Makna dalam Sunyi Membuat Cahaya Kebijakan Langgeng Abadi

Kuntjoro Pinardi CNBC Indonesia
Kamis, 25/12/2025 13:08 WIB
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi
Kuntjoro Pinardi merupakan pengajar di Institut Sains Teknologi Nasional. Ia adalah Ahli Manajerial dan Tata Kelola Sistem Kebijakan Energi ... Selengkapnya
Foto: Suasana gedung bertingkat tertutup kabut polusi usai hujan di Jakarta, beberapa waktu lalu. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Negara modern semakin mahir berbicara. Kebijakan diumumkan dengan bahasa yang rapi, data disajikan dengan grafik yang meyakinkan, dan istilah teknis digunakan untuk menunjukkan ketepatan.



Namun, semakin banyak kata diucapkan, pertanyaan yang paling mendasar justru semakin jarang diajukan, apakah kata-kata itu sungguh mengandung makna bagi kehidupan bersama, atau sekadar memenuhi keharusan agar negara tampak sigap dan bergerak.

Ludwig Wittgenstein mengingatkan bahwa makna tidak melekat pada kata sebagai benda mati. Makna hidup dalam pemakaian, dalam cara bahasa dijalani di dalam kehidupan. Ketika bahasa terlepas dari pengalaman hidup, ia tetap terdengar benar, tetapi kehilangan daya tinggal.

Kata kata beredar, namun tidak menetap dalam kesadaran. Dalam kebijaksanaan Jawa, keadaan ini disebut ilang teges, ketika kata kehilangan rasa dan tidak lagi nyawiji dengan laku.

Kearifan Nusantara telah lama memahami bahwa bahasa harus disertai kedewasaan batin. Dalam tradisi Jawa, kebijaksanaan selalu diawali dengan meneng dan hening.

Meneng bukan berarti bungkam, melainkan menahan diri agar pikiran menjadi eling lan waspada. Hening adalah keadaan batin yang bening, tempat pertimbangan tumbuh tanpa tergesa.

Tanpa meneng, kata menjadi sembrana. Tanpa hening, keputusan menjadi rame ing njaba sepi ing njero, riuh di luar tetapi kosong di dalam.

Dalam kehidupan bernegara, bahasa kebijakan sering bergerak lebih cepat daripada pemahaman publik. Istilah tentang reformasi, efisiensi, transformasi, dan percepatan digunakan berulang kali, tetapi tidak selalu menjelma menjadi pengertian bersama.

Bahasa berubah menjadi alat operasi, bukan sarana pamomong. Negara berbicara, masyarakat mendengar, tetapi tidak selalu mengerti, apalagi merasa diajak memahami.

Byung Chul Han menyebut kondisi ini sebagai zaman kelelahan, zaman yang memuja aktivitas tanpa henti, transparansi tanpa jeda, dan produktivitas tanpa batas. Dalam dunia seperti ini, sunyi dianggap kekurangan, bahkan dicurigai sebagai kemalasan.

Padahal, tanpa sunyi, tidak ada refleksi. Tanpa refleksi, keputusan kehilangan arah dan kebijakan kehilangan jiwa.

Filsafat kepemimpinan Nusantara justru menempatkan sunyi sebagai laku utama. Ki Hadjar Dewantara merumuskan kepemimpinan bukan sebagai kelantangan kata, melainkan kedalaman sikap.


Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Keteladanan, pembangkitan kehendak, dan dorongan dari belakang hanya mungkin lahir dari batin yang mateng, bukan dari kegaduhan pernyataan.

Negara yang terus dipaksa segera bertindak berisiko terjebak dalam logika reaksi. Keputusan dibuat untuk meredam tekanan sesaat, bukan untuk menjaga keberlanjutan.

Dalam adat Minangkabau, kata yang tidak dipikirkan masak akan memutus mufakat. Kato nan ampek mengajarkan bahwa bahasa harus tahu tempat, waktu, dan hubungan.

Ada kato mandaki, kato manurun, kato malereng, dan kato mandata. Salah menempatkan kata bukan sekadar salah ucap, tetapi dapat melukai tatanan bersama.

Sunyi, dalam pengertian ini, bukan penarikan diri dari tanggung jawab. Sunyi adalah jeda yang disengaja untuk menimbang.

Ruang batin tempat bahasa diuji sebelum dilepaskan ke ruang publik. Dalam tradisi Bugis Makassar, keputusan yang tergesa dianggap belum menanggung siri.

Siri bukan sekadar harga diri, melainkan kesanggupan memikul beban moral dan akibat di masa depan. Pemimpin yang tidak menimbang dengan sunyi dianggap belum paccing, belum jernih hatinya.

Negara yang sehat membutuhkan lebih dari sekadar kepatuhan. Ia membutuhkan pemahaman. Pemahaman hanya tumbuh jika bahasa kebijakan diberi waktu untuk dimaknai. Jika kecepatan diimbangi dengan kesabaran.

Prinsip alon alon waton kelakon tidak menolak gerak, tetapi menuntut ketepatan arah dan tanggung jawab batin. Cahaya kebijakan yang langgeng tidak lahir dari kemegahan pengumuman. Ia lahir dari makna yang dirawat dalam sunyi.

Dari bahasa yang jujur secara pengalaman, bukan hanya tepat secara teknis. Dari keberanian untuk menunda demi menjaga martabat keputusan publik. Di tengah dunia yang semakin bising, menjaga sunyi adalah prasyarat agar negara tetap mampu berpikir dan melangkah dengan arah yang terang.


(miq/miq)

Related Articles