Menkes Bicara Lonjakan Covid hingga Antisipasi Cacar Monyet

Intan Rakhmayanti Dewi, CNBC Indonesia
09 August 2022 21:18
Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin
Foto: Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (Dokumentasi CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - Penanganan pandemiĀ Covid-19 di tanah air kembali menemui tantangan. Beberapa waktu belakangan terjadi lonjakan kasus penyakit yang dipicu virus Corona tersebut.

Dalam segmen Economic Update program Closing Bell CNBC Indonesia, Senin (8/8/2022), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memberikan penjelasan perihal situasi terkini pandemi di Indonesia.

"Covid-19 itu selalu mengalami kenaikan kasus yang cukup tinggi kalau ada varian baru yang keluar," ujarnya.



Saat ini, negara-negara dunia sedang dihadapkan dengan penularan virus Corona subvarian Omicron BA.4 dan BA.5. Namun, kondisi Indonesia lebih baik karena kenaikan kasus tertinggi di kisaran 6.000.

"Kenapa kondisi kita lebih baik? Karena memang kita di bulan Januari-Maret itu vaksinasi gencar sekali sehingga teman-teman yang sudah ada antibodinya. Kemudian yang kedua relatif dibandingkan negara-negara lain masyarakat Indonesia itu jauh lebih disiplin menggunakan masker," ujar Budi Gunadi.

Dalam kesempatan ini, menkes juga bicara soal wabah cacar monyet hingga Biomedical and Genome Science Initiative (BGSi). Berikut petikannya:

WHO sempat memuji Indonesia dalam hal pengendalian pandemi Covid-19. Seperti apa evaluasi pandemi di tanah air dari Kementerian Kesehatan terlebih saat ini ada varian baru?

Covid-19 itu selalu mengalami kenaikan kasus yang cukup tinggi kalau ada varian baru yang keluar. Jadi varian alpha di Januari 2021, kemudian varian Delta di Juli 2021, kemudian varian Omicron di awal tahun ini.

Nah di bulan Juni-Juli tahun ini ada subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 yang juga mengakibatkan banyak negara-negara di Eropa, Amerika dan bahkan di Jepang yang kasusnya naik lebih dari 100 ribu per hari. Jadi sangat tinggi.

Nah khusus untuk Indonesia bersama dengan India, itu tidak terjadi. Jadi subvarian baru BA.4 dan BA.5 menyebabkan kenaikan kasus, tapi kenaikan kasusnya tidak setinggi negara lain. Negara lain pada saat Omicron naik di 50.000, naik lagi BA.4 dan BA.5 ke 50.000 bahkan ada 100.000.

Indonesia pada saat Omicron di bulan Januari kita sempat 60.000, sekarang kita kasusnya hanya di 6.000. Jadi kondisi kita lebih baik. Kenapa kondisi kita lebih baik? karena memang kita di bulan Januari-Maret itu vaksinasi gencar sekali, sehingga teman-teman yang sudah ada antibodinya.

Kemudian yang kedua relatif dibandingkan negara-negara lain masyarakat Indonesia itu jauh lebih disiplin menggunakan masker. Oleh karena itu imbauan saya ke teman-teman menggunakan masker terutama di masa kenaikan kasus sekarang dan juga terus divaksinasi booster akan sangat membantu agar kasusnya melandai dan juga hospitalisasi dan kematiannya melandai.

WHO skeptis fase endemi bisa ditetapkan tahun ini, Indonesia seperti apa?

Endemi itu terjadi bukan karena berhentinya penularan. Karena yang namanya virus itu jarang yang 2 tahun, 3 tahun bahkan 5 tahun hilang, malah ada yang puluhan tahun ada yang ratusan tahun ada.

Endemi itu terjadi di kondisi. Satu, kalau tertular yang masuk rumah sakit dan wafat itu rendah. Yang kedua, masyarakat sudah tahu bagaimana caranya menjaga kesehatan diri sendiri.

Nah, itu yang sudah mulai kita amati di Indonesia. Yang pertama kita lihat, dengan adanya varian BA.4, BA.5 yang tidak sekali penularannya dan juga lumayan masuk rumah sakit dan wafat, di kita sudah cukup rendah. Jadi kita melihat bahwa kenaikan kasus itu tidak dibarengi dengan yang masuk rumah sakit yang sekarang kosong dan juga yang meninggal yang jauh lebih sedikit.

Yang kedua masyarakat kita juga sekarang sudah jauh lebih terdidik, tidak harus dipaksa oleh pemerintah dikasih tahu oleh pemerintah untuk menjaga kesehatan.

Mereka tahu nih kalau demam, batuk-batuk, dia tes PCR sendiri. Kalau positif dia minta obatnya sendiri kemudian isolasi sendiri. Kalau misalnya ada kerumunan yang padat dan batuk-batuk dia pakai masker. Itu adalah ciri-ciri masyarakat yang sudah siap kalau nanti transisi ini terjadi.

Jadi pandemi ke endemi itu ada dua yang pertama adalah bukan berarti penularan berhenti ya, penularan juga tetap ada kayak influenza dan lain sebagainya demam berdarah, tapi masuk rumah sakit dan wafat kecil, kondisi itu sudah mulai kita amati. Dan yang kedua masyarakat sudah bisa menjaga sendiri kesehatannya mereka. Bukan harus dipaksa dikasih tahu oleh pemerintah.

Segini Harga Vaksin Sinovac-Pfizer di RI, Mana Yang Paling MahalFoto: Infografis perbandingan harga vaksin (CNBC Indonesia/Aristya Rahadian)



Kondisinya saat ini ya tadi ditunjukkan juga kurva sudah mulai menurun, vaksinasi sesuai dengan target pemerintah. Bagaimana melihat untuk Indonesia bisa mencapat status endemi, tahun ini? dan bagaimana update kondisi rumah sakit?

Secara scientific, memang data menunjukkan setiap enam bulan itu terjadi penurunan dari efektivitas vaksin. Jadi kalau kita lihat memang siklus puncaknya Indonesia itu hampir enam bulan sekali Januari 2021, ada Mei-Juni 2021, kita kena lagi itu Desember-Januari.

Memang kita sudah bilang ujiannya bulan Juni-Juli ini dan sesudah kita lihat memang sudah enam bulan kita relatif jauh lebih landai dibandingkan yang sebelumnya.

Jadi ini menunjukkan bahwa daya tahan atau kekebalan imunitas masyarakat dan juga pemahaman masyarakat mengenai protokol kesehatan sudah jauh lebih baik. Kalau kita bisa melewati bulan Juli-Agustus ini dengan baik tanpa ada lonjakan yang berarti dari sisi jumlah kasus maupun hospitalisasi dan juga kematian, Insya Allah masyarakat kita untuk menghadapi pandemi ini mengendalikan pandemi ini dengan lebih baik.

Mengenai transisi formalnya dari pandemi ke endemi. Karena ini pandemi global itu harus ditentukan secara bersama-sama oleh WHO. Jadi saya rasa akan sangat aneh kalau satu negara bilang saya sudah endemi, karena pandeminya sifatnya global.

Tapi dari sisi kesiapan, kita melihat kalau sampai bulan Agustus ini tidak terjadi pelonjakan tinggi kemudian kita bisa melandari kembali artinya masyarakat Indonesia sudah relatif lebih siap dan bisa mengendalikan Pandemi.

Vaksinasi dosis keempat sudah mulai diberikan ke tenaga kesehatan. Kapan rencana pemberian vaksinasi keempat untuk masyarakat umum?

Memang vaksinasi ini perlu saya sampaikan, tidak melindungi kita dari penularan. Tapi vaksinasi ini akan melindungi kita kalau tertular Insya Allah tidak masuk rumah sakit dan Insya Allah tidak meninggal karena kita sudah memiliki antibodi. Tapi virusnya masih tetap menular, supaya masyarakat juga paham bahwa kita divaksinasi tetap bisa tertular.

Keunggulan dari vaksinasi kalau kita sudah kelar relatif lebih ringan, tidak harus masuk rumah sakit dan risiko kematiannya jauh lebih rendah.

Data yang kita miliki di rumah sakit-rumah sakit, kita sudah pelajari dari Januari sampai sekarang orang-orang yang sudah divaksinasi booster, jadi vaksinasi dosis ketiga itu ,memiliki sepertiga lebih kecil risikonya atau 3,5 kali lebih besar daya tahannya untuk masuk ke rumah sakit dan meninggal dibandingkan orang yang tidak booster.

Orang yang booster yang masuk rumah sakit yang berat dan meninggal, itu kalau dia sudah di booster 3,5 sampai 3,8 kali lebih kecil risikonya dibandingkan dengan orang yang belum di-booster. Nah kita, booster kita masih 50 jutaan orang. Padahal kita berharap booster-nya bisa sampai di atas 100 juta orang.

Jadi kalau ditanya, memang prioritasnya kita selesaikan dulu booster ketiga. Karena saya lihat ini, karena rakyat sudah merasa kebal, sudah merasa bahwa pandemi ini terkendali, mereka tidak memanfaatkan booster ketiga. Padahal booster ketiga ini penting sekali untuk memastikan imunitas kita tetap tinggi, sehingga kalau terkena kita nggak ke rumah sakit dan mudah-mudahan Insya Allah tidak sampai fatal.

Nah khusus untuk booster keempat kita berikan ke para tenaga kesehatan dulu karena akhir-akhir ini kita lihat ada tren kenaikan, sehingga otomatis pasien ini kalau yang dirawat mesti ketemu dengan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan akan terekspos lebih banyak. Nah ini mau kita lindungi dulu.

Tapi kita masih mau melihat bahwa daya tahan imunisasi masyarakat kita masih lebih baik. Jadi kita fokusnya menyelesaikan dulu booster ketiga yang sampai sekarang baru sekitar 50 jutaan masyarakat. Kita harapkan kalau bisa naik ke 100 juta.

Bagaimana stok vaksin sekarang? Kapan anak-anak yang berusia di bawah 6 tahun divaksinasinya?

Saat ini stok vaksin kita masih berlebih, karena sumbangan dari negara-negara sekarang terus-terusan mengalirkan ke kita. Karena sekarang Alhamdulillah sudah hampir di seluruh dunia produksi vaksin juga sudah cukup melimpah, sehingga harusnya tidak ada masalah untuk pemberian vaksinasi booster ini.

Nah, memang yang untuk anak-anak, itu belum. Masih banyak negara yang belum menjalankan. Ada beberapa negara yang menjalankan dengan prinsip melindungi anak-anak, ada negara-negara yang belum menjalankan.

Karena mereka melihat bahwa anak-anak masih di bawah 6 tahun masih dalam masa pertumbuhan, imunitasnya juga masih terbentuk dan kuat, data juga menunjukkan yang di bawah 5 tahun itu sangat sedikit yang hampir tidak ada yang masuk rumah sakit dan meninggal. Ada, tapi dibandingkan dengan persentase yang lansia atau dewasa jauh di bawah.

Sehingga ada konservatisme bahwa kalau kita terlalu agresif membangun imunitas secara buatan, nanti akan mengganggu pertumbuhan imunitas dari anak-anak yang memang sekarang sudah maju.

Nah kita terus berkonsultas untuk memastikan posisi mana posisi kita ambil. Apakah kita perlu mengambil posisi agresif, kita kasih semuanya vaksinasi atau kita ambil posisi yang konservatif bahwa kita melihat risiko meninggalnya rendah, sehingga dibiarkan anak-anak ini berkembang imunitasnya secara alamiah. Tapi sebagai informasi lebih banyak negara yang belum memberikan vaksinasi di usia 1 sampai 5 tahun, karena pertimbangan ilmiah tadi.

WHO telah menetapkan status darurat kesehatan global cacar monyet (monkeypox) melihat kondisi di beberapa negara. Bagaimana dengan Indonesia?

Memang monkeypox ini sudah beredar di beberapa negara dan kenaikannya dimasukkan oleh WHO sebagai satu level di bawah pandemi. Di Australia sudah ada, di Singapura juga sudah ada.

Kita sebenarnya sudah ada 11 suspek diduga monkeypox, karena ada bintik-bintik merah di tubuhnya. Tapi dari 11 aspek ini sesudah kita tes ternyata mereka bukan monkeypox, tetapi cacar biasa atau varicella kita bilangnya ya.

Yang terakhir kemarin di Pati. Ya gejala-gejalanya sudah ada di tangan, di kaki, tapi begitu kita swab negatif, kita ambil lesinya, kita kirim ke Jakarta untuk diperiksa hasilnya juga negatif. Jadi sampai saat ini kita belum menemukan adanya di Indonesia.



Kita sudah melakukan komunikasi terus dengan dinas-dinas Kesehatan sejak Minggu 3 Juli untuk bisa memastikan surveillance jalan. Untuk teman-teman, surveillancenya ini relatif lebih mudah dibandingkan Covid-19, karena monkeypox ini akan menular kalau sudah bergejala. Jadi kalau Covid ini, susahnya surveillance-nya orang yang tidak bergejala sudah bisa menularkan covid. kalau monkeypox ini orangnya harus bergejala dulu ada bintik-bintik di tubuhnya baru bisa menularkan.

Jadi dari sisi surveillance kita identifikasi siapa yang bisa menular itu jauh lebih mudah. Kemudian untuk surveillance juga testingnya ini bisa menggunakan PCR. Jadi bisa menggunakan PCR. Sekarang sudah ada, terima kasih Covid-19 kita punya lebih dari 1.100 lab PCR di seluruh Indonesia.

Tinggal reagennya saja atau materinya saja atau bahan habis pakainya yang agak berbeda dan kita sudah dapat sumbangan dari WHO, dan kita juga beli juga sudah ada 1.500 reagen yang kita sudah sebar ke seluruh provinsi sehingga nanti kalau ada gejala suspek monkeypox, kita bisa langsung tes di masing-masing provinsi untuk melihat apakah ini memang benar-benar monkeypox atau tidak.

Sebagai tambahan untuk vaksin-nya kita sedang cari, selain surveillance, vaksinnya ada cuma masih sangat jarang. Tapi berita bagusnya adalah untuk update yang kami terima untuk orang-orang yang dulu pernah divaksin cacar, seperti saya dulu waktu kecil divaksin cacar, berbeda dengan vaksin Covid-19, vaksin cacar itu berlaku seumur hidup. Ini masih bisa memberikan perlindungan juga terhadap monkeypox.

Jadi saya ingat terakhir vaksin cacar itu diberikan di tahun 1980. Jadi untuk masyarakat Indonesia yang di bawah 1980 lahirnya harusnya masih memiliki antibodi terhadap virus ini.

Kemudian obat-obatannya. Ini obat-obatannya anti-virus dan sekarang juga sudah ada dan kita sudah datangkan. Saya rasa dalam seminggu harusnya sudah masuk. Jadi kalau ada orang yang terkena kita bisa treatment dengan obat-obatan ini. Jadi dari sisi surveillance sudah kita lakukan, alatnya juga ada paket PCR reagennya sudah siap, dari sisi vaksinasi kita masih agak terlindungi dengan banyaknya populasi kita yang sudah divaksinasi cacar sebelumnya sampai tahun 1980.

Itu juga mungkin sebabnya kenapa Indonesia kok tidak ada yang keluarnya, karena memang sudah terlindungi dari vaksinasi ini yang lahirnya sebelum 1980. Kemudian dari sisi obat-obatannya kalau sakit kita sekarang sudah mendatangkan Insya Allah minggu depan sudah siap, sehingga kalau ada yang terkena kita bisa obati di rumah sakit.

Prokesnya kalau misal Covid-19 itu masih pakai masker, monkeypox ini jangan bersentuhan aja, karena nularnya itu lewat cairan ya, jangan sampai bersentuhan dengan orang-orang yang bergejala cacar.

Terkait dengan untuk pendeteksian monkeypox menggunakan genome sequencing, apa sudah difokuskan dan diatur oleh pemerintah?

Jadi saya mau confirm sekali lagi bahwa untuk deteksi virus monkeypox, itu cukup dengan PCR sudah bisa. Jadi tidak perlu dengan genome sequencing. Karena genome sequencing kan nggak banyak alatnya dan lab yang bisa melakukan itu di Indonesia.

Tapi PCR... terima kasih kepada Covid-19, kita jadi punya lebih dari 1.100 lab tersebar di Indonesia. Teknologi PCR bisa mendeteksi apakah virusnya itu monkeypox atau tidak. Dan itu sudah tersebar, reagennya kita juga kita sudah punya.

Nah memang sama seperti Covid, virus monkeypox ini ada varian-variannya. Kalau Covid-19 kan ada Alpha, Delta, Omicron, subvarian Omicron BA.4 dan BA.5, monkeypox juga ada.

Variannya itu Afrika Tengah sama Afrika Selatan yang masing-masing berbeda fatalitinya. Nah itu yang perlu genome sequencing. Jadi untuk deteksi monkeypox cukup PCR, tidak perlu genome sequencing, tapi untuk variannya itu perlu genome sequencing.

Sebagai informasi dulu di awal pandemi Covid-19, kita hanya punya 10-12 alat kemarin ini kita sudah melengkapi kita datangkan 17 alat baru dan nanti akan datang dan tiga bulan 10 alat baru genome sequencing. Yang tadinya hanya ada di Jawa kita sudah sebar ke seluruh pulau di seluruh Indonesia. Pulau-pulau besar itu sekarang sudah memiliki fasilitas genome sequencing.

Dulu saya ingin waktu saya baru masuk dari bulan Maret Covid-19 teridentifikasi sampai Desember itu 140 genome sequencing, sekarang kita sudah mampu 2.000 sampai 3.000 per bulan.

Jadi kalau 140 dalam 9 bulan genome sequencing, sekarang kapasitas nasional kita untuk genome sequencing tes itu bisa 2.000 sampai 3.000 per bulan atau lebih dari 30.000 kapasitas pertahun.

Kementerian Kesehatan baru merilis Biomedical and Genome Sience Initiative (BGSi). Bisa dijelaskan terkait hal ini?

Kita belajar nih, oh ternyata mesin genome ini bukan hanya digunakan untuk mendeteksi varian dari virus atau bakteri. Genome Sequence ini bisa memahami kondisi komponen terkecil dari makhluk hidup yang namanya DNA.

Jadi kalau virus itu punya sekitar 30.000 DNA best pair di Covid, kalau bakteri TBC mungkin punya sekitar 4,4 juta pasang pairnya. Nah kalau 3 miliar itu manusia.

Nah dengan kita mengetahui kondisi dari DNA seorang manusia, kita bisa benar-benar tahu secara tepat yang bersangkutan sakit apa dan cara mengobatinya seperti apa. Nah teknik bioteknologi ini akan sangat berperan ke depan untuk mendukung konsep baru di industri kesehatan yang namanya precision and personalized medicine.

Jadi kita bisa dengan sangat pasti tahu kanker yang dialami oleh seorang ini disebabkan oleh gen yang mana, kemudian mengobatinya caranya seperti apa.

Jadi ini sebenarnya sama kayak temen-temen dulu kan di awal-awal abad-abad yang awal gitu kalau kita sakit sama dokter diraba, didengerin, dipegang, suhunya sakit apa. Jadi cara diagnosa itu sangat klinik, kemudian ada nama lem darah dia bilang dilihat SGPT, SGOT, HLD, LDL, kita lebih pasti taunya bahwa jantungnya nih bermasalah. Terus berkembang lagi teknologi tahap berikutnya bisa dengan CT Scan, bisa lebih tahu lagi diagnosa kesehatan seseorang.

Nah bioteknologi itu satu level di atas, jadi dia menggunakan teknologi yang bisa dengan sangat tajam sangat tepat, sangat personalized, tahu penyakitnya seseorang itu apa, penyebabnya di mana dan cara mengobatinya seperti apa.

Banyak negara sudah mulai masuk ke bidang ini hari ini. Kali ini kita sadar kebetulan karena kita belajar genome sequencing saat Covid, bisa dipakai untuk restriction medicine ini jangan sampai kita ketinggalan. Karena Indonesia sangat kaya biodiversitas sama varietas genomiknya. Jangan sampai itu diambil oleh negara-negara lain yang mereka bisa memahami genetik yang menyebabkan penyakit apa, sehingga mereka yang bisa mengeluarkan produk atau layanan kesehatan.

itu yang sebenarnya kita mau loncat ke depan agar kita tidak kalah dengan negara-negara maju untuk mempersiapkan membangun sektor kesehatan yang jauh lebih advance di tanah air kita.

Terkait ketersediaan alat kesehatan dan obat-obatan dalam negeri, bagaimana Indonesia terbebas dari ketergantungan dalam impor dalam industri kesehatan?

Pada saat krisis ini terjadi memang kita kalang kabut. Seluruh dunia juga kalang kabut dan menteri-menteri kesehatan dunia G20 itu duduk bersama kita identifikasi bersama WHO bahwa yang perlu dipersiapkan itu istilahnya mereka tuh emergency medical countermeasures. Jadi pada saat pandemi terjadi ada beberapa komponen kesehatan yang kita harus persiapkan.

Yang pertama adalah vaksin, yang kedua adalah therapiutik obat-obatan dan yang ketiga adalah diagnostik, alat tes. Jadi istilahnya VTD, vaksin, terapeutik dan diagnostik. Ini tiga sumber daya kesehatan yang harus dipersiapkan negara terutama kalau negaranya berpopulasi besar agar siap kalau ada pandemi datang.

Nah kita mulai yang paling dulu adalah diagnostik. Jadi sbnrnya itu lab rapid tes ini yang sudah kita bangun. Jadi kita sudah bangun sekarang lab PCR 1.200 di seluruh Indonesia, itu besar sekali untuk suatu negara.

Kita sudah bangun lab genome sequencing yang tadinya cuma ada 10 semua terkonsentrasi di Jawa, sekarang sudah ada lebih dari 25 di seluruh Indonesia tersebar pulau besar. Nanti rencananya kita kalau bisa sebelum 2024 selesai seluruh provinsi sudah bisa melakukan genome sequencing. Sedangkan seluruh kabupaten dan kota sudah bisa melakukan PCR. Dengan demikian diagnostic capability kita survailence probability kita akan dibangun.

Selain yang sifatnya lab fisikal, kita juga akan mengembangkan diagnostik yang bisa dibawa kemana-mana, itu sama lab juga sebenarnya. Rapid test itukan lab juga sebenarnya, lab dalam skala kecil, secara personal, lab yang bisa kita taruh di rumah.

Jadi kita sekarang sedang membangun kapasitas membangun alat diagnostik atau alat lab yang sifatnya rapid test yang sifatnya bisa tersimpan di rumah. Dan kita nggak hanya punya dalam negeri, kita undang juga tuh pemegang-pemegang paten yang punya pabrik di India, di Korea untuk bikin pabrik di Indonesia, sehingga mereka bangun alat diagnostik untuk Malaria, Covid-19, dan lain sebagainya.

Yang kedua mengenai vaksin. Ada empat teknologi vaksin, berbasis virus, berbasis protein, berbasis rekombinan, berbasis vektor kayak AstraZeneca, dan berbasis yang paling canggih nucleic acid.

Nah kita baru bisa dua yang dilakukan Biofarma, yaitu yang berbasis vaksin virus dan berbasis protein. Sekarang kita sedang mengundang dan kita melibatkan pihak swasta juga. Kan kita nggak mungkin punya satu pabrik vaksin, negara Indonesia harus punya beberapa. Kalau satu sibuk dengan yang lain atau masalah kita bisa punya line. Kita sudah persiapkan membangun pabrik vaksin minimal dua atau tiga yang bisa mengkover keempat teknologi vaksin ini.

Dan nanti bulan September ada satu yang sudah kita bisa luncurkan yang men-support teknologi yang paling canggih yaitu berbasis mRNA atau nucleic acid.

Dari sisi terapeutik atau pengobatan juga alat kesehatan itu kita juga sekarang sudah produksi favipiravir. Sekarang teman-teman di holding BUMN sudah mulai produksi itu. Kita juga baru kemarin meluncurkan semua perusahaan obat di Indonesia kalau dia membeli bahan baku obatnya dari dalam negeri akan kita fasilitasi sehingga dengan demikian rantai dari hulu ke hilir dibangun di Indonesia. Jangan seperti kemarin kita bisa bikin obatnya tapi bahan bakunya harus impor, pada saat lockdown nggak bisa dapet bahan bakunya, sehingga ngga bisa produksi juga obatnya obat.

Nah obatnya yang masuk kategori tadi emergency health medical yang masuk kategori vaksin terapetuik dan diagnostik itu dalam proses ktia bangun. Dan bertahap beberapa sudah mulai siap dan nanti kalau ada pandemi lagi kita siap.

Di bulan kemerdekaan ini, apakah mungkin kita merdeka dalam hal impor alat kesehatan, khususnya untuk minimal yang sangat diperlukan oleh masyarakat, seperti apa?

Memang ini yang sudah dekat-dekat nih vaksinnya nanti akan siap, vaksin produksi dalam negeri. Karena bagaimana pun juga kan sama seperti influenza, Covid-19 ini virusnya nggak bisa hilang, mungkin akan stay 5 tahun lagi, 10 tahun lagi atau 100 tahun lagi.

Penting buat kita, masyarakat untuk sadar kesehatan dan bisa melindungi dirinya sendiri baik dengan protokol kesehatan, dengan pakai masker dan juga dengan vaksinasi. Jadi ktia lihat kebutuhan ke depannya akan terus ada. Nah itu yang nanti saya rasa Insya Allah harusnya deket-deket bulan Agustuslah kita luncurkan.

Kemudian inisiatif mengenai bioteknologi ini, sekali lagi ini sangat penting untuk survailence, sudah teruji di Covid, nanti teruji di monkeypox. Kita sudah jauh lebih siap surveillance, itu juga rencananya kita luncurkan sebagai hadiah ulang tahun ke 77 Republik Indonesia.

Tapi menurut saya, yang penting saya berharap sekali kondisi pandemi di kemerdekaan RI kita sudah jauh lebih baik. Kita sedang melaksanakan sero survey yang kita lakukan di bulan Desember 2021, di bulan Maret 2022 kita lakukan, nanti mudah-mudahan deket Agustus bisa kita umumkan hasilnya.

Dan itu bisa jadi indikator ilmiah mengenai kondisi masyarakat Indonesia dalam menghadapi pandemi ini. Kalau misalnya kondisinya jauh lebih baik, imunitas lebih tinggi, itu jadi ciri bangsa kita sudah mengendalikan pandemi ini dan bisa jadi hadiah ulang tahun kemerdekaan Indonesia.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular