
BI Siap Naikkan Suku Bunga, Bagaimana Respons IHSG?

Untuk perdagangan hari ini, sayangnya investor masih harus waspada dengan potensi pelemahan rupiah. Dolar AS sepertinya masih melanjutkan tren apresiasi, terlihat dari Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) yang naik sampai 0,35%.
Investor sepertinya mencemaskan keluarnya AS dari kesepakatan nuklir dengan Iran bisa berbuntut panjang. Ketidakpastian di Timur Tengah masih tinggi, sehingga pelaku pasar memilih bermain aman dan menghindari risiko.
Penurunan risk appetite ini bisa membuat investor menghindari aset-aset di negara berkembang seperti Indonesia. Akibatnya, rupiah akan sulit menghindari dari tekanan. Dolar AS nampaknya masih akan digdaya.
Satu-satunya yang bisa menyelamatkan rupiah adalah intervensi Bank Indonesia (BI) di pasar valas dan obligasi negara. Namun intervensi ini bukan tanpa konsekuensi, karena terbukti sudah menggerus cadangan devisa.
Per akhir April, cadangan devisa Indonesia tercatat US$ 124,9 miliar. Turun US$ 1,1 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Salah satu faktor utama penyebab penurunan ini adalah upaya stabilisasi kurs.
Di satu sisi, hal ini dapat menjadi sentimen positif, karena mengindikasikan BI yang siap siaga dalam mengantisipasi pelemahan nilai tukar rupiah. Namun di sisi lain, cadangan devisa yang semakin menipis juga dapat menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi investor karena menimbulkan penilaian Indonesia semakin rentan terhadap gejolak eksternal. Ujung-ujungnya akan menjadi pemberat bagi pergerakan IHSG.
Oleh karena itu, BI pun sepertinya semakin membuka ruang untuk menaikkan suku bunga demi memperkuat rupiah. Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior BI, menyatakan kenaikan BI 7 days reverse repo rate akan dilakukan ketika saatnya dinilai sudah tepat.
“Kalau data-data menunjukan perlu untuk menaikan suku bunga, maka kita perlu lakukan adjustment. Suku bunga negara tetangga juga sudah naik. Malaysia naik, Korea Selatan juga naik," jelasnya.
Respons pasar terhadap pernyataan Mirza tersebut bisa saja akan menentukan arah pergerakan rupiah. Jika pasar menilai BI serius mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan, maka dana asing bisa kembali datang untuk bersiap mengambil keuntungan. Bila itu yang terjadi, maka ada harapan rupiah bisa menguat atau paling tidak pelemahannya bisa sedikit teredam.
Ketika rupiah bisa menguat, maka bisa membantu IHSG untuk bangkit. Penguatan rupiah akan membuat aset-aset berbasis mata uang ini kembali menarik untuk dikoleksi.
Selain rupiah, investor juga perlu mencermati perkembangan harga minyak setelah keputusan AS keluar dari kesepakatan dengan Iran. Awalnya langkah Trump ini direspons dengan kenaikan harga minyak secara signifikan. Namun dinamika selanjutnya justru mengerem kenaikan harga si emas hitam.
Arab Saudi mengindikasikan akan menambah pasokan minyak mereka ke pasar global. Hal ini dilakukan untuk menggantikan hilangnya pasokan dari Iran.
“Arab Saudi akan bekerjasama dengan negara-negara produsen minyak lainnya untuk meminimalkan dampak dari potensi berkurangnya pasokan. Terkait keputusan AS untuk menarik diri dari kesepakatan nuklir dengan Iran, Arab Saudi berkomitmen untuk mendukung stabilitas pasar minyak,” sebut pernyataan Kementerian Perminyakan Arab Saudi, seperti dikutip dari Reuters.
Jaminan dari Arab Saudi akan membuat pasokan minyak global tetap stabil, tidak ada kekurangan. Perkembangan ini membuat harga minyak justru terkoreksi.
Penurunan harga minyak akan menjadi sentimen negatif buat IHSG. Emiten migas dan pertimbangan sulit mendapat apresiasi dalam kondisi harga minyak turun.
Dari dalam negeri, investor patut mencermati agenda korporasi. Hari ini, sejumlah emiten dijadwalkan menggelar RUPSLB. Kabar baik seperti dividen bisa menjadi tambahan energi bagi IHSG.
Koreksi yang cukup dalam juga membuat harga aset di bursa saham Indonesia semakin terjangkau. Sejak awal tahun, IHSG sudah anjlok dalam yaitu 9,14%. Ini membuat harga aset menjadi menarik dan siap diborong. Kala aksi borong terjadi, maka bisa memuluskan laju IHSG.
