
Kartika Wirjoatmodjo Blak-blakan Arah Digitalisasi BUMN

Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo membeberkan sejumlah rencana strategis perusahaan pelat merah, terutama yang terkait dengan integrasi dan digitalisasi. Hal itu disampaikan Tiko, sapaan akrabnya, dalam wawancara khusus dengan CNBC Indonesia pada Rabu (25/11/2020).
Menurut Tiko, inisiasi digitalisasi ini bisa dilakukan melalui inisiatif digital hub yang dikomandoi oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM). Nantinya, perusahaan-perusahaan BUMN, perlahan akan melakukan digitalisasi melalui sistem yang terintegrasi di ekosistem BUMN, mulai dari sektor perkebunan, konstruksi, hingga UMKM.
Tak hanya melibatkan perusahaan pelat merah saja, menurut mantan Direktur Utama Bank Mandiri ini, BUMN juga melirik berbagai perusahaan rintisan yang potensial, termasuk baru-baru ini investasi Telkomsel di Gojek.
"Kita melihat, ekosistem BUMN tidak lagi ekslusif, tapi inklusif. Kalau terlalu eksklusif tidak bisa memperluas customer based dan transaction, saya rasa ke depan investasi di BUMN kepada startup akan lebih besar. Karena dari visi Pak Erick Thohir (Menteri BUMN), kita ingin BUMN jadi ekosistem yang terbuka, melibatkan swasta, BUMD dan modal asing," ungkap Tiko.
Berikut ini petikan wawancaranya dengan CNBC Indonesia:
Seperti apa progres digitalisasi dan integrasi antar perusahaan BUMN?
Jadi, selama setahun terakhir ini kita melakukan assessment maturity digital liability dari perusahaan BUMN. Kita melihat gap antarsektor itu beragam, ada yang sudah advance sebagai leader seperti Telkom, financial services seperti Himbara, namun sektor yang lain banyak yang tertinggal seperti sektor pertanian, sektor logistik dan sebagainya.
Oleh karena itu, kami melakukan integrasi digitalisasi dalam bentuk inisiatif seperti digital hub yang nantinya ada di Telkom, diharapkan Telkom akan membangun center of exellence kompetensi digital. Nantinya, kalau memungkinkan, programmer yang ada di bawah digital hub ini bisa men-service yang secara liabilitas, maturity-nya di bawah perusahaan yang sudah advance.
Sebagai contoh, kita melakukan digitalisasi perusahaan-perusahaan konstruksi, tidak mungkin kita membangun konstruksi digital seperti WIKA, HK, tapi harus ada center of exellcence, karena maturity-nya jauh sekali.
Kalau mau ngomong digitalisasi perkebunan, PTPN membangun membangun sendiri akan lama sekali. Oleh karena itu, digital hub ini jadi katalis untuk mempercepat dari sisi teknologi dan implementasinya. Jadi ini inisiatif yang utama.
Ada empat vertikal yang kita dorong, yang pertama healthcare, ini menunjukkan kita perlu ada satu percepatan digitalisasi platform healthcare.
Kedua, sektor logistik. Kita cukup besar supply chainnya tapi belum terdigitalisasi. Selanjutnya, agrikultur dari hulu ke hilir. Terakhir dari sisi merchant services maupun payment yang sudah dilakukan Jalin maupun LinkAja.
Kemudian, dari sisi peningkatan peran digital venture, kita ada MDI di Telkom dan Mandiri Capital, BRI Ventures, kita harapkan modal ventura ini diharapkan menjadi katalis untuk kita bekerja sama untuk mengakuisisi teknologi startup. Jadi, pengembangan digital BUMN tidak hanya tertutup bagi internal BUMN, tapi juga dari cara membeli aplikasi yang sudah dibangun startup yang jadi binaan.
Terakhir, kita akan membangun platorm integrasi yang horizontal, seperti data center, cloud, security, IoT, tapi ini baru satu dua tahun lagi baru bisa kita jalankan.
Di jasa keuangan sudah lebih maju, arah ekspansi digitalisasi perbankan pelat merah seperti apa?
Masing-masing bank punya unique-ness masing-masing, mereka punya kapasitas digital, fokus segmen dan platform yang berbeda-beda. Sebagai contoh, Mandiri yang fungsinya korporasi dan konsumer high end, maka Mandiri lebih didorong pada individual dan corporate banking yang sifatnya lebih ke bisnis dan komersial.
Untuk BRI, kita punya BriMo [BRI Mobile], BRISpot, dan mengembangkan Ceria, Pinang, ini didorong untuk UMKM untuk memperluas jaringan kredit ultra mikro ke depannya dengan Pegadaian dan PNM.
Bank Himbara punya platform masing-masing dan digital platformnya lebih menyerupai model tersebut. Jalin akan mengelola ATM, EDC secara terintegrasi diharapkan akan di bahwa MDI, payment kita sepakat gunakan LinkAja. Jadi kita pilah, segmen digital application dan infrastruktur yang bisa di-share bersama.
Kita juga sedang proses membuka LinkAja untuk investor pemain [dompet digital] di Indonesia, sehingga LinkAja akan terintegrasi menjadi satu platform payment nasional yang diharapkan sinergi dengan perusahaan payment, e-commerce yang lain di Indonesia.
Seberapa besar potensinya?
Kita punya visi kalau bisa LinkAja jadi platform payment nasional yang terbesar, saya rasa kita on the way ke sana. Karena dari ekosistem BUMN tentunya kan kita transportasi, dari pembayaran kereta api, DAMRI, dari e-commerce di belakangnya payment module yang bisa di-align dengan LinkAja dan ke depan di sektor UMKM bisa menjadi payment rural area melalui ekosistem BRI-Pegadaian-PNM yang menjangkau ultra mikro, termasuk agen BRI Link yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan seperti ini, usage LinkAja akan lebih luas.
Kita juga harapkan LinkAja bisa mengintegrasikan data nasional, misalnya untuk bantuan tunai masyarakat kelas bawah, kalau seluruh bantuan dengan satu platform, diharapkan pemerintah punya satu database dan sistem yang memungkinkan penyaluran ini lebih terintegrasi dan akurat mencapai penerima manfaat yang sah.
Terkait kolaborasi BRI-PNM-Pegadaian, apa efeknya membantu masyarakat ke depan?
Sekarang ini BRI punya customer sekitar 15 juta di UMKM, Pegadaian 4 juta, PNM ada 7 juta. Kita ada sekitar 20-25 juta. Ini ternyata belum cukup, setelah kita survei, pengusaha UMKM di Indonesia mencapai 60 juta, ada gap 35 juta UMKM, 80% masih informal. Kita berharap integrasi ini bisa meningkatkan jangkauan kepada 35 juta ini yang sifatnya digital dan formal. Ini akan membantu inklusi keuangan.
Masih ada gap antara bank dan bidang lain, untuk digitalisasi sektor non keuangan seperti apa, misalnya di perkebunan dan konstruksi?
Salah satu kuncinya adalah efisiensi, efektivitas supply chain. Misalnya untuk sektor perkebunan di luar negeri itu, kebun-kebun sudah pakai IoT untuk melihat masalah perairan, pemupukan, bibit. Dengan berbasis digital, akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi yang signifikan.
Di RNI dan PTPN kita sudah melakukan pilot bagaimana pertanian mulai didigitalisasi menggunakan drone dan IoT, dan perkebunan sawit. Swasta sudah lebih maju, diharapkan kualitas HPP RNI dan PTPN bisa menyamai best practices.
Di BRI Ventures kita ada investasi di Tanihub, menyatukan hulu ke hilir. Dulu ibu-ibu masih sering beli sayur ke pasar, sekarang justru dari platform digital. Ini kemajuan luar biasa, akan meng-create market baru.
Sektor logistik, di Indonesia sangat fragmented. Tidak ada ekosistem yang mengintegrasikan, sehingga masyarakat dalam berdagang antarpulau masih mahal, karena harus menyewa truk, bayar kepada shipping company, atau kargo udara, bayar lagi end delivery truk. Kalau kita bisa menginisiasi platform logistik nasional, PT Pos, diharapkan masyarakat bisa langsung gunakan platform ini. Sasarannya bisa B2B yang sifatnya besar. Misalnya, Garuda baru inovasi kirim seafood hidup ke China. Jadi diharapkan bisa menjangkau lebih luas lagi.
Masih ada tantangan di lapangan, bagaimana pendekatan BUMN untuk digitalisasi?
Perusahaan yang dari sisi resources terbatas bisa menggunakan center ini, jadi tidak harus meng-hire developer sendiri, mengembangkan analis sendiri. Kultur, saya rasa ini lebih sulit, bagaimana membangun kultur digital yang masih tertinggal. Kita ingin ke depan di vertikal yang sudah sebutkan tadi, ada campaign dan contoh nyata, di RNI, PTPN, sehingga perusahaan lain bisa melihat manfaatnya.
Sharing investasinya akan seperti apa skemanya?
Kita membuka jadi tiga model, tadi untuk yang sudah maturity seperti perbankan, untuk yang tidak capital bangun bisa libatkan Telkom membangun startup baru, misalnya di logistik tadi ada inhouse ada Logi punya Telkom, tapi saya sudah bilang ke Telkom, kalau sudah berjalan ini bisa kita jadikan startup yang kemudian para penggunanya tadi PT Pos, KAI, Garuda bisa jadi investor, sehingga share investasinya ke depan.
Misalnya LinkAja, itu ada 7 investor, jadi capital yang dibutuhkan kecil karena ketujuhnya ikut berinvetasi, nantinya suatu hari bisa juga kita IPO-kan. Tidak menutup kemungkinan suatu hari LinkAja akan kita IPO-kan juga, sehingga model investasinya sangat terbuka, melibatkan banyak BUMN, bahkan melibatkan swasta. Pengembangan digital tidak harus menggunakan capex internal, tapi bisa melalui ekosistem ventures dan ekosistem sharing investasi capital market.
LinjAja akan IPO, sudah sampai mana kajiannya?
Belum, belum ada timelinenya, saat ini saya sedang melakukan fund raising, dalam waktu satu dua bulan ke depan, bisa kita umumkan yang sudah hampir close ini. Akan ada investor swasta yang masuk. Mungkin kita 2 sesi lagi, pertama 7 investor BUMN. Kedua, seri B ada investor swasta. Seri C dulu, baru Seri D, IPO, bisa 1-1,5 tahun lagi. LinkAja masih pengembangan, jadi harus paham bisnisnya dulu. Saya melihat di luar negeri, kalau IPO kecepatan bisa salah. Kita ingin bisa positif dari sisi PNL.
Animo investor startup BUMN bagaimana?Menarik, sangat antusias dan memang ada dua angle. Pertama, ini untuk membuka ekosistem, transportasi, logistik, bansos, dengan berinvestasi startup bisa punya akses ekosistem swasta.
Target pendanaan LinkAja?
Seri B US$ 50 juta hingga US$ 60 juta.
Startup identik dengan bakar uang, apa beda tata kelola modal ventura BUMN, lebih sustain?
Betul, di seluruh dunia harus punya pathway to profitability, targetnya LinkAja 3 tahun, sudah mengarah ke sana dan positif cashflow, LinkAja tidak terlalu banyak bakar uang, tapi fokus bangun ekosistem. BUMN punya kelebihan dalam bentuk customer based.
Ke depan, akan lebih banyak BUMN yang punya bisnis modal ventura?
Saya kira kita akan batasi pada perusahaan yang secara finansial sehat. Jadi, kalau sekarang ini yang tiga paling besar labanya, Mandiri, BRI dan Telkom. Ke depan, di holding tourism boleh, asuransi boleh, tapi kalau di level perusahaan seperti PT Pos dan PTPN kapasitas keuangannya terbatas. Maksimum 5-6 ventures di BUMN, yang lainnya bisa pengguna dan investor di aplikasinya.
Potensi ekonomi digital Indonesia bagaimana?
Sekarang ekosistem digital di Indonesia masih fokus di segmen urban dan high end konsumer, Tokopedia, Shopee, pemain lain. Di Indonesia ekosistem bisa meningkat tajam, dengan ekosistem baru, UMKM dan rural, kalau bisa masuk 50 juta pelaku UMKM dan rural, transaksi digitalnya bisa meningkat sekali, walau ticket sizenya kecil. Kedua, ekosistem B2B antar pulau, contoh logistik, sekarang hal itu belum dimasukkan, karena transaksinya masih tradisional.
Anak usaha Telkom investasi Gojek, ke depan BUMN akan lebih banyak investasi ke startup?
Kita melihat, ekosistem BUMN tidak lagi ekslusif, tapi inklusif. Kalau terlalu ekslusif tidak bisa memperluas customer based dan transaction, saya rasa ke depan investasi di BUMN kepada startup akan lebih besar. Karena dari visi Pak Erick Thohir, kita ingin BUMN jadi ekosistem yang terbuka, melibatkan swasta, BUMD dan modal asing.
Dengan jadi ekosistem terbuka, peningkatan customer based dan engagement digital akan meningkat. Kalau dengan cara-cara lama, kita akan kehilangan market dan mungkin suatu hari akan habis. Sekarang sudah mengarah ke digital.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Cerita Fajrin Rasyid Soal Digitalisasi Telkom Hingga Vaksin