284,8 miliar), BBCA (Rp 151,6 miliar), BBNI (Rp 114,9 miliar), ASII (Rp 82,6 miliar), dan UNVR (Rp 82,3 miliar).
Pelaku pasar sepertinya gugup menunggu pengumuman suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate. Selain itu, investor juga nampak masih mencerna kenaikan imbal hasil (yield) obligasi Amerika Serikat (AS) tenor 10 tahun yang menembus level 3,12%.
Kenaikan yield merupakan pertanda bahwa ekspektasi inflasi sedang meningkat. Hal ini terjadi karena data-data ekonomi Negeri Paman Sam belum berhenti mengabarkan berita baik.
Ekonomi yang semakin membaik tentu berakibat pada percepatan laju inflasi. Ketika ekspektasi inflasi naik, cara untuk menjangkarnya adalah menaikkan suku bunga acuan. Persepsi kenaikan suku bunga acuan AS yang lebih agresif di tahun ini pun kembali muncul ke permukaan.
Dari perkembangan perang dagang, sentimen juga kurang kondusif bagi IHSG. Jika beberapa waktu ke belakang isu perang dagang AS dengan China seringkali membebani bursa saham, kali ini giliran Jepang yang mulai terlibat.
Jepang mempertimbangkan pengenaan tarif bagi US$ 409 juta (Rp 5,7 triliun) barang-barang asal AS sebagai balasan terhadap bea masuk baja dan aluminium yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump. Sebagai catatan, Jepang merupakan satu-satunya sekutu AS yang tidak menerima pengecualian dari keputusan bea masuk baja dan aluminium.
Perkembangan ini membuat pasar saham Asia bergerak variatif. Indeks Nikkei 225 naik 0,53%, Straits Times menguat 0,11%, SSEC turun 0,48%, Hang Seng melemah 0,54%, dan Kospi berkurang turun 0,46%.
Dari Wall Street, tiga indeks utama mengakhiri hari di zona merah. Dow Jones Industrial Average melemah 0,22%, S&P 500 terkoreksi 0,09%, dan Nasdaq berkurang 0,21%.
Investor mencemaskan perkembangan negosiasi perdagangan AS-China yang sepertinya tidak akan mulus. Bahkan Pesiden Trump sendiri meragukan pembicaraan ini akan menghasilkan solusi yang memuaskan.
"Apakah ini (pembicaraan dagang dengan China) akan sukses? Saya cenderung ragu. Alasannya adalah China sudah terlalu manja karena mereka selalu mendapatkan 100% keinginannya. Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi lagi," tegas Trump, seperti dikutip dari Reuters.
AS meminta China mengurangi surplus perdagangan mereka sebesar US$ 200 miliar, penghapusan kewajiban kerjasama dengan mitra lokal untuk investasi teknologi AS di China, dan penghapusan subsidi bagi industri di China. Sementara China meminta AS mencabut sanksi bagi ZTE, yang dilarang menjual produknya di tanah Negeri Adidaya selama 7 tahun.
"Sekarang begini. Kami akan baik-baik saja dengan China. Semoga China bahagia, dan sepertinya kami juga bahagia," ujar Trump dalam sebuah kalimat bernada nyinyir.
Alotnya negosiasi ini membuat investor khawatir. Jika perang dagang AS-China memanas lagi, maka dikhawatirkan akan mempengaruhi arus perdagangan global mengingat kedua negara ini adalah perekonomian terbesar di dunia. Ini tentu bukan kabar baik untuk sektor keuangan.
Selain perang dagag, investor juga mengkhawatirkan kenaikan harga minyak yang mencapai titik tertinggi sejak 2014. Harga minyak jenis brent sempat menembus level US$ 80/barel. Penyebab kenaikan harga minyak adalah penurunan pasokan di Venezuela akibat krisis sosial-politik-ekonomi serta kekhawatiran berkurangnya minyak dari Iran jika sanksi terhadap Negeri Persia diterapkan.
Kenaikan harga minyak akan menimbulkan inflasi karena biaya energi bertambah. Tekanan inflasi ini kemudian perlu dikontrol melalui kenaikan suku bunga acuan. Inilah yang menjadi kecemasan pelaku pasar, bahwa The Federal Reserve/The Fed akan menaikkan suku bunga acuan lebih dari tiga kali sepanjang 2018.
Dua sentimen negatif itu semakin membebani Wall Street kala kinerja emiten pun tidak terlampau solid. Harga saham Wall Mart turun 1,9% setelah peritel raksasa itu menyatakan marjin keuntungan pada kuartal I-2018 masih tertekan akibat tingginya biaya logistik dan paksaan untuk menurunkan harga di tengah persaingan ketat dengan pebisnis ritel online.
Untuk perdagangan hari ini, kabar dari BI tentu akan sangat mewarnai pergerakan pasar. Sesuai janji, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4,5%. Kebijakan ini ditempuh untuk menjaga stabilitas perekonomian, khususnya mencegah depresiasi nilai tukar rupiah lebih lanjut.
Pelaku pasar sudah berekspektasi akan ada kenaikan suku bunga acuan, dan ekspektasi itu terwujud. Oleh karena itu, kenaikan ini bisa menjadi bahan bakar bagi IHSG maupun rupiah untuk menguat. Meski seberapa signifikan dampak kenaikan suku bunga terhadap apresiasi nilai tukar masih harus diuji.
Selain itu, BI juga menyatakan siap menempuh langkah-langkah yang lebih kuat guna memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi. Salah satu langkah yang lebih kuat tersebut adalah kembali menaikkan suku bunga bila memang dibutuhkan.
"Kalau seandainya kita keluarkan bauran kebijakan seperti sekarang ini (kenaikan suku bunga), kalau kondisi mengharuskan untuk kami kembali melakukan penyesuaian, maka kami tidak ragu," tegas Gubernur BI Agus Martowardoyo.
"Kondisi global memang sudah semakin kuat, tumbuh lebih baik dari perkiraan. Pertumbuhan ekonomi akan naik ke 3,9% dari 3,8% untuk tahun ini. Itu didorong perbaikan ekonomi AS sehingga kemungkinan Federal Funds Rate naik. Ada risiko bahwa akan terjadi kenaikan tiga kali pada 2018 menjadi empat kali, dan 2019 menjadi dua kali. Negara maju sudah mengarah kepada normalisasi kebijakan moneter sehingga era bunga tinggi terealisasi secara bertahap. BI akan terus mewaspadai itu," tambah Agus.
Walaupun bisa mengangkat kinerja rupiah dan IHSG dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka yang lebih panjang kebijakan ini sesungguhnya membebani pasar saham. Kenaikan suku bunga acuan akan mengerek naik suku bunga kredit dan imbal hasil obligasi yang pada akhirnya membuat biaya dana (cost of fund) dari emiten-emiten yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) ikut naik.
Jika emiten kemudian menaikkan harga jual produknya guna menjaga tingkat profitabilitas, maka konsumsi masyarakat bisa semakin tertekan. Padahal, ekonomi Indonesia saat ini membutuhkan suntikan energi guna tumbuh lebih kencang.
Pada kuartal-I 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,06%, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY. Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit.
Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%. Padahal, perbaikan konsumsi diharapkan mampu menopang laju ekonomi domestik pada tahun ini.
Ketika kini suku bunga acuan dinaikkan, maka target pertumbuhan ekonomi nan ambisius yang dipatok oleh pemerintah di angka 5,4% kian sulit untuk dicapai. Mungkin Indonesia akan akrab dengan pertumbuhan ekonomi yang mepet-mepet di 5% saja.
Dari luar negeri, pelaku pasar patut mencemati perkembangan isu perdagangan. Delegasi dari China saat ini sedang berada di Washington dalam rangka negosiasi soal perdagangan. Pertemuan ini merupakan ronde ke-2, setelah sebelumnya dilaksanakan di Beijing pada awal bulan ini.
Selain China, dinamika Jepang yang juga ikut meramaikan perang dagang juga patut disimak. Jika Jepang serius dengan rencana mereka mengenakan bea masuk terhadap produk-produk AS, maka situasi menjadi semakin runyam karena perang dagang sudah melibat tiga perekonomian terbesar di planet ini.
Kemudian, pelaku pasar juga perlu mencermati perkembangan yield obligasi negara AS yang terus menanjak. Kini, yield untuk obligasi AS tenor 10 tahun sudah mencapai 3,1149%, tertinggi sejak pertengahan 2011.
Suatu saat, investor akan melihat yield AS yang semakin tinggi ini menjadi menarik. Obligasi AS menjadi instrumen yang seksi karena menawarkan keuntungan lebih.
Ketika ini terjadi, maka aliran dana akan tersedot ke AS sehingga tidak banyak yang tersisa bagi negara berkembang, termasuk Indonesia. IHSG pun rentan terkoreksi.
Kemudian, kenaikan yield juga menjadi pertanda bahwa sedang terjadi peningkatan ekspektasi inflasi. Wajar saja, karena perekonomian Negeri Paman Sam masih dalam jalur pemulihan dan setiap peningkatan aktivitas ekonomi akan melahirkan tekanan inflasi.
Data terbaru dari The Fed Philadelphia menunjukkan indes manufaktur meningkat drastis dari 23,2 pada April menjadi 34,4 pada Mei. Jauh di atas proyeksi yang hanya 21. Peningkatan indeks ini didorong oleh peningkatan pemesanan, pengiriman, dan tambahan penyerapan tenaga kerja.
Semakin membaiknya perekonomian AS tentu mendorong The Fed untuk turun tangan agar tidak terjadi overheating. Dikhawatirkan The Fed bisa menaikkan suku bunga sampai empat kali pada 2018, lebih dari perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.
Setiap kabar mengenai kenaikan suku bunga (apalagi secara agresif) akan menjadi landasan bagi dolar AS untuk terapresiasi. Penguatan greenback bisa membuat rupiah melemah, dan itu adalah kabar buruk bagi IHSG. Saat rupiah melemah, memegang aset-aset dalam mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- BI meluncurkan buku Kajian Stabilitas Keuangan (09:00 WIB).
- Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja mengadakan rapat koordinasi membahas e-commerce (14:00 WIB). Dilanjutkan dengan rapat koordinasi tentang baja (16:30 WIB).
- Pidato Presiden The Fed Cleveland Loretta Mester (14:00).
- Pidato anggota Dewan Gubernur The Fed Lael Brainard (20:15).
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Berlian Laju Tanker Tbk (BLTA) | RUPS Tahunan | - |
PT Bekasi Asri Pemula Tbk (BAPA) | RUPS Tahunan | - |
PT Bank Victoria International Tbk (BVIC) | RUPS Tahunan | 09:00 |
PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA) | RUPS Tahunan | 09:00 |
PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES) | RUPS Tahunan | 09:30 |
PT Greenwood Sejahtera Tbk (GWSA) | RUPS Tahunan | 09:30 |
PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) | RUPS Tahunan | 10:00 |
PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) | RUPS Tahunan | 10:00 |
PT Hotel Mandarine Regency Tbk (HOME) | RUPS Tahunan | 14:00 |
PT Bali Towerindo Sentra Tbk (BALI) | RUPS Tahunan | 14:00 |
PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) | Earnings Call | 15:00 |
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama:
Close | % Change | % YTD | |
IHSG | 5,815.92 | (0.44) | (8.49) |
LQ45 | 926.91 | (0.92) | (14.13) |
DJIA | 24,713.98 | (0.22) | (0.02) |
CSI300 | 3,864.37 | (0.73) | (4.13) |
Hang Seng | 30,942.15 | (0.54) | 3.42 |
Nikkei 225 | 22,838.37 | 0.53 | 0.32 |
Straits Times | 3,536.76 | 0.11 | 3.93 |
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:
Mata Uang | Close | % Change | % YoY |
USD/IDR | 14,047.00 | (0.29) | 5.20 |
EUR/USD | 1.18 | (0.09) | 6.17 |
GBP/USD | 1.35 | 0.24 | 4.36 |
USD/CHF | 1.00 | 0.05 | 2.24 |
USD/CAD | 1.28 | 0.18 | (5.84) |
USD/JPY | 110.84 | 0.42 | (0.53) |
AUD/USD | 0.75 | (0.04) | 1.23 |
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Komoditas | Close | % Change | % YoY |
Minyak WTI (USD/barel) | 71.42 | 0.10 | 45.71 |
Minyak Brent (USD/barel) | 79.52 | 0.25 | 51.44 |
Emas (USD/troy ons) | 1,290.66 | 0.02 | 3.55 |
CPO (MYR/ton) | 2,420.00 | 0.67 | (15.71) |
Batu bara (USD/ton) | 105.08 | 0.65 | 14.24 |
Tembaga (USD/pound) | 3.06 | 0.34 | 21.28 |
Nikel (USD/ton) | 14,403.00 | 0.34 | 57.64 |
Timah (USD/ton) | 20,752.00 | (0.72) | 2.60 |
Karet (JPY/kg) | 177.70 | (0.06) | (41.78) |
Kakao (USD/ton) | 2,635.00 | (3.48) | 26.63 |
Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara:
Tenor | Yield (%) |
5Y | 6.89 |
10Y | 7.23 |
15Y | 7.71 |
20Y | 7.79 |
30Y | 7.69 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY) | 5.06% |
Inflasi (April 2018 YoY) | 3.41% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q I-2018) | -2.15% PDB |
Neraca pembayaran (Q I-2018) | -US$ 3.85 miliar |
Cadangan devisa (April 2018) | US$ 124.9 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau Trump Saja Bisa Kena Covid, Apa Kabar Kita-kita?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular