Special Interview

Istana Dukung Penuh BI Naikkan Bunga Acuan & Jaga Stabilitas

Arys Aditya, CNBC Indonesia
08 June 2018 13:41
Foto: REUTERS/Sertac Kayar
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak the Federal Reserve atau bank sentral AS melanjutkan langkah normalisasi moneter pada Maret lalu, nilai tukar rupiah terus-terusan tertekan, bahkan sempat menyentuh level Rp 14.200 per dolar AS atau terendah sejak 2014.

Di sisi lain, Bank Indonesia baru saja menggelar suksesi dengan dilantiknya Perry Wajiyo sebagai Gubernur yang baru menggantikan Agus D.W. Martowardojo yang purna tugas pada 24 Mei 2018.

Perry langsung menggebrak pasar sesaat setelah dilantik dengan menggelar rapat dewan gubernur (RDG) insidentil untuk kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ke 4,75% setelah dalam RDG reguler suku bunga acuan telah dinaikkan sebesar 25 bps, sehingga total kenaikan 7-days repo rate adalah 50 bps pada Mei 2018.

Pasar pun nampaknya agak teredam oleh langkah dan pernyataan Perry meski sebagian ekonom dan pelaku usaha menilai langkah bank sentral ini bisa memberikan ekses buruk bagi pertumbuhan ekonomi.

Senior Reporter Arys Aditya mewakili CNBC Indonesia berkesempatan mewawancarai Denni Puspa Purbasari, Deputi III Kantor Staf Presiden (KSP) yang membidangi ekonomi di kantornya, tentang persoalan ini. Berikut petikannya :

Bagaimana assessment KSP terkait situasi rupiah yang terus-menerus tertekan dalam beberapa pekan terakhir?

Memang situasi ekonomi sangat dinamis sejak beberapa bulan terakhir. Tentu saja sebagian besar karena global, ada FFR, trade war, geopolitik yang sangat dinamis. Kemudian dari situasi seperti itu mengubah valuasi investor dan kena imbas adalah rest of the world. Dengan jumlah aset yang segitu banyak di dunia, maka apa yang terjadi dengan FFR akan menggerakkan portofolio global, tak terkecuali Indonesia.

Dalam kondisi seperti itu, rupiah ada tekanan dan bank sentral yang memiliki tugas utama untuk stabilisasi, tentu akan melaksanakan tugasnya. Bank sentral lah yang punya bobot lebih besar dalam hal ini. Karena dalam situasi seperti ini, gejolak terjadi di pasar finansial, maka obatnya harus dari pasar finansial. Pemerintah, dalam hal ini hanya bisa berperan sedikit, yaitu dari bond market. Itupun sangat terbatas. Pemerintah kan lebih banyak ke sektor riil dan struktural.


Istana Dukung Penuh BI Naikkan Bunga Acuan & Jaga StabilitasFoto: Ist


Jadi memang itu dalam pengelolaan BI. Karena itu kami menyambut baik apa yang sudah dilakukan oleh BI. Dan kami kan selalu berkomunikasi dan berkoordinasi, exchange data dan posisi kebijakan, dan macam-macam lainnya. Nah, kalau bank sentral dengan independensinya menaikkan suku bunga, lalu menaikkan lagi. Ketika penaikan kedua kan bank sentral semakin kuat memberi sinyal akan keinginan mereka untuk ahead the curve.

Karena jangan sampai kita terlambat dan ekspektasinya harus sudah dikoreksi, untuk mengakomodasi dampak dari pernyataan Gubernur the Fed bahwa inflasi mereka akan terus meningkat sehingga ada ruang untuk peningkatan lebih dari jadwal. Itu kan sudah seperti forward guidance [untuk suku bunga] ke atas, beda dengan dulu yang ke bawah.

Dari situ, kami menyambut baik hal itu, dan market pun menyambut baik hal itu. Kita lihat, rupiah mulai stabil. Menurut kami, dalam situasi seperti ini, stabilitas rupiah, stabilitas sektor keuangan, menjadi yang paling penting. Dan itu biasanya jangka pendek. Kalau yang jangka pendek ini tidak diamankan, maka akan mendistorsi a whole thing, yang jangka panjang dan growth. Karena growth kan jangka panjang.

Jadi memang ini harus diselesaikan, dan itu bobotnya lebih banyak di central bank. Sekali lagi kami menyambut baik apa yang dilakukan oleh gubernur bank sentral.

Setelah suku bunga, apa yang kemudian bisa dilakukan untuk membuat rupiah bisa lebih tahan gejolak?

Sisanya. Tentang bagaimana pemerintah bersama otoritas moneter dan otoritas keuangan membangun sentimen positif dan confidence. Memang sejak krisis ekonomi global 2008 adalah era ketika likuiditas AS mengalir ke seluruh dunia, utamanya ke emerging markets. Ini membuat rupiah mengalami apresiasi. Jangan lupa, rupiah secara riil mengalami apresiasi. Yang dilihat jangan hanya nominal ya, tapi secara riil. Posisi rupiah sekarang dengan dulu itu masih net appreciation.

Nah karena ini masuk ke era normalisasi, dan ini juga sudah disinggung oleh gubernur bank sentral Indonesia, BI siap meningkatkan suku bunga lagi, bila itu diperlukan. Dan BI akan berkomitmen untuk ahead the curve. Itu adalah sudah statement yang sangat kuat.

Karena apa? Era normalisasi kan ketika limpahan likuiditas yang terjadi secara luar biasa dalam beberapa tahun dulu itu, secara perlahan akan kembali. Tentu kalau ekonomi kita sangat solid pertumbuhannya, maka kembalinya arus uang itu tidak akan langsung. Karena investor pun melihat potensi ekonomi emerging market. Hanya emerging market yang menawarkan return yang lebih besar. Ya high risk, high return. Belum tentu juga serta merta kalau suku bunga AS naik lalu arus modal kembali. Belum tentu.

Maka, saya bilang tadi, problem stabilisasi jangka pendek harus diatasi terlebih dahulu. Pasar harus dipastikan tenang. Lalu membangun confidence dan melanjutkan reformasi struktural agar potensi growth itu terealisasi. Agar confidence pelaku usaha, rapor profitabilitas perusahaan dan emiten bagus dan kemudian investor asing melihat pertumbuhan Indonesia robust. Sehingga mood mereka, keyakinan mereka terhadap ekonomi Indonesia tidak hilang.

Kenaikan suku bunga acuan pada umumnya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang merupakan domain Pemerintah. Bagaimana KSP menilai hal ini?

Iya, pertumbuhan ekonomi. Bahwa setelah stabilitas sudah oke, kita monitor terus kesehatan bank dan lembaga keuangan lain. Kita juga sudah berkoordinasi dan meminta kepada OJK untuk juga mengawasi dan take bold actions if necessary, lakukan. Karena dalam situasi uncertain, kondisi kesehatan bank dan lembaga keuangan harus kuat.

Dari sisi pemerintah, dalam situasi seperti ini adalah memastikan cash flow kuat. Kemudian, menggunakan opsi selain dari market, seperti dari lembaga multilateral, bilateral, harus diexploit terus. Mereka bisa sebagai cushion bagi kita mempertebal cadangan, dan kedua, karena itu dalam dolar AS atau valas, maka bisa membantu stabilisasi rupiah. Itu dua keuntungan pertama.

Ketiga, opsi-opsi itu akan menghindarkan pemerintah didikte, dicorner oleh market yang minta yield tinggi, karena tahu kalau pemerintah butuh untuk menutup defisit memakai SBN. No. We have another options. Jadi itu harus kita gali. Kemudian tim Kemenkeu dan BI juga terus melakukan roadshow untuk menjelaskan kepada investor mengenai situasi ekonomi Indonesia yang sebenarnya. Yaitu tetap robust dan tetap menjalankan agenda-agenda reformasi struktural.

Apakah asumsi pertumbuhan ekonomi tahun ini, dan mungkin tahun depan, bisa tetap sesuai dengan target pemerintah?

Ketika tahun ini harga minyak naik, lalu dolar AS menguat, maka sudah ada dua efek ditambah suku bunga naik yang berarti financing cost naik, karena sudah hukum ekonomi kalau suku bunga AS naik maka suku bunga kita akan adjust. Berarti dari sini kita tahu bahwa a lot of things yang terjadi tadi itu naikin ongkos, dan pasti yang terjadi adalah cost-push inflation. Dan itu kita tahu bahwa akan membuat pertumbuhan ekonomi sedikit terkontraksi.

Bukan PDB turun ya, tapi mungkin pertumbuhan ekonomi akan sedikit melambat. Kalau Bank Dunia bilang pertumbuhan kita 5,2%, tapi pemerintah, kita masih berusaha keras lah agar tidak terlalu jauh ke bawah. Berarti apa? Simpul-simpul pertumbuhan ekonomi jangka pendek ini harus terus diungkit. Misalnya, build consumer's confidence, lalu build investor's confidence, ketiga eksekusi government spending dipercepat, jangan kebanyakan prosedur dan akhirnya keluar di akhir tahun seperti biasanya. Keempat, tentu saja ekspor, makanya kita berusaha agar CPO dan lainnya tidak mendapatkan gangguan. Atau dicarikan market alternatig selain yang biasanya.

Jadi simpul-simpul itu yang diungkit terus. Karena dengan keadaan itu, pasti drop lah dari 5,4%, tidak mungkin bulat 5,4%. Kalaupun ada kontraksi, kami berusaha agar tidak terlalu jauh. Maka kita juga tahu kalau potensi asumsi pertumbuhan 2019 pun maka akan dikoreksi. Jadi kemarin memang sudah diturunkan dari 5,2%-5,6%, instead of 5,4%-5,8%. Ini menunjukkan konservatisme dan perspektif pemerintah yang realistis ya. Tapi kan kita terus berupaya agar bisa naik.

Karena hopefully, infrastruktur yang dibangun sudah mulai sedikit mengungkit pertumbuhan ekonomi. Tentu saja dengan derajat yang berbeda-beda di setiap wilayah dan kurun waktu. Tapi periset biasanya akan mengatakan bahwa infrastruktur akan termanifestasi dalam pertumbuhan ekonomiadalah T+3 tahun. Jadi growth sudah bisa pick up dari situ.


(dru) Next Article BI & Upayanya Hadirkan Rupiah di Pelosok RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular