
Menkes Bicara Lonjakan Covid hingga Antisipasi Cacar Monyet

WHO telah menetapkan status darurat kesehatan global cacar monyet (monkeypox) melihat kondisi di beberapa negara. Bagaimana dengan Indonesia?
Memang monkeypox ini sudah beredar di beberapa negara dan kenaikannya dimasukkan oleh WHO sebagai satu level di bawah pandemi. Di Australia sudah ada, di Singapura juga sudah ada.
Kita sebenarnya sudah ada 11 suspek diduga monkeypox, karena ada bintik-bintik merah di tubuhnya. Tapi dari 11 aspek ini sesudah kita tes ternyata mereka bukan monkeypox, tetapi cacar biasa atau varicella kita bilangnya ya.
Yang terakhir kemarin di Pati. Ya gejala-gejalanya sudah ada di tangan, di kaki, tapi begitu kita swab negatif, kita ambil lesinya, kita kirim ke Jakarta untuk diperiksa hasilnya juga negatif. Jadi sampai saat ini kita belum menemukan adanya di Indonesia.
Kita sudah melakukan komunikasi terus dengan dinas-dinas Kesehatan sejak Minggu 3 Juli untuk bisa memastikan surveillance jalan. Untuk teman-teman, surveillancenya ini relatif lebih mudah dibandingkan Covid-19, karena monkeypox ini akan menular kalau sudah bergejala. Jadi kalau Covid ini, susahnya surveillance-nya orang yang tidak bergejala sudah bisa menularkan covid. kalau monkeypox ini orangnya harus bergejala dulu ada bintik-bintik di tubuhnya baru bisa menularkan.
Jadi dari sisi surveillance kita identifikasi siapa yang bisa menular itu jauh lebih mudah. Kemudian untuk surveillance juga testingnya ini bisa menggunakan PCR. Jadi bisa menggunakan PCR. Sekarang sudah ada, terima kasih Covid-19 kita punya lebih dari 1.100 lab PCR di seluruh Indonesia.
Tinggal reagennya saja atau materinya saja atau bahan habis pakainya yang agak berbeda dan kita sudah dapat sumbangan dari WHO, dan kita juga beli juga sudah ada 1.500 reagen yang kita sudah sebar ke seluruh provinsi sehingga nanti kalau ada gejala suspek monkeypox, kita bisa langsung tes di masing-masing provinsi untuk melihat apakah ini memang benar-benar monkeypox atau tidak.
Sebagai tambahan untuk vaksin-nya kita sedang cari, selain surveillance, vaksinnya ada cuma masih sangat jarang. Tapi berita bagusnya adalah untuk update yang kami terima untuk orang-orang yang dulu pernah divaksin cacar, seperti saya dulu waktu kecil divaksin cacar, berbeda dengan vaksin Covid-19, vaksin cacar itu berlaku seumur hidup. Ini masih bisa memberikan perlindungan juga terhadap monkeypox.
Jadi saya ingat terakhir vaksin cacar itu diberikan di tahun 1980. Jadi untuk masyarakat Indonesia yang di bawah 1980 lahirnya harusnya masih memiliki antibodi terhadap virus ini.
Kemudian obat-obatannya. Ini obat-obatannya anti-virus dan sekarang juga sudah ada dan kita sudah datangkan. Saya rasa dalam seminggu harusnya sudah masuk. Jadi kalau ada orang yang terkena kita bisa treatment dengan obat-obatan ini. Jadi dari sisi surveillance sudah kita lakukan, alatnya juga ada paket PCR reagennya sudah siap, dari sisi vaksinasi kita masih agak terlindungi dengan banyaknya populasi kita yang sudah divaksinasi cacar sebelumnya sampai tahun 1980.
Itu juga mungkin sebabnya kenapa Indonesia kok tidak ada yang keluarnya, karena memang sudah terlindungi dari vaksinasi ini yang lahirnya sebelum 1980. Kemudian dari sisi obat-obatannya kalau sakit kita sekarang sudah mendatangkan Insya Allah minggu depan sudah siap, sehingga kalau ada yang terkena kita bisa obati di rumah sakit.
Prokesnya kalau misal Covid-19 itu masih pakai masker, monkeypox ini jangan bersentuhan aja, karena nularnya itu lewat cairan ya, jangan sampai bersentuhan dengan orang-orang yang bergejala cacar.
Terkait dengan untuk pendeteksian monkeypox menggunakan genome sequencing, apa sudah difokuskan dan diatur oleh pemerintah?
Jadi saya mau confirm sekali lagi bahwa untuk deteksi virus monkeypox, itu cukup dengan PCR sudah bisa. Jadi tidak perlu dengan genome sequencing. Karena genome sequencing kan nggak banyak alatnya dan lab yang bisa melakukan itu di Indonesia.
Tapi PCR... terima kasih kepada Covid-19, kita jadi punya lebih dari 1.100 lab tersebar di Indonesia. Teknologi PCR bisa mendeteksi apakah virusnya itu monkeypox atau tidak. Dan itu sudah tersebar, reagennya kita juga kita sudah punya.
Nah memang sama seperti Covid, virus monkeypox ini ada varian-variannya. Kalau Covid-19 kan ada Alpha, Delta, Omicron, subvarian Omicron BA.4 dan BA.5, monkeypox juga ada.
Variannya itu Afrika Tengah sama Afrika Selatan yang masing-masing berbeda fatalitinya. Nah itu yang perlu genome sequencing. Jadi untuk deteksi monkeypox cukup PCR, tidak perlu genome sequencing, tapi untuk variannya itu perlu genome sequencing.
Sebagai informasi dulu di awal pandemi Covid-19, kita hanya punya 10-12 alat kemarin ini kita sudah melengkapi kita datangkan 17 alat baru dan nanti akan datang dan tiga bulan 10 alat baru genome sequencing. Yang tadinya hanya ada di Jawa kita sudah sebar ke seluruh pulau di seluruh Indonesia. Pulau-pulau besar itu sekarang sudah memiliki fasilitas genome sequencing.
Dulu saya ingin waktu saya baru masuk dari bulan Maret Covid-19 teridentifikasi sampai Desember itu 140 genome sequencing, sekarang kita sudah mampu 2.000 sampai 3.000 per bulan.
Jadi kalau 140 dalam 9 bulan genome sequencing, sekarang kapasitas nasional kita untuk genome sequencing tes itu bisa 2.000 sampai 3.000 per bulan atau lebih dari 30.000 kapasitas pertahun.
Kementerian Kesehatan baru merilis Biomedical and Genome Sience Initiative (BGSi). Bisa dijelaskan terkait hal ini?
Kita belajar nih, oh ternyata mesin genome ini bukan hanya digunakan untuk mendeteksi varian dari virus atau bakteri. Genome Sequence ini bisa memahami kondisi komponen terkecil dari makhluk hidup yang namanya DNA.
Jadi kalau virus itu punya sekitar 30.000 DNA best pair di Covid, kalau bakteri TBC mungkin punya sekitar 4,4 juta pasang pairnya. Nah kalau 3 miliar itu manusia.
Nah dengan kita mengetahui kondisi dari DNA seorang manusia, kita bisa benar-benar tahu secara tepat yang bersangkutan sakit apa dan cara mengobatinya seperti apa. Nah teknik bioteknologi ini akan sangat berperan ke depan untuk mendukung konsep baru di industri kesehatan yang namanya precision and personalized medicine.
Jadi kita bisa dengan sangat pasti tahu kanker yang dialami oleh seorang ini disebabkan oleh gen yang mana, kemudian mengobatinya caranya seperti apa.
Jadi ini sebenarnya sama kayak temen-temen dulu kan di awal-awal abad-abad yang awal gitu kalau kita sakit sama dokter diraba, didengerin, dipegang, suhunya sakit apa. Jadi cara diagnosa itu sangat klinik, kemudian ada nama lem darah dia bilang dilihat SGPT, SGOT, HLD, LDL, kita lebih pasti taunya bahwa jantungnya nih bermasalah. Terus berkembang lagi teknologi tahap berikutnya bisa dengan CT Scan, bisa lebih tahu lagi diagnosa kesehatan seseorang.
Nah bioteknologi itu satu level di atas, jadi dia menggunakan teknologi yang bisa dengan sangat tajam sangat tepat, sangat personalized, tahu penyakitnya seseorang itu apa, penyebabnya di mana dan cara mengobatinya seperti apa.
Banyak negara sudah mulai masuk ke bidang ini hari ini. Kali ini kita sadar kebetulan karena kita belajar genome sequencing saat Covid, bisa dipakai untuk restriction medicine ini jangan sampai kita ketinggalan. Karena Indonesia sangat kaya biodiversitas sama varietas genomiknya. Jangan sampai itu diambil oleh negara-negara lain yang mereka bisa memahami genetik yang menyebabkan penyakit apa, sehingga mereka yang bisa mengeluarkan produk atau layanan kesehatan.
itu yang sebenarnya kita mau loncat ke depan agar kita tidak kalah dengan negara-negara maju untuk mempersiapkan membangun sektor kesehatan yang jauh lebih advance di tanah air kita.
Terkait ketersediaan alat kesehatan dan obat-obatan dalam negeri, bagaimana Indonesia terbebas dari ketergantungan dalam impor dalam industri kesehatan?
Pada saat krisis ini terjadi memang kita kalang kabut. Seluruh dunia juga kalang kabut dan menteri-menteri kesehatan dunia G20 itu duduk bersama kita identifikasi bersama WHO bahwa yang perlu dipersiapkan itu istilahnya mereka tuh emergency medical countermeasures. Jadi pada saat pandemi terjadi ada beberapa komponen kesehatan yang kita harus persiapkan.
Yang pertama adalah vaksin, yang kedua adalah therapiutik obat-obatan dan yang ketiga adalah diagnostik, alat tes. Jadi istilahnya VTD, vaksin, terapeutik dan diagnostik. Ini tiga sumber daya kesehatan yang harus dipersiapkan negara terutama kalau negaranya berpopulasi besar agar siap kalau ada pandemi datang.
Nah kita mulai yang paling dulu adalah diagnostik. Jadi sbnrnya itu lab rapid tes ini yang sudah kita bangun. Jadi kita sudah bangun sekarang lab PCR 1.200 di seluruh Indonesia, itu besar sekali untuk suatu negara.
Kita sudah bangun lab genome sequencing yang tadinya cuma ada 10 semua terkonsentrasi di Jawa, sekarang sudah ada lebih dari 25 di seluruh Indonesia tersebar pulau besar. Nanti rencananya kita kalau bisa sebelum 2024 selesai seluruh provinsi sudah bisa melakukan genome sequencing. Sedangkan seluruh kabupaten dan kota sudah bisa melakukan PCR. Dengan demikian diagnostic capability kita survailence probability kita akan dibangun.
Selain yang sifatnya lab fisikal, kita juga akan mengembangkan diagnostik yang bisa dibawa kemana-mana, itu sama lab juga sebenarnya. Rapid test itukan lab juga sebenarnya, lab dalam skala kecil, secara personal, lab yang bisa kita taruh di rumah.
Jadi kita sekarang sedang membangun kapasitas membangun alat diagnostik atau alat lab yang sifatnya rapid test yang sifatnya bisa tersimpan di rumah. Dan kita nggak hanya punya dalam negeri, kita undang juga tuh pemegang-pemegang paten yang punya pabrik di India, di Korea untuk bikin pabrik di Indonesia, sehingga mereka bangun alat diagnostik untuk Malaria, Covid-19, dan lain sebagainya.
Yang kedua mengenai vaksin. Ada empat teknologi vaksin, berbasis virus, berbasis protein, berbasis rekombinan, berbasis vektor kayak AstraZeneca, dan berbasis yang paling canggih nucleic acid.
Nah kita baru bisa dua yang dilakukan Biofarma, yaitu yang berbasis vaksin virus dan berbasis protein. Sekarang kita sedang mengundang dan kita melibatkan pihak swasta juga. Kan kita nggak mungkin punya satu pabrik vaksin, negara Indonesia harus punya beberapa. Kalau satu sibuk dengan yang lain atau masalah kita bisa punya line. Kita sudah persiapkan membangun pabrik vaksin minimal dua atau tiga yang bisa mengkover keempat teknologi vaksin ini.
Dan nanti bulan September ada satu yang sudah kita bisa luncurkan yang men-support teknologi yang paling canggih yaitu berbasis mRNA atau nucleic acid.
Dari sisi terapeutik atau pengobatan juga alat kesehatan itu kita juga sekarang sudah produksi favipiravir. Sekarang teman-teman di holding BUMN sudah mulai produksi itu. Kita juga baru kemarin meluncurkan semua perusahaan obat di Indonesia kalau dia membeli bahan baku obatnya dari dalam negeri akan kita fasilitasi sehingga dengan demikian rantai dari hulu ke hilir dibangun di Indonesia. Jangan seperti kemarin kita bisa bikin obatnya tapi bahan bakunya harus impor, pada saat lockdown nggak bisa dapet bahan bakunya, sehingga ngga bisa produksi juga obatnya obat.
Nah obatnya yang masuk kategori tadi emergency health medical yang masuk kategori vaksin terapetuik dan diagnostik itu dalam proses ktia bangun. Dan bertahap beberapa sudah mulai siap dan nanti kalau ada pandemi lagi kita siap.
Di bulan kemerdekaan ini, apakah mungkin kita merdeka dalam hal impor alat kesehatan, khususnya untuk minimal yang sangat diperlukan oleh masyarakat, seperti apa?
Memang ini yang sudah dekat-dekat nih vaksinnya nanti akan siap, vaksin produksi dalam negeri. Karena bagaimana pun juga kan sama seperti influenza, Covid-19 ini virusnya nggak bisa hilang, mungkin akan stay 5 tahun lagi, 10 tahun lagi atau 100 tahun lagi.
Penting buat kita, masyarakat untuk sadar kesehatan dan bisa melindungi dirinya sendiri baik dengan protokol kesehatan, dengan pakai masker dan juga dengan vaksinasi. Jadi ktia lihat kebutuhan ke depannya akan terus ada. Nah itu yang nanti saya rasa Insya Allah harusnya deket-deket bulan Agustuslah kita luncurkan.
Kemudian inisiatif mengenai bioteknologi ini, sekali lagi ini sangat penting untuk survailence, sudah teruji di Covid, nanti teruji di monkeypox. Kita sudah jauh lebih siap surveillance, itu juga rencananya kita luncurkan sebagai hadiah ulang tahun ke 77 Republik Indonesia.
Tapi menurut saya, yang penting saya berharap sekali kondisi pandemi di kemerdekaan RI kita sudah jauh lebih baik. Kita sedang melaksanakan sero survey yang kita lakukan di bulan Desember 2021, di bulan Maret 2022 kita lakukan, nanti mudah-mudahan deket Agustus bisa kita umumkan hasilnya.
Dan itu bisa jadi indikator ilmiah mengenai kondisi masyarakat Indonesia dalam menghadapi pandemi ini. Kalau misalnya kondisinya jauh lebih baik, imunitas lebih tinggi, itu jadi ciri bangsa kita sudah mengendalikan pandemi ini dan bisa jadi hadiah ulang tahun kemerdekaan Indonesia.
[Gambas:Video CNBC]
