Newsletter

Duka Bom Surabaya Bisa Bayangi Pasar

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 May 2018 05:54
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Awal Pekan Ini
Foto: Arie Pratama
Untuk perdagangan hari ini, terdapat sejumlah faktor yang perlu dicermati pelaku pasar. Dari dalam negeri, investor nampaknya akan mencermati dampak dari tragedi bom di Surabaya.

Kemarin, ledakan bom terjadi di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Surabaya, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Akibat ledakan ini, 13 jiwa setidaknya dikabarkan melayang dan 41 lainnya luka-luka. 

Peristiwa ini menambah panjang deretan aksi terorisme yang terjadi di Tanah Air, dan tentu saja akan berpotensi memberikan dampak negatif bagi investasi dan ekonomi seiring adanya indikasi ketidakstabilan politik dan keamanan di Indonesia. Berkaca pada data historis, bukan mustahil IHSG akan bergerak negatif pada perdagangan hari ini. Pasalnya, pada hampir seluruh peristiwa teror yang terjadi sejak tahun 2000 hingga saat ini selalu berujung pada terkoreksinya IHSG. 

Misalnya peristiwa bom bunuh diri di GBIS Kepunton Solo pada 25 September 2011, di mana kejadiannya sama-sama terjadi di luar Jakarta dan mengincar tempat peribadatan umat Kristiani. Sehari setelah kejadian tersebut, IHSG ditutup melemah hingga lebih dari 3%. 

Meski ada sentimen negatif eksternal saat itu, yakni dari permasalahan moneter di Yunani, tetapi nampaknya pelaku pasar cukup mencermati kejadian bom Solo seiring adanya kekhawatiran terhadap aksi susulan. Kecemasan yang sama bukan tidak mungkin akan timbul pada perdagangan hari ini. 

Masih dari dalam negeri, penguatan IHSG yang hampir 3% pada pekan lalu bisa menjadi faktor pendorong aksi ambil untung. Bila  profit taking ini berlangsung masif, maka IHSG akan kembali merasakan panasnya zona merah. 

Investor asing juga sepertinya masih menimbang-nimbang mengenai dampak apabila suku bunga acuan benar-benar dinaikkan. Pasalnya, kabar ini pun tidak mampu membendung arus modal keluar. Pekan lalu, nilai jual bersih investor asing mencapai Rp 1,61 triliun. 

Meski berdampak positif ke sektor keuangan, kenaikan suku bunga acuan bisa menekan sektor lain seperti barang konsumsi maupun manufaktur yang ekspansinya sangat ditentukan oleh dinamika suku bunga. Sikap galau investor asing ini masih perlu dicermati. 

Akhir pekan lalu juga muncul rilis data yang bisa menjadi sentimen negatif. BI mencatat Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) mengalami defisit US$ 3,85 miliar. Memburuk dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu surplus US$ 4,51 miliar. 

Seperti biasa, transaksi berjalan (current account) masih membukukan defisit. Kali ini nilainya US$ 5,54 miliar atau 2,15% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pencapaian ini membengkak ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu US$ 2,16 miliar (0,89% PDB). 

Biasanya defisit transaksi berjalan bisa ditutup oleh surplus di transaksi modal dan finansial. Namun kali ini tidak berlaku. 

Transaksi modal dan finansial memang masih membukukan surplus, yaitu US$ 1,81 miliar. Jauh lebih rendah dibandingkan posisi kuartal I-2017 yang mencapai US$ 6,93 miliar. Kini transaksi modal dan finansial tidak bisa menutup lubang menganga yang ditinggalkan transaksi berjalan. 

NPI merupakan salah satu fundamental yang menjadi pijakan penguatan nilai tukar. Kala NPI defisit, maka rupiah akan kehilangan pijakan untuk terapresiasi. 

Rilis data ini bisa menjadi sentimen negatif di pasar. Indonesia bisa dinilai rentan oleh pelaku pasar sehingga arus modal portofolio kemungkinan akan terus keluar. Rupiah pun semakin kehilangan sokongan untuk menguat. 

Sementara dari eksternal, investor mungkin perlu waspada terhadap kebangkitan dolar AS, meski masih sangat tipis. Saat ini, Dollar Index mulai merangkak naik dan mencatatkan penguatan 0,02%. 

Penguatan greenback didorong oleh keputusan Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) yang mempertahankan suku bunga acuan di 0,5%. Tidak sesuai dengan konsensus pasar yang memperkirakan ada kenaikan 25 basis poin pada bulan ini. BoE menyatakan masih ingin melihat perkembangan ekonomi Negeri Ratu Elizabeth, yang hanya tumbuh 0,1% pada kuartal I-2018, terendah sejak 2012.

"Apa yang sebaiknya dilakukan? Apakah bertindak sekarang, atau menunggu bukti selanjutnya bahwa ekonomi memang sudah benar-benar pulih? Mayoritas dari para pengambil keputusan adalah kami akan menunggu," tegas Mark Carney, Gubernur BoE, seperti dikutip dari Reuters. 

Perkembangan ini membuat mata uang poundsterling sempat melemah dan dolar AS kembali mendapatkan momentum apresiasi. AS lagi-lagi menjadi negara maju yang terdepan dalam penerapan kenaikan suku bunga, sehingga aliran modal kembali mengarah ke Negeri Adidaya. 

Momentum penguatan dolar AS ini patut diwaspadai, karena bila berlanjut maka dampaknya adalah rupiah akan kembali tertekan. Pelemahan rupiah bukan kabar baik bagi IHSG. Ketika rupiah melemah maka aset-aset berbasis mata uang ini menjadi tidak menguntungkan karena nilainya turun. Aksi jual pun bisa kembali terjadi. 

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular