
Bos PTBA Ungkap Rencana Akbar Geser LPG dengan Gas Batu Bara
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
18 January 2019 16:33

Jakarta, CNBC Indonesia- PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina (Persero), dan Air Products and Chemicals, Inc membuat perusahaan patungan untuk memproduksi dimetil eter (DME), yang akan menjadi pengganti bahan bakar LPG yang saat ini masih banyak diimpor.
Menteri BUMN, Rini Soemarno, mengatakan, Indonesia saat ini masih mengimpor 70% kebutuhan LPG dalam negeri, yang jumlahnya 5,5 juta ton per tahun. Impor LPG ini turut menyumbang defisit neraca perdagangan dan menggerus devisa.
Meski masih dalam tahapan kajian, gasifikasi batu bara diharapkan bisa menekan impor LPG di masa mendatang. Direktur utama PT Bukit Asam Tbk Arviyan Arifin membeberkan rencana PT Bukit Asam di tahun 2019 terkait gasifikasi ini kepada Hera F Haryn dalam program Closing Bell CNBC Indonesia (Rabu 16/01/2019).
Berikut kutipan lengkapnya:
Join venture (JV) kali ini, seperti apa targetnya, dan kontribusinya khususnya bagi PT Bukit Asam Tbk sendiri dan bagi industri ini secara keseluruhan?
Yang kita tanda tangani hari ini adalah kesepakatan kerja sama kita untuk mengembangkan hilirisasi dari produk batubara yang merupakan bagian dari visi PTBA menuju beyond coal, dan dari proyek ini nanti batu bara itu kita olah menjadi gas, kemudian dari gas nanti macam-macam produk downstream yang bisa kita kembangkan, baik DME, methanol, pupuk, maupun produk-produk kimia lainnya, polyphropilene dan sebagainya.
Untuk beberapa produk dowsntream, akan seberapa besar mengisi kebutuhan industri dalam negeri dan apa saja target yang ingin dicapai dengan join venture kali ini?
Jadi untuk JV kali ini kita khusus untuk mengembangkan tambang kita di Peranap, Riau, untuk mengembangkan produk gas dan dilanjutkan menjadi DME. DME sendiri adalah bahan baku bahan bakar gas yang bisa dijadikan pengganti LPG.
Sebagaimana kita ketahui, sampai saat ini kita masih 70% impor LPG, tadi dikatakan sama ibu Dirut Pertamina (Nicke Widyawati), kita impor hampir sekitar 5,5 juta ton LPG, nah kalau kita bisa produksi DME, tentunya ini banyak manfaat yang bisa kita dapatkan, pertama bisa hemat devisa, bisa memaksimalkan batu bara kalori rendah yang selama ini tidak bisa dimanfaatkan, dan terlebih lagi bisa membuat harga bahan bakar untuk masyarakat lebih rendah dari LPG yang ada saat ini.
Tadi Anda menyebutkan, mengutip dari Dirut Pertamina, kita masih lakukan importasi 70% atau sekitar 5,7 juta ton LPG. Nanti dengan adanya tambang di Peranap, Riau, berapa besar ini bisa mengisi kebutuhan importasi di Indonesia?
Kita akan lakukan secara bertahap, dan tentunya kita ingin secara keseluruhan produk DME ini bisa 100% mengganti kebutuhan LPG yang selama ini impor. Kita mulai untuk tahap awal ini dengan kapasitas 1,4 juta ton DME per tahun, kira-kira itu 25-30% dari impor LPG Pertamina. Nanti ke depan kita akan tingkatkan kapasitas produksinya sesuai dengan peningkatan demand LPG yang terus menerus meningkat di masyarakat kita.
Nanti ini kan jadi satu pioneer, berapa besar investasi yang dibutuhkan apabila memang hal serupa ingin dilakukan oleh pelaku industri yang sama dengan PTBA? Dan kenapa di Peranap, Riau?
Mengenai besaran investasi masih dalam tahap kajian, kami sekarang sedang menyusun feasibility study (FS) terhadap proyek ini bersama Pertamina dan Air Porducts, setelah FS selesai baru kita ketahui persis berapa total investasi yang diperlukan. Untuk diketahui bahwa dalam JV ini nanti akan ada tiga pihak, PTBA, Pertamina, dan Air Products sebagai partner kami dalam mengembangkan industri upstream di Peranap ini.
Kenapa Peranap? Karena di situlah cadangan batu bara kalori rendah yang jumlahnya cukup besar yang kalau kita gali dan produksi, lalu kita jual itu tidak layak sama sekali karena harganya juga sangat rendah. Sehingga itu hanya akan bernilai kalau kita ubah bentuknya menjadi gas dan produk-produk turunan lebih lanjut yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi.
Berapa target serapan batu bara PTBA nanti yang akan disalurkan untuk proyek JV ini?
Jadi, secara hitung-hitungan, untuk menghasilkan satu ton DME, butuh empat ton batubara. Kalau kita akan produksi DME setahun 1,4 juta ton, maka paling tidak diperlukan 6,4 juta ton batu bara setahun, dan cadangan kita lebih dari cukup untuk memproduksi DME tersebut.
Tadi disinggung kalau diolah menjadi DME bisa lebih menguntungkan, berapa sih kira-kira marjin keuntungan antara DME dibandingkan ketika batubara itu dijual tanpa diolah menjadi DME?
Tentu nilainya cukup signfikan ya, karena dengan kalau seandainya itu marjinnya tidak menguntungkan tentu tidak akan kami lakukan investasi ini. Berapa besarnya, sekali lagi saya katakan masih dalam tahapan kajian kami yang akan kami tuangkan dalam FS nantinya. Ini sangat terkait dengan besaran investasi.
[Gambas:Video CNBC]
Investasinya dikabarkan mencapai miliaran dolar AS
Iya, betul
Nah nanti seandainya FS dikatakan layak untuk dilanjutkan, bagaimana nanti skema pembiayaannya? Batu baranya kan dari PTBA, apakah ini berarti PTBA menanggung mayoritas pendanaannya? Atau nanti ada skema 50:50 dengan mitra?
Jadi, layak itu bisa kita definisikan dua. Pertama layak secara teknologi, industri ini sudah berkembang, di China sendiri sudah ada industri gasifikasi batu bara terbesar di dunia dengan batu bara kalori rendah juga.
Kedua, layak secara komersial. Nah ini tentunya sangat tergantung kepada berapa harga batu baranya, berapa biaya investasi teknologinya, kemudian berapa biaya EPC-nya, kemudian berapa harga jualnya. Ini semua sedang dalam batasan studi kami, dan kami berharap nanti harga jual DME lebih rendah dibanding harga jual LPG. Saya punya keyakinan ini bisa kami lakukan, apalagi batubara kalori rendah kita cukup banyak, tidak hanya di Peranap tapi juga ada di Tanjung Enim.
Harga DME diharapkan lebih rendah dibanding LPG, apakah ini nanti akan ada mekanisme semacam subsidi? Apa sudah ada pembicaraan ke arah sana?
Ya itu masuk bagian dari FS kami, termasuk juga unsur kelayakan yang akan jadi pertimbangan kami, yang pasti kalau kami produksi DME, pemerintah tidak perlu mengeluarkan devisa, sehingga neraca perdagangan kita tidak lagi negatif terutama dari impor sektor migas.
Asosiasi batu bara menyebutkan, hilirasi batubara belum menjadi hal yang menarik, sehingga tidak secara otomatis dimasuki oleh pelaku industri, tetapi hari ini sudah ada JV dan melakukan FS. Sampai kapan FS akan selesai?
Ya, kalau dibandingkan dengan memproduksi batu bara tentu jauh lebih mudah ya, karena batubara itu tinggal digali, diangkut, dijual. Tapi kalau melalui proses hilirisasi, ada tahapan-tahapan proses yang harus dilewati, membangun industrinya, dsb.
Nah FS kami sedang lakukan dan diharapkan Maret 2019 ini selesai, sehingga kami bisa segera realisasikan rencana besar ini.
Spesifik ke PTBA, seperti apa target kinerja PTBA sepanjang 2019, termasuk juga menurut Anda, range harga batu bara akan berada pada level berapa?
Kami untuk 2019 ini merencanakan peningkatan produksi 10-20%, karena demand juga masih ada, kami juga punya kewajiban untuk penuhi DMO ya. Mengenai harga, tidak ada seorang pun yang bisa memastikan, meramalkan, harga batu bara tahun ini dan selanjutnya. Kami berharap harga batu bara tetap dalam kondisi yang relatif stabil.
(gus) Next Article Suryo Eko Hadianto & Masa Depan Bisnis Batu Bara PTBA
Menteri BUMN, Rini Soemarno, mengatakan, Indonesia saat ini masih mengimpor 70% kebutuhan LPG dalam negeri, yang jumlahnya 5,5 juta ton per tahun. Impor LPG ini turut menyumbang defisit neraca perdagangan dan menggerus devisa.
Meski masih dalam tahapan kajian, gasifikasi batu bara diharapkan bisa menekan impor LPG di masa mendatang. Direktur utama PT Bukit Asam Tbk Arviyan Arifin membeberkan rencana PT Bukit Asam di tahun 2019 terkait gasifikasi ini kepada Hera F Haryn dalam program Closing Bell CNBC Indonesia (Rabu 16/01/2019).
Berikut kutipan lengkapnya:
Join venture (JV) kali ini, seperti apa targetnya, dan kontribusinya khususnya bagi PT Bukit Asam Tbk sendiri dan bagi industri ini secara keseluruhan?
Yang kita tanda tangani hari ini adalah kesepakatan kerja sama kita untuk mengembangkan hilirisasi dari produk batubara yang merupakan bagian dari visi PTBA menuju beyond coal, dan dari proyek ini nanti batu bara itu kita olah menjadi gas, kemudian dari gas nanti macam-macam produk downstream yang bisa kita kembangkan, baik DME, methanol, pupuk, maupun produk-produk kimia lainnya, polyphropilene dan sebagainya.
Untuk beberapa produk dowsntream, akan seberapa besar mengisi kebutuhan industri dalam negeri dan apa saja target yang ingin dicapai dengan join venture kali ini?
Jadi untuk JV kali ini kita khusus untuk mengembangkan tambang kita di Peranap, Riau, untuk mengembangkan produk gas dan dilanjutkan menjadi DME. DME sendiri adalah bahan baku bahan bakar gas yang bisa dijadikan pengganti LPG.
Sebagaimana kita ketahui, sampai saat ini kita masih 70% impor LPG, tadi dikatakan sama ibu Dirut Pertamina (Nicke Widyawati), kita impor hampir sekitar 5,5 juta ton LPG, nah kalau kita bisa produksi DME, tentunya ini banyak manfaat yang bisa kita dapatkan, pertama bisa hemat devisa, bisa memaksimalkan batu bara kalori rendah yang selama ini tidak bisa dimanfaatkan, dan terlebih lagi bisa membuat harga bahan bakar untuk masyarakat lebih rendah dari LPG yang ada saat ini.
![]() |
Tadi Anda menyebutkan, mengutip dari Dirut Pertamina, kita masih lakukan importasi 70% atau sekitar 5,7 juta ton LPG. Nanti dengan adanya tambang di Peranap, Riau, berapa besar ini bisa mengisi kebutuhan importasi di Indonesia?
Kita akan lakukan secara bertahap, dan tentunya kita ingin secara keseluruhan produk DME ini bisa 100% mengganti kebutuhan LPG yang selama ini impor. Kita mulai untuk tahap awal ini dengan kapasitas 1,4 juta ton DME per tahun, kira-kira itu 25-30% dari impor LPG Pertamina. Nanti ke depan kita akan tingkatkan kapasitas produksinya sesuai dengan peningkatan demand LPG yang terus menerus meningkat di masyarakat kita.
Nanti ini kan jadi satu pioneer, berapa besar investasi yang dibutuhkan apabila memang hal serupa ingin dilakukan oleh pelaku industri yang sama dengan PTBA? Dan kenapa di Peranap, Riau?
Mengenai besaran investasi masih dalam tahap kajian, kami sekarang sedang menyusun feasibility study (FS) terhadap proyek ini bersama Pertamina dan Air Porducts, setelah FS selesai baru kita ketahui persis berapa total investasi yang diperlukan. Untuk diketahui bahwa dalam JV ini nanti akan ada tiga pihak, PTBA, Pertamina, dan Air Products sebagai partner kami dalam mengembangkan industri upstream di Peranap ini.
Kenapa Peranap? Karena di situlah cadangan batu bara kalori rendah yang jumlahnya cukup besar yang kalau kita gali dan produksi, lalu kita jual itu tidak layak sama sekali karena harganya juga sangat rendah. Sehingga itu hanya akan bernilai kalau kita ubah bentuknya menjadi gas dan produk-produk turunan lebih lanjut yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi.
Berapa target serapan batu bara PTBA nanti yang akan disalurkan untuk proyek JV ini?
Jadi, secara hitung-hitungan, untuk menghasilkan satu ton DME, butuh empat ton batubara. Kalau kita akan produksi DME setahun 1,4 juta ton, maka paling tidak diperlukan 6,4 juta ton batu bara setahun, dan cadangan kita lebih dari cukup untuk memproduksi DME tersebut.
Tadi disinggung kalau diolah menjadi DME bisa lebih menguntungkan, berapa sih kira-kira marjin keuntungan antara DME dibandingkan ketika batubara itu dijual tanpa diolah menjadi DME?
Tentu nilainya cukup signfikan ya, karena dengan kalau seandainya itu marjinnya tidak menguntungkan tentu tidak akan kami lakukan investasi ini. Berapa besarnya, sekali lagi saya katakan masih dalam tahapan kajian kami yang akan kami tuangkan dalam FS nantinya. Ini sangat terkait dengan besaran investasi.
[Gambas:Video CNBC]
Investasinya dikabarkan mencapai miliaran dolar AS
Iya, betul
Nah nanti seandainya FS dikatakan layak untuk dilanjutkan, bagaimana nanti skema pembiayaannya? Batu baranya kan dari PTBA, apakah ini berarti PTBA menanggung mayoritas pendanaannya? Atau nanti ada skema 50:50 dengan mitra?
Jadi, layak itu bisa kita definisikan dua. Pertama layak secara teknologi, industri ini sudah berkembang, di China sendiri sudah ada industri gasifikasi batu bara terbesar di dunia dengan batu bara kalori rendah juga.
Kedua, layak secara komersial. Nah ini tentunya sangat tergantung kepada berapa harga batu baranya, berapa biaya investasi teknologinya, kemudian berapa biaya EPC-nya, kemudian berapa harga jualnya. Ini semua sedang dalam batasan studi kami, dan kami berharap nanti harga jual DME lebih rendah dibanding harga jual LPG. Saya punya keyakinan ini bisa kami lakukan, apalagi batubara kalori rendah kita cukup banyak, tidak hanya di Peranap tapi juga ada di Tanjung Enim.
Harga DME diharapkan lebih rendah dibanding LPG, apakah ini nanti akan ada mekanisme semacam subsidi? Apa sudah ada pembicaraan ke arah sana?
Ya itu masuk bagian dari FS kami, termasuk juga unsur kelayakan yang akan jadi pertimbangan kami, yang pasti kalau kami produksi DME, pemerintah tidak perlu mengeluarkan devisa, sehingga neraca perdagangan kita tidak lagi negatif terutama dari impor sektor migas.
Asosiasi batu bara menyebutkan, hilirasi batubara belum menjadi hal yang menarik, sehingga tidak secara otomatis dimasuki oleh pelaku industri, tetapi hari ini sudah ada JV dan melakukan FS. Sampai kapan FS akan selesai?
Ya, kalau dibandingkan dengan memproduksi batu bara tentu jauh lebih mudah ya, karena batubara itu tinggal digali, diangkut, dijual. Tapi kalau melalui proses hilirisasi, ada tahapan-tahapan proses yang harus dilewati, membangun industrinya, dsb.
Nah FS kami sedang lakukan dan diharapkan Maret 2019 ini selesai, sehingga kami bisa segera realisasikan rencana besar ini.
Spesifik ke PTBA, seperti apa target kinerja PTBA sepanjang 2019, termasuk juga menurut Anda, range harga batu bara akan berada pada level berapa?
Kami untuk 2019 ini merencanakan peningkatan produksi 10-20%, karena demand juga masih ada, kami juga punya kewajiban untuk penuhi DMO ya. Mengenai harga, tidak ada seorang pun yang bisa memastikan, meramalkan, harga batu bara tahun ini dan selanjutnya. Kami berharap harga batu bara tetap dalam kondisi yang relatif stabil.
(gus) Next Article Suryo Eko Hadianto & Masa Depan Bisnis Batu Bara PTBA
Most Popular