Newsletter

Duka Bom Surabaya Bisa Bayangi Pasar

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 May 2018 05:54
Duka Bom Surabaya Bisa Bayangi Pasar
Foto: Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjalani periode yang mengesankan pekan lalu. Kinerja IHSG menjadi salah satu yang terbaik di Asia, karena dorongan sentimen positif dari dalam maupun luar negeri. 

Dalam sepekan kemarin, IHSG mampu menguat 2,84%. IHSG mencatat performa terbaik kedua di kawasan, hanya kalah dari indeks Hang Seng yang menguat 3,99%. 

Dari dalam negeri, penguatan IHSG didorong oleh aura kenaikan suku bunga acuan yang semakin terasa. Agus DW Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia (BI), beberapa kali menegaskan bahwa BI punya ruang yang cukup besar untuk menaikkan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate. 

Kenaikan suku bunga akan membuat Indonesia menjadi menarik, karena menjanjikan keuntungan lebih. Indonesia akan menerima lebih banyak aliran modal asing, yang bisa menjadi modal bagi penguatan rupiah.  

Dari sisi eksternal, meredanya kekhawatiran atas kenaikan suku bunga acuan yang kelewat agresif oleh The Federal Reserve telah membuka ruang bagi IHSG untuk kembali menguat. Inflasi Amerika Serikat (AS) periode April tercatat 0,1% month-to-month (MtM), lebih rendah dari konsensus yang sebesar 0,2% MtM. Tingkat inflasi yang masih terjaga menimbulkan persepsi bahwa kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini masih akan sesuai dengan rencana awal, yaitu tiga kali. 

Kondisi geopolitik juga mendukung bursa saham dalam negeri untuk menguat. Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dijadwalkan untuk melakukan pertemuan pada 12 Juni mendatang di Singapura.  

Denuklirisasi akan menjadi fokus utama dari pertemuan ini. Jika denuklirisasi secara penuh benar dilakukan oleh Korea Utara, maka satu ketidakpastian yang dihadapi pelaku pasar akan menghilang. 

Akibat perkembangan global dan regional tersebut, investor pun mulai berani bermain-main dengan instrumen yang berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Meningkatnya risk appetite investor terlihat dari Dollar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia) yang melemah 0,21% selama seminggu kemarin, setelah tiga pekan beruntun menguat.  

Tidak hanya Indonesia, bursa saham Asia pun melaju pada pekan lalu. Straits Times menguat 1,06% selama sepekan kemarin, Nikkei 225 naik 1,08%, Kospi bertambah 1,12%, dan SSEC surplus 0,84%. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir variatif pada perdagangan akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) menguat 0,37%, S&P 500 naik 0,17%, tetapi Nasdaq terkoreksi tipis 0,03%. Sepanjang pekan lalu, DJIA menguat 2,3%, S&P 500 melonjak 2,4%, dan Nasdaq melambung 2,7%. 

Bahan bakar bagi penguatan Wall Street adalah perkasanya harga minyak mentah dunia, seiring keputusan AS untuk menarik diri dari kesepakatan nuklir dengan Iran dan memulihkan sanksi bagi Negeri Persia. Sepanjang pekan lalu, harga minyak jenis light sweet naik 1,41%, sementara brent meroket sekitar 3%. 

Sebagai informasi, Iran mengekspor minyak sebanyak 450.000 barel/hari ke Eropa dan 1,8 juta barel/hari ke Asia. Dengan sanksi ekonomi, dunia akan kehilangan potensi tersebut dan berujung pada kenaikan harga sang emas hitam. 

Tidak hanya sampai situ, mundurnya Negeri Paman Sam dari kesepakatan nuklir yang dibuat pada 2015 tersebut ternyata berbuntut panjang. Tensi geopolitik di Timur Tengah kini mulai mengarah ke konflik bersenjata. Setelah pengumuman Trump, Israel (yang merupakan sekutu utama AS) menyerang pasukan Iran yang membantu pemerintah Suriah memerangi pemberontak dan ISIS. Negeri Zionis berdalih bahwa serangan tersebut diluncurkan sebagai balasan serangan misil kubu Suriah ke Dataran Tinggi Golan.   

Jika skala perang semakin meluas, maka harga minyak masih berpotensi semakin melambung. Pasalnya, produksi dan distribusi minyak dari Timur Tengah dipastikan akan semakin terganggu. 

Selain harga minyak, bursa saham New York pada pekan lalu juga terimbas sentimen positif dari meredanya kekhawatiran terhadap percepatan laju inflasi AS. Inflasi AS yang masih 'jinak' membuat pelaku pasar berekspektasi The Fed belum perlu menaikkan suku bunga acuan secara agresif.

Kenaikan tiga kali sepanjang 2018, seperti yang sudah diperhitungkan, sepertinya masih cukup relevan dan belum ada kebutuhan untuk menambah dosisnya menjadi empat kali. Persepsi ini membuat bursa saham melaju.  


Untuk perdagangan hari ini, terdapat sejumlah faktor yang perlu dicermati pelaku pasar. Dari dalam negeri, investor nampaknya akan mencermati dampak dari tragedi bom di Surabaya.

Kemarin, ledakan bom terjadi di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Surabaya, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Akibat ledakan ini, 13 jiwa setidaknya dikabarkan melayang dan 41 lainnya luka-luka. 

Peristiwa ini menambah panjang deretan aksi terorisme yang terjadi di Tanah Air, dan tentu saja akan berpotensi memberikan dampak negatif bagi investasi dan ekonomi seiring adanya indikasi ketidakstabilan politik dan keamanan di Indonesia. Berkaca pada data historis, bukan mustahil IHSG akan bergerak negatif pada perdagangan hari ini. Pasalnya, pada hampir seluruh peristiwa teror yang terjadi sejak tahun 2000 hingga saat ini selalu berujung pada terkoreksinya IHSG. 

Misalnya peristiwa bom bunuh diri di GBIS Kepunton Solo pada 25 September 2011, di mana kejadiannya sama-sama terjadi di luar Jakarta dan mengincar tempat peribadatan umat Kristiani. Sehari setelah kejadian tersebut, IHSG ditutup melemah hingga lebih dari 3%. 

Meski ada sentimen negatif eksternal saat itu, yakni dari permasalahan moneter di Yunani, tetapi nampaknya pelaku pasar cukup mencermati kejadian bom Solo seiring adanya kekhawatiran terhadap aksi susulan. Kecemasan yang sama bukan tidak mungkin akan timbul pada perdagangan hari ini. 

Masih dari dalam negeri, penguatan IHSG yang hampir 3% pada pekan lalu bisa menjadi faktor pendorong aksi ambil untung. Bila  profit taking ini berlangsung masif, maka IHSG akan kembali merasakan panasnya zona merah. 

Investor asing juga sepertinya masih menimbang-nimbang mengenai dampak apabila suku bunga acuan benar-benar dinaikkan. Pasalnya, kabar ini pun tidak mampu membendung arus modal keluar. Pekan lalu, nilai jual bersih investor asing mencapai Rp 1,61 triliun. 

Meski berdampak positif ke sektor keuangan, kenaikan suku bunga acuan bisa menekan sektor lain seperti barang konsumsi maupun manufaktur yang ekspansinya sangat ditentukan oleh dinamika suku bunga. Sikap galau investor asing ini masih perlu dicermati. 

Akhir pekan lalu juga muncul rilis data yang bisa menjadi sentimen negatif. BI mencatat Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) mengalami defisit US$ 3,85 miliar. Memburuk dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu surplus US$ 4,51 miliar. 

Seperti biasa, transaksi berjalan (current account) masih membukukan defisit. Kali ini nilainya US$ 5,54 miliar atau 2,15% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pencapaian ini membengkak ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu US$ 2,16 miliar (0,89% PDB). 

Biasanya defisit transaksi berjalan bisa ditutup oleh surplus di transaksi modal dan finansial. Namun kali ini tidak berlaku. 

Transaksi modal dan finansial memang masih membukukan surplus, yaitu US$ 1,81 miliar. Jauh lebih rendah dibandingkan posisi kuartal I-2017 yang mencapai US$ 6,93 miliar. Kini transaksi modal dan finansial tidak bisa menutup lubang menganga yang ditinggalkan transaksi berjalan. 

NPI merupakan salah satu fundamental yang menjadi pijakan penguatan nilai tukar. Kala NPI defisit, maka rupiah akan kehilangan pijakan untuk terapresiasi. 

Rilis data ini bisa menjadi sentimen negatif di pasar. Indonesia bisa dinilai rentan oleh pelaku pasar sehingga arus modal portofolio kemungkinan akan terus keluar. Rupiah pun semakin kehilangan sokongan untuk menguat. 

Sementara dari eksternal, investor mungkin perlu waspada terhadap kebangkitan dolar AS, meski masih sangat tipis. Saat ini, Dollar Index mulai merangkak naik dan mencatatkan penguatan 0,02%. 

Penguatan greenback didorong oleh keputusan Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) yang mempertahankan suku bunga acuan di 0,5%. Tidak sesuai dengan konsensus pasar yang memperkirakan ada kenaikan 25 basis poin pada bulan ini. BoE menyatakan masih ingin melihat perkembangan ekonomi Negeri Ratu Elizabeth, yang hanya tumbuh 0,1% pada kuartal I-2018, terendah sejak 2012.

"Apa yang sebaiknya dilakukan? Apakah bertindak sekarang, atau menunggu bukti selanjutnya bahwa ekonomi memang sudah benar-benar pulih? Mayoritas dari para pengambil keputusan adalah kami akan menunggu," tegas Mark Carney, Gubernur BoE, seperti dikutip dari Reuters. 

Perkembangan ini membuat mata uang poundsterling sempat melemah dan dolar AS kembali mendapatkan momentum apresiasi. AS lagi-lagi menjadi negara maju yang terdepan dalam penerapan kenaikan suku bunga, sehingga aliran modal kembali mengarah ke Negeri Adidaya. 

Momentum penguatan dolar AS ini patut diwaspadai, karena bila berlanjut maka dampaknya adalah rupiah akan kembali tertekan. Pelemahan rupiah bukan kabar baik bagi IHSG. Ketika rupiah melemah maka aset-aset berbasis mata uang ini menjadi tidak menguntungkan karena nilainya turun. Aksi jual pun bisa kembali terjadi. 


Berikut agenda yang dijadwalkan untuk hari ini:-
  • Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri mengadakan rapat koordinasi membahas tata ruang laut (09:00 WIB).
  • Rilis data investasi China (09:00). 
Berikut agenda korporasi untuk hari ini:

Perusahaan

Jenis Kegiatan

Waktu

PT Asuransi Jasa Tania Tbk (ASJT)

RUPS Tahunan

-

PT Asuransi Jiwa Syariah Jasa Mitra Abadi Tbk (JMAS)

RUPS Tahunan

-

PT Bukaka Teknik Utama Tbk (BUKK)

RUPS Tahunan

09:00

PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA)

RUPS Tahunan

09:30

PT Bukit Darmo Property Tbk (BKDP)

RUPS Tahunan

10:00

PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS)

RUPS Tahunan

10:00

PT Graha Andrasentra Propertindo Tbk (JGLE)

RUPS Tahunan

10:00

PT Emdeki Utama Tbk (MDKI)

RUPS Tahunan

10:00

PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT)

RUPS Tahunan

13:00

PT XL Axiata Tbk (EXCL)

Earnings Call

13:30

PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC)

RUPSLB

14:00

PTElnusa Tbk (ELSA)

RUPS Tahunan

14:00

PT Nirvana Development Tbk (NIRO)

RUPS Tahunan

14:00 


Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama:

Indeks

Close

% Change

% YTD

IHSG

5,956.83

0.83

(6.28)

LQ45

962.01

0.81

(10.87)

Dow Jones

24,831.17

0.37

0.45

CSI300

3,872.77

(0.52)

(3.92)

Hang Seng

31,122.06

1.02

4.02

NIKKEI

22,758.48

1.16

(0.03)

Strait Times

3,570.17

0.92

4.91


Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:

 

Mata Uang

 Close

% Change

 % YoY

USD/IDR

13,945.00

(0,92)

4.83

EUR/USD

1.19

0.04

9.32

GBP/USD

1.35

0.03

5.13

USD/CHF

1.00

(0.30)

(0.09)

USD/CAD

1.28

0.20

(6.76)

USD/JPY

109.36

(0.02)

(3.44)

AUD/USD

0.75

0.17

2.05


Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:  

 

Komoditas

 Close

 % Change

 % YoY

Minyak WTI (USD/barel)

70.62

0.23

48.06

Minyak Brent (USD/barel)

77.04

(0.10)

51.85

Emas (USD/troy ons)

1,320.58

0.58

7.36

CPO (MYR/ton)

2,359.00

0.00

(19.21)

Batu bara (USD/ton)

99.75

0.76

36.08

Tembaga (USD/pound)

3.09

0.08

22.19

Nikel (USD/ton)

13,819.50

0.00

50.59

Timah (USD/ton)

20,975.00

0.72

5.53

Karet (JPY/kg)

179.00

0.28

(37.17)

Kakao (USD/ton)

2,801.00

1.56

35.31


Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara: 

 

Tenor

 Yield (%)

 5Y

6.94

10Y

7.25

15Y

7.61

20Y

7.83

30Y

7.59

 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

 

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY)

5.06%

Inflasi (April 2018 YoY)

3.41%

Defisit anggaran (APBN 2018)

-2.19% PDB

Transaksi berjalan (Q I-2018)

-2.15% PDB

Neraca pembayaran (Q I-2018)

-US$ 3.85 miliar

Cadangan devisa (April 2018)

US$ 124.9 miliar


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular