
Newsletter
Waspadai 'Balas Pantun' AS-China
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
09 April 2018 05:55

Dari Negeri Paman Sam, panasnya tensi perang dagang juga mempengaruhi Wall Street secara signifikan. Pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) terkoreksi hingga 2,34%. Sedangkan S&P 500 turun 2,2% dan Nasdaq anjlok 2,3%. Selama sepekan kemarin, DJIA melemah 0,7%, S&P 500 terkoreksi 1,4%, dan Nasdaq berkurang 2,1%.
Selain AS dan China yang masih 'berbalas pantun' dalam perang dagang, sentimen negatif lainnya datang dari data ketenagakerjaan AS yang tidak sesuai ekspektasi. Angka pengangguran Maret tercatat 4,1%, tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Pencapaian tersebut di bawah konsensus pasar yang memperkirakan angka pengangguran Maret turun ke 4%.
Data penciptaan lapangan kerja baru juga mengecewakan. Bulan lalu, perekonomian Negeri Paman Sam menciptakan 103.000 lapangan kerja baru, di bawah konsensus pasar yang sebesar 193.000.
Adanya anomali cuaca di AS, di mana udara dingin masih bertiup pada Maret, membuat penciptaan lapangan kerja menjadi terbatas dan angka pengangguran sulit turun. Biasanya saat perayaan Hari St Patrick pada 17 Maret merupakan pertanda masuk musim semi. Namun tahun ini, perayaan tersebut terpaksa dilakukan di tengah udara dingin yang cukup ekstrem.
Meski data angka pengangguran dan penciptaan lapangan kerja kurang memuaskan, tetapi pertumbuhan gaji di AS pada Maret lebih baik ketimbang bulan sebelumnya. Pada Maret, penghasilan per jam rata-rata naik 0,3% secara month-to-month (MtM) atau 2,7% secara year-on-year (YoY). Capaian itu lebih tinggi dari peningkatan bulan sebelumnya yaitu 0,1% MtM atau 2,6% YoY.
Di satu sisi, hal ini menjadi catatan positif yaitu sinyal pemulihan konsumsi masyarakat. Namun di sisi lain perlu diwaspadai karena peningkatan upah yang pesat akan mengindikasikan laju inflasi yang lebih cepat dari perkiraan. Ujungnya adalah ada kemungkinan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga secara lebih agresif.
Apalagi Presiden Federal Reserve Chicago Charles Evans, salah satu anggota Dewan Gubernur yang dikenal paling dovish, optimistis inflasi AS akan mencapai target 2% sehingga cocok dengan kenaikan suku bunga secara bertahap.
"Kebijakan fiskal telah jauh lebih suportif terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kebutuhan akan kebijakan moneter yang akomodatif lebih sedikit dibandingkan sebelumnya. Kenaikan suku bunga yang bertahap dan perlahan akan sesuai agar kita dapat menuju situasi di mana kebijakan moneter tidak lagi menyediakan dorongan bagi ekonomi," tegas Evans, seperti dikutip dari Reuters. (aji/aji)
Selain AS dan China yang masih 'berbalas pantun' dalam perang dagang, sentimen negatif lainnya datang dari data ketenagakerjaan AS yang tidak sesuai ekspektasi. Angka pengangguran Maret tercatat 4,1%, tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Pencapaian tersebut di bawah konsensus pasar yang memperkirakan angka pengangguran Maret turun ke 4%.
Data penciptaan lapangan kerja baru juga mengecewakan. Bulan lalu, perekonomian Negeri Paman Sam menciptakan 103.000 lapangan kerja baru, di bawah konsensus pasar yang sebesar 193.000.
Adanya anomali cuaca di AS, di mana udara dingin masih bertiup pada Maret, membuat penciptaan lapangan kerja menjadi terbatas dan angka pengangguran sulit turun. Biasanya saat perayaan Hari St Patrick pada 17 Maret merupakan pertanda masuk musim semi. Namun tahun ini, perayaan tersebut terpaksa dilakukan di tengah udara dingin yang cukup ekstrem.
Meski data angka pengangguran dan penciptaan lapangan kerja kurang memuaskan, tetapi pertumbuhan gaji di AS pada Maret lebih baik ketimbang bulan sebelumnya. Pada Maret, penghasilan per jam rata-rata naik 0,3% secara month-to-month (MtM) atau 2,7% secara year-on-year (YoY). Capaian itu lebih tinggi dari peningkatan bulan sebelumnya yaitu 0,1% MtM atau 2,6% YoY.
Di satu sisi, hal ini menjadi catatan positif yaitu sinyal pemulihan konsumsi masyarakat. Namun di sisi lain perlu diwaspadai karena peningkatan upah yang pesat akan mengindikasikan laju inflasi yang lebih cepat dari perkiraan. Ujungnya adalah ada kemungkinan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga secara lebih agresif.
Apalagi Presiden Federal Reserve Chicago Charles Evans, salah satu anggota Dewan Gubernur yang dikenal paling dovish, optimistis inflasi AS akan mencapai target 2% sehingga cocok dengan kenaikan suku bunga secara bertahap.
"Kebijakan fiskal telah jauh lebih suportif terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kebutuhan akan kebijakan moneter yang akomodatif lebih sedikit dibandingkan sebelumnya. Kenaikan suku bunga yang bertahap dan perlahan akan sesuai agar kita dapat menuju situasi di mana kebijakan moneter tidak lagi menyediakan dorongan bagi ekonomi," tegas Evans, seperti dikutip dari Reuters. (aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular