
Perang Dagang Masih Jadi Perhatian

Untuk perdagangan hari ini, terdapat beberapa risiko yang bisa menyebabkan IHSG kembali terjerembab di zona merah. Pertama adalah koreksi di Wall Street akhir pekan lalu yang bisa menjadi sentimen negatif di Asia pada hari ini.
Kedua, kekhawatiran perang dagang yang sepertinya belum usai. China memang sudah merilis 128 produk AS yang akan dipersulit untuk masuk, tetapi diyakini itu bukan yang terakhir. Sepertinya daftar produk AS yang menjadi korban balas dendam akan bertambah.
Selama aksi saling balas ini terjadi, aura perdagangan dan perekonomian global masih akan negatif. Imbasnya tentu ke pasar keuangan, termasuk pasar modal.
Risiko ketiga adalah, dalam kondisi seperti ini pelaku pasar akan enggan bermain-main dengan aset yang berisiko seperti saham. Investor akan mencari selamat masing-masing dengan menempatkan dana di instrumen yang dianggap aman seperti komoditas, obligasi pemerintah AS, atau mata uang yen Jepang (ini yang membuat nilai tukar yen cenderung menguat).
Keempat, meski sudah terkoreksi cukup dalam tetapi ruang ambil untung (profit taking) di bursa saham Indonesia masih terbuka. IHSG saat ini memiliki Price to Earnings Ratio (P/E) 17,47 kali. Lebih tinggi ketimbang bursa negara-negara tetangga seperti Straits Times yang hanya 11,34 kali, KLCI 16,84 kali, SETi 16,98 kali, Nikkei 225 14,88 kali, Hang Seng 12,46 kali, SSEC 14,32 kali, sampai Kospi 12,1 kali. Valuasi IHSG masih terlalu mahal, sehingga membuka ruang koreksi.
Kelima, meski harga minyak naik tetapi harga komoditas lain justru terkoreksi. Komoditas yang harganya turun adalah logam industrial seperti timah, tembaga, atau nikel. Hal ini sebagai respons terhadap perang dagang yang bisa menganggu produksi industri manufaktur dan rantai pasok global (global value chain).
Sementara faktor yang bisa membuat IHSG berbalik arah ke teritori positif adalah koreksi yang terjadi sudah cukup dalam. Selama Maret, IHSG sudah berkurang 5,86% dan sejak awal tahun pelemahannya adalah 2,28%. Ini membuat harga saham di bursa domestik menjadi lebih murah dan siap diborong.
Harga minyak juga bisa diharapkan menjadi pendorong laju IHSG, jika reli yang sudah terjadi sejak pekan lalu masih berlanjut. Kenaikan harga komoditas seperti minyak diharapkan mampu mengangkat persepsi terhadap emiten migas dan pertambangan. Sebagai informasi saja, kini harga minyak jenis brent sudah menyentuh US$ 70/barel.
Perkembangan dolar AS juga bisa menjadi kontributor penguatan IHSG. Setelah sempat perkasa, greenback bergerak melemah dalam sepekan terakhir. Investor 'menghukum' dolar AS karena agak kecewa dengan hasil pertemuan The Fed yang ambigu. Ketidakjelasan arah kebijakan The Fed membuat investor memilih instrumen lain seperti obligasi atau emas ketimbang dolar AS.
Ketika dolar bergerak melemah terhadap mata uang global, maka rupiah berpeluang untuk terapresiasi. Ini bisa menjadi kabar baik bagi IHSG.
Hari ini, sejumlah emiten juga akan memaparkan kinerja seperti BSWD,WIKA, dan IBFN. Jika ada kabar baik, maka bisa menjadi sentimen positif buat IHSG.
Minimnya sentimen di dalam negeri menyebabkan pergerakan pasar menjadi terbatas karena mengandalkan sentimen eksternal. Mungkin sentimen berikutnya yang bisa menjadi katalis besar adalah kenaikan peringkat atau rating Indonesia.
Lembaga pemeringkat yang berpotensi menaikkan rating Indonesia adalah Moody's karena Fitch Ratings baru mempromosikan Indonesia pada akhir tahun lalu, dan Standard and Poor's (S&P) terkenal konservatif. Ketika rating Indonesia ditambah, maka akan menjadi dorongan positif yang signifikan dan sepertinya bisa meredam berbagai kabar tidak sedap dari luar.
