Special Interview

90% Polis Asuransi Tidak Pernah Diklaim

Donald Banjarnahor & Monica Wareza, CNBC Indonesia
13 February 2018 07:32
Pengembangan teknologi digital salah satu andalan FWD Life dalam melakukan penetrasi ke industri asuransi.
Foto: CNBC Indonesia/Donald Banjarnahor
Jakarta, CNBC Indonesia - Sebagai pemain baru dalam industri asuransi di Indonesia, PT FWD Life Indonesia harus berhadapan dengan pemain lama yang telah berumur puluhan tahun. Pengembangan teknologi digital menjadi salah satu andalan FWD Life dalam melakukan penetrasi ke industri asuransi yang masih memiliki banyak peluang.
 
Kepada jurnalis CNBC Indonesia, Donald Banjarnahor dan Monica Wareza, Direktur Utama FWD Life Choo Sin Fook blak-blakan bercerita bahwa 90% polis asuransi di industri tidak pernah diklaim. Selain itu, penilaian masyarakat bahwa asuransi itu mahal dan tidak berguna menjadi tantangan FWD Life untuk membuat produk asuransi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Berikut petikan wawancaranya:
 
Bisa diceritakan tentang FWD Life Indonesia?

Sebenarnya saya mau mulai lebih awal sedikit. FWD Group muncul dengan ketika induk usaha kami, Pacific Century Group, mengakuisisi bisnis asuransi ING Group di Thailand, Hong Kong, dan Macau. Bapak Richard bersama manajemen FWD Group memutuskan bawah FWD akan fokus di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Dengan tiga operasi wilayah lalu berkembang ke Indonesia, Filipina, Singapura, Vietnam, dan Jepang. Kami juga masih menunggu izin dari Malaysia dan China.
Dari semua negara ini kalau dari segi kematangan market khusus untuk asuransi jiwa individual itu Indonesia adalah market yang paling matang dan berpotensial. Singapura dan Malaysia itu matang tapi pasarnya kecil. Yang signifikan itu cuma Indonesia dengan Vietnam. Penduduk Vietnam hampir 100 juta, Filipina 90 juta tapi dibandingkan Indonesia, masih jauh.

Dari segi pendapatan per kapita Indonesia juga masih lebih tinggi dibandingkan dengan Filipina dan Vietnam. Penduduk menengah ke atas dengan pendapatan tinggi itu persentasenya kecil di Indonesia tetapi jumlahnya besar.

Kalau FWD masuk ke Indonesia dan hanya berharap pada golongan menengah ke atas, maka mereka sudah diambil oleh perusahaan asuransi lain selama 25 tahun. Saya dulu tahun 90-an di kerja di sebuah perusahaan asuransi jualannya ke orang itu itu saja. Kalau ke Medan, saya tahu siapa saja yang beli asuransi.

Akan tetapi kalau kita lihat statistik asuransi di Indonesia pada kuartal 4 maka penetrasi asuransi secara GDP [gross domestic product atau pendapatan domestik bruto] baru 2,99%. Di negara yang lebih maju itu harus sekitar 5%. Kalau dilihat dari segi penggunaan asuransi juga di bawah 12%. Itu berarti dari 100 orang hanya 12 orang yang memakai asuransi dan itu juga sebagian besar di corporate care atau dibayarin oleh perusahaan. Yang benar-benar asuransi individual itu sedikit.

Kami melihat dari situ peluang yang besar dan pendapatan penduduk di Indonesia juga naik dan sebenarnya peningkatan kelas menengah paling signifikan itu di Indonesia dari segi nominalnya.

Tetapi kami juga melihat ada kesulitannya. Sampai sekarang jujur, orang yang beli individual insurance itu sebenarnya dia tidak beli, tetapi dijual oleh agen. Hal ini yang menyebabkan persentase asuransi di Indonesia tidak tinggi.

Agen mau jual asuransi dengan premi yang lebih besar karena kalau tidak, maka tidak akan cukup untuk biaya agen itu. Agen datang ke calon nasabah asuransi, sekali, dua, tiga, empat kali baru tutup. Kadang-kadang dia jual juga belum tentu tutup. Jadi agen itu punya ongkos yang tinggi

Lalu bagaimana teknologi digital dalam FWD Life?

Ketika kami mau masuk ke market di Indonesia, kami harus punya satu distribution yang lebih efisien, tetap pakai agen, tetapi harus didukung oleh teknologi. Kalau asuransi jiwa itu susah untuk bilang 100% digital. Boleh dikatakan tidak mungkin.

Bagaimanapun kalau kematian terjadi ataupun kecelakaan kita perlu tangan manusia. Karena tidak manusiawi kalau semuanya dikerjakan lewat mesin, misalnya meng-handlle orang yang masuk rumah sakit. Makanya kita perlu menggunakan manusia di saat-saat kritis, tetapi kalau untuk saat tidak kritis contohnya pembayaran, bisa dilakukan melalui digital.

Kami datang ke Indonesia dengan dukungan teknologi maka biaya bisa lebih rendah. Kalau cost of doing business lebih rendah maka bisa kami transfer kembali ke nasabah. FWD mencoba untuk menekan biaya supaya tidak meledak. Kalau kami lihat dari rencana bisnis maka sampai 2022 kami hanya butuh sekitar 500 karyawan. Kami ingin bisnis ini tumbuh dengan memakai teknologi.

Saat ini, kalau kita beli asuransi biayanya lebih banyak ke akuisisi dan ini jadi alasan kenapa produk asuransi harus long term. Karena kalau nasabah hanya beli 1-2 tahun maka agen dapat komisi sedikit sehingga tidak mau menjual.

Agen juga manusia, kalau dia akuisisi nasabah dapatnya hanya Rp50 ribu, maka dia tidak mau. Tetapi kalau jualan lewat internet hanya dapat Rp 50 ribu itu masih oke lah.

Kalau ditanya apakah pasar di Indonesia siap atau tidak, maka kami rasa sudah siap. Bila tidak siap, maka kami tunggu agar dia siap. Yang sekarang umur 25 tahun, lima tahun lagi jadi 30 tahun. Jadi FWD ini long term player, kalau kita bukan long term player tidak mungkin induk kami membeli gedung di sini [Kawasan SCBD].

Ada strategi khusus untuk memasarkan produk?

Di pasar kalau orang ngomong life insurance kita selalu ngomong premi Rp 1 juta per bulan, itu berarti 1 tahun Rp 12 juta. Kalau ikut financial planning punya formula itu berarti pendapatan setahun itu mesti Rp 200 juta.

Sebenarnya itu minimum, rata-rata agen itu mencari premi Rp18 juta, itu berarti pendapatan nasabah harus Rp300 juta. Kami melihat orang di Indonesia yang memiliki pendapatan Rp 300 juta-Rp 400 juta itu tidak banyak. Ini sebabnya penetrasi asuransi saat ini kecil.

Kalau kita boleh buat ulang produk asuransi, repackage untuk orang awam maka banyak orang bisa beli. Sementara produk yang ada saat ini terlalu kompleks sehingga membuat premi jadi mahal.

Ternyata orang yang sakit berat itu sedikit. Kalaupun terjadi penyakit berat orang yang berobat habis pakai miliaran rupiah kemungkinan dia sembuh juga kecil. Itu statistik semua. Orang yang beli asuransi itu 90% lebih tidak pernah klaim seumur hidup.

Sebenarnya asuransi tidak perlu cover yang tinggi-tinggi. Yang penting kalau dia sakit dia bisa cukup uang untuk sembuhkan diri.

Tidak klaim sama sekali?

Sama sekali. Saya pernah ketemu dengan nasabah yang dulu saya kenal, dia pasti bilang saya tidak pernah klaim, cuma bayar. Itu fakta. Orang beli sampai puluhan tahun tidak pernah klaim, sampai dia sudah tua dan pensiun,
 
Sebenarnya orang lebih banyak membeli polis itu menabung. Jadi kalau kita kasih di cover yang terlalu mahal itu tidak ada gunanya. Hanya sedikit orang yang pernah menjalani operasi dalam hidupnya.
 
Lalu sisanya bagaimana?

Orang yang 10% pernah klaim itu klaim meninggal dan klaim sakit. Klaim meninggal itu sudah gone, tinggal yang klaim sakit. Setelah itu reputasi asuransi itu tidak bagus, bukan industri kami tidak bagus, tetapi nature dari produk saja.
 
Jadi orang-orang yang beli asuransi karena benar-benar paham, itu bagus. Hal ini sama dengan menabung di bank, tidak dapat bunga. Daripada menabung di bank, saya menabung di asuransi. Nanti pada saat pensiun diambil kembali. Kalau terjadi sesuatu di asuransi kembalinya jauh lebih banyak.
 
Bagaimana pertumbuhan FWD Life pada 2017?

Kondisi 2017 bagus. Kami masih achieve cuma saya tidak boleh ngomong berapa persennya. Kami juga perusahaan kecil. Kalau industri masih flat, kami masih tumbuh. Premi sampai kuartal III/2017 sekitar Rp 640-an miliar
 
Bagaimana prospek 2018?

Saya harap setiap tahun kami tumbuh double karena kami masih perusahaan kecil. Akan tetapi kalau kita juga lihat industri asuransi, maka kalau pertumbuhan dilihat dari premi saja akan susah, karena kena klaim juga banyak.
 
Bagaimana tantangan 2018?

Challenge bagi kami sama seperti seluruh industri, mengubah pandangan masyarakat terhadap asuransi di Indonesia. Ada dua pandangan konsumen soal asuransi, pertama mahal dan kedua tidak ada gunanya karena 90% orang tidak pernah klaim.
 
Banyak orang juga punya pengalaman bahwa beli asuransi itu sangat rumit, klaimnya rumit, dan produk itu juga rumit. Mengubah perasaan orang mengenai asuransi ini yang ingin kami capai. Oleh karena itu, tahun lalu kami keluarkan produk yang simple, hanya dua yang dikecualikan dalam klaim, pertama bunuh diri dan kedua adalah mati dalam kegiatan kriminal.
 
Dengan penggunaan teknologi itu ada target usia tertentu?

Sebenarnya orang yang tidak bisa pakai teknologi ya bisa kita bantu. Kami ada service agent yang bisa dipakai tapi jelas ada biaya tambahan, jadi lebih mahal.
 
Range usia nasabah FWD Life?

Sebenarnya dari lahir sampai tua. Saat ini average 34 tahun. Awalnya 37 tahun terus sudah turun jadi makin banyak yang usianya lumayan muda.

90% Polis Asuransi Tidak Pernah DiklaimFoto: CNBC Indonesia/Donald Banjarnahor

 
Bagaimana hasil investasi FWD Life?

Ada filosofi untuk investasi, yakni we cannot beat the market. Kalau bisa beat the market, kadang kalah. Kalau di tempat lain mereka punya investasi di apartemen yang besar, kami tidak mau. Kami outsorce semua investment, di BNP Paribas dan Schroders karena mereka lebih efisien. Kalau market overall tahun kemarin tahun yang bagus karena dari kinerja saham bagus di seluruh dunia
 
Komposisi investasi?

Pertama kebanyakan pilih saham, masih mayoritas. Sebenarnya kami tidak pernah berpikir nasabah pilih saham karena dalam ilustrasi return-nya paling tinggi, tapi risikonya juga paling tinggi.
 
Bagaimana profitabilitas FWD?

Sebagai perusahaan baru kami susah untuk ngomong profitability pada saat awal gini karena harus investasi. Kalau dari awalnya harusnya ditanya berapa kekuatan modalnya dan berapa lama profitnya. Kami berharap breakeven pada 2022 karena banyak ketidakpastian after 8 tahun.
 
Tidak bisa lebih cepat?
 
Kalau kita sukses dengan pemakaian teknologi dan sukses besarkan volume itu bisa lebih cepat. Tetapi kita juga investasi teknologi mahal di depan dan juga saat ini perlu klaim dengan efisiensi.
 
Klaim terbanyak?
 
Sebanyak 80% ke atas itu corporate care Rp50 ribu ke bawah. Jadi kayanya tidak selalu perlu dicek karena kalau orang mau tipu juga tidak mau tipu hanya Rp 50 ribu.

Bagaimana pandangan FWD Life terhadap regulasi asuransi di Indonesia?
 
Regulator punya peranan defensive jadi mereka tidak akan atur kalau kami tidak bikin dulu. Saya senang dengan pemerintah yang regulator di sini karena mereka sangat open. Mereka akan tanya apa yang kita inginkan baru dia akan mendorong private sector jadi lebih kreatif. Contohnya apa itu face to face kan ada aturannya.
(prm) Next Article Istana Dukung Penuh BI Naikkan Bunga Acuan & Jaga Stabilitas

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular